Dia yang Selalu Datang

471 21 5
                                    

Ia mengenakan blus sewarna langit dengan motif bunga di bagian depannya. Persis seperti milikku, hanya saja ia terlihat lebih cantik, lebih muda. Wajar saja, jarak usia kami memang terpaut sembilan tahun.

Tas tangan, celana kulot, dan sepatu yang ia pakaipun, persis sama dengan yang aku punya. Aku sedikitpun tak terkejut. Bukan sekali ini saja kudapati ia memiliki barang-barang yang sama denganku, entah ia mengetahuinya atau tidak. Beruntung tempat tinggal kami berjauhan, akan terlihat lucu jika aku harus mengenakan pakaian yang sama dengannya setiap harinya.

Mukanya terlihat memerah, mungkin karena sengatan terik matahari. Mungkin juga ada kemarahan yang akan ia luapkan padaku, seperti biasa.

Aku memang sudah hapal dengan kebiasaannya. Hampir setiap bulan ia datang untuk memakiku. Menyampaikan protes atas ketidakadilan yang diterimanya.

"Mba jangan jahat dong!" Ia berdiri di depan pintu, setengah berteriak. Selalu menolak untuk masuk ke dalam rumah. "Mba kelewatan tau nggak!" sambungnya.

Aku hanya berdiri diam. Menunggu kalimat selanjutnya. Apakah sama seperti kejadian yang sudah-sudah, atau ada hal baru kini yang membuatnya marah?

"Mba pasti kan yang mempengaruhi Mas Fandi supaya mengurangi jatah bulananku? Apa Mas Fandi kesini dulu sebelum menyerahkan jatah bulanan? Jangan-jangan Mba sekarang mulai mengatur-atur pembagian belanja, ya?" cecarnya tanpa henti.

Kutatap perempuan muda yang dinikahi suamiku enam bulan yang lalu itu. Raya. Usianya genap dua puluh satu tahun saat menjadi maduku. Secara fisik ia jauh di atasku, tapi secara psikis ia jelas masih terlalu labil. Terbukti dengan kedatangan rutinnya ke rumah setiap kali merasa dirinya dicurangi.

"Mba kan tau aku lagi hamil. Ngerti dong, Mba! Jangan curang! Kalau jatahku dikurangi begini, gimana nasib anakku? Kami punya banyak kebutuhan!" Nadanya masih tinggi sembari menunjuk perutnya yang mulai membulat.

"Kamu udah tanya Mas Fandi kenapa jatah kita dikurangi?" tanyaku dengan memberikan penekanan pada kata 'kita'.

Setidaknya agar dia tahu bukan hanya jatahnya yang dikurangi. Bahkan aku yang sudah memiliki dua anakpun mendapat jatah yang sama dengannya. Menurut Mas Fandi itulah artinya adil. Namun, dengan jiwa muda Raya yang masih haus akan kesenangan, aku selalu menjadi pelampiasan kekesalannya.

Menyama-ratakan kebutuhanku yang memiliki dua anak, dengan Raya yang baru hamil anak pertamanya, seperti itulah adil dalam pikiran Mas Fandi. Bahkan ia sengaja membelikan barang-barang yang sama untukku dan istri keduanya itu demi menjadi suami yang adil.

Bukanlah hal yang mudah bagiku menerima keputusan Mas Fandi. Namun, Mas Fandi selalu benar dalan pikirannya sendiri.

"Kita harus berpikir panjang untuk ke depannya, Dinda. Harus punya tabungan buat masa depan anak-anak. Terutama aku, sebentar lagi Raya mau melahirkan dan pasti butuh banyak biaya. Anakku kan anak kamu juga."

Entahlah apa aku bisa menerima anak mereka menjadi anakku juga, jika demi kebahagiaanya harus menekan kebutuhan anak-anakku seperti ini. Beberapa kali aku menyampaikan keberatan pada suamiku.

"Kamu kan punya penghasilan juga, Dinda. Beda sama Raya, dia nggak punya penghasilan sendiri. Satu-satunya yang dia harapkan ya nafkah dari aku. Harusnya sebagai yang lebih tua kamu itu paham dan mendukung suami! Bukan malah protes melulu," jawabnya sambil lalu.

Seperti itulah suamiku. Seperti itulah lelaki yang Raya ingin aku berbagi dengannya. Percuma berdebat dengan Mas Fandi. Ia selalu benar. Aku pun memilih diam. Mungkin ini cara Tuhan mengajarkanku tentang kemandirian. Berjaga-jaga jika suatu saat aku terpaksa berpisah dengan suamiku.

Entah sampai kapan pernikahan ini sanggup kupertahankan. Sudah terlalu sakit, hingga hatiku kini mati rasa. Bahkan aku tak menangis ketika Mas Fandi mengucapkan ijab qabul dengan Raya. Mungkin hanya menunggu waktu untuk memutuskan akhir pernikahan kami.

"Nggak perlu tanya sama Mas Fandi juga aku udah tau, pasti Mba yang mempengaruhi Mas Fandi. Mba jahat tau ga!" ucap Raya menyadarkanku dari lamunan. Entah kenapa dia selalu berpikir aku sengaja ingin membuatnya menderita. "Kalau Mba bisa jahat, aku juga bisa!" ucapnya lagi dengan menunjuk wajahku.

Ia menghentakkan kaki berbalik meninggalkan rumahku. Ahhh ... seandainya dia sadar apa yang dilakukannya dengan Mas Fandi kini sudah cukup jahat bagiku.

****

Kutatap kedua malaikat kecilku yang tertidur pulas, Radit dan adiknya, Hanafi. Mereka alasan kenapa aku masih bertahan dalam rumah tanggaku sampai hari ini. Bahagia mungkin telah lama hilang dari rumah ini jika aku tak memiliki mereka.

Kedua anakku sangat dekat dengan Mas Fandi, dan pasti akan sangat terpukul jika tiba-tiba harus menyaksikan perpisahan kedua orang tuanya. Lagu lama, tapi nyatanya itulah salah satu alasanku memilih bertahan.

Sejak menikah lagi pun Mas Fandi selalu pulang ke rumah setiap harinya, agar anak-anak tak sampai merasakan kehilangan ayahnya. Itu syarat yang aku ajukan. Bahkan untuk hari-hari dimana ia harus tinggal di rumah Raya, ia tetap harus menyempatkan diri menemui kedua anakku.

Bodoh. Banyak yang mengatakan aku terlalu bodoh karena mengizinkan mas Fandi menikah lagi. Namun, aku lebih tahu apa yang terjadi dalam pernikahan kami.

Cinta, mungkin sudah lama hambar dalam hatiku. Dengan sikap Mas Fandi yang selalu merasa benar. Egois dan tak pernah memikirkan perasaanku. Tak ada bedanya bagiku sekarang meskipun ia memiliki wanita lain. Namun yang pasti, jika harus berpisah aku tak mau menjadi pihak yang disalahkan.

Aku akan bertahan sampai di batas akhir kesanggupanku. Demi Radit dan Hanafi, juga demi diriku. Sampai nanti hatiku mengatakan cukup.

Bersambung ....

Berbagi Beban (Sudah dibukukan)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang