Permainan Dimulai

183 10 0
                                    


Malam telah merambat naik, dingin pun mulai merambati kulit. Radit dan Hanafi sudah sedari tadi tertidur di kamar, sedangkan aku masih berkutat dengan gamis merah muda pesanan tetangga yang akan diambil esok hari. Lumayanlah untuk tambahan belanja yang bulan ini lagi-lagi dikurangi Mas Fandi.
 
Meskipun terkadang terasa berat, tapi aku sudah bertekad akan bertahan, hingga mereka semua menyadari apa yang selama ini mereka anggap salahku. Mereka harus bisa melihat semua ini dari sisiku. Mundur satu langkah untuk maju seribu langkah.
 
Ketukan di pintu mengalihkan perhatianku dari gamis itu. Kulirik jam di dinding, pukul sebelas lewat lima. Siapa yang datang tengah malam begini?
 
Aku berjalan mendekati pintu yang berhiaskan nama kedua anakku sembari menerka-nerka. Sedikit merasa was-was, karena tak biasanya kedatangan tamu selarut ini.
 
Kusingkap sedikit tirai jendela untuk melihat siapa yang datang, takut kalau-kalau ada maling. Tetapi maling apa yang mengetuk pintu sebelum masuk. Haha.
 
Dahiku berkerut heran mendapati Mas Fandi berdiri di depan pintu. Dengan pakaian yang masih sama yang ia kenakan ketika mengunjungi anak-anak tadi sore. Bukankah ini jadwalnya menginap di rumah Raya? Lantas apa yang membuatnya pulang malam ini?
 
Segera saja kubukakan pintu. Tanpa berkata apa-apa ia langsung menghambur masuk ke dalam rumah dan menuju ke kamar anak-anak, sedangkan tas yang ia bawa dilemparkan saja secara asal ke atas sofa di ruang tamu. Dari raut wajahnya, aku merasa Mas Fandi sedang marah. Apakah ia bertengkar dengan Raya?
 
“Mas, mau aku buatkan minum?” tanyaku pelan agar tak membangunkan anak-anak.
 
“Nggak usah! Aku ngantuk,” jawabnya sembari menarik selimut menutupi seluruh tubuhnya.
 
Sepersekian detik lamanya aku masih mematung memandangnya. Begitu penasaran tentang apa yang membuat Mas Fandi tiba-tiba kembali pulang. Namun, kuputuskan untuk kembali fokus pada gamisku saja. Esok pagi aku akan mengetahui apa yang terjadi.
 
****
 
“Harusnya Raya itu banyak belajar dari kamu, Din,” ucap Mas Fandi usai menyesap kopi yang kubuatkan.
 
“Belajar dari aku?” tanyaku bingung.
 
“Iya, belajar tentang cara melayani suami dengan baik,” jawabnya.
 
Aku mengulum senyum. Nampaknya permainan baru saja dimulai. “Aku yang harus banyak belajar dari Raya tentang cara melayani suami dengan baik, Mas. Bagaimana cara menyenangkan hati suami, agar terlihat menarik di mata suami,” jawabku sembari memasukkan gamis pesanan tetangga ke dalam kantung plastik. Sebentar lagi pemiliknya akan datang menjemput.
 
“Kecantikan itu nomor dua, Din, yang penting akhlaknya pada suami,” jawab Mas Fandi mantap.
 
“Oh ya? Aku pikir karna itu Mas mencari istri kedua ‘untuk membantuku’.” Kuberikan penekanan pada dua kata terakhir. Sedikit banyak hatiku bahagia bisa membalikkan semua kata-kata Mas Fandi dulu.
 
“Aku maunya Raya itu kayak kamu juga, Din. Cantik, rajin, dan hormat sama suami,” jawabnya lagi.
 
Aku kembali tersenyum, bukan karena pujian Mas Fandi. Namun, karena aku masih mengingat dengan jelas saat Mas Fandi menyebutkan satu persatu kesalahan-kesalahanku yang membuatnya ingin mencari istri kedua. Rambut berantakan, baju kucel? Aku tak akan melupakan itu.
 
“Setiap orang ‘kan punya karakter yang berbeda, Mas. Kamu sebagai lelaki yang bijak pasti bisalah menghadapi Raya dengan semua karakternya,” ucapku sinis.
 
Mas Fandi kini meneguk habis seluruh kopi yang tersisa. Perlahan ia berdiri dan merapikan pakaian kerjanya. “Kalau semua istri seperti kamu ‘kan bagus, Din,” ucapnya.
 
Aku lagi-lagi hanya bisa mengulum senyum. Aku memang sudah memperkirakan semua ini akan terjadi. Mas Fandi akan tetap mengeluh seperti apapun istri yang ia punya. Bahkan Raya pun tak akan cukup baginya. Jika aku saja yang sudah tujuh tahun menemaninya ternyata masih ia anggap kurang, apalagi gadis itu. Namun, aku tak menyangka semua akan terjadi secepat ini.
 
****
 
Wajah cantik tapi penuh kemarahan Raya kembali hadir di depan rumahku. Maduku ini betul-betul ajaib. Terkadang aku merasa heran, siapa sebenarnya yang merupakan istri muda Mas Fandi di sini.
 
“Mas Fandi semalam ke sini, ‘kan?” tanyanya ketus.
 
“Kamu nggak mau masuk dulu, Ya? Nggak enak didenger tetangga ribut-ribut di halaman,” ucapku mengabaikan pertanyaannya.
 
“Nggak usah basi-basi busuk, Mbak. Mbak itu munafik tau nggak. Pura-pura baik tapi suka nikam!” Nada suaranya mulai naik satu oktaf. Aku kembali berusaha mengingat, siapa sebenarnya menikam siapa? Apa jangan-jangan akulah istri kedua Mas Fandi, tapi aku lupa? Pikiran itu membuatku tak tahan ingin tersenyum.
 
“Harusnya kalau Mas Fandi datang ke sini, Mbak itu suruh dia balik ke rumah aku dan minta maaf. Bukannya malah Mbak tahan di sini!” bentaknya.
 
Aku menarik napas perlahan, mengatur debaran jantungku agar tak terpancing emosi. Aku tak boleh kalah dalam permainan ini.
 
“Raya, aku nggak tahu-menahu tentang masalah antara kamu dan Mas Fandi. Kenapa Mas Fandi pulang ke sini semalam juga sampai sekarang aku nggak tahu. Ketimbang marah-marah di sini, lebih baik kamu selesaikan aja masalah kamu sama Mas Fandi. Nggak usah bawa-bawa aku terus,” jawabku panjang lebar.
 
“Huh! Paling-paling juga Mbak kesenangan karna aku sama Mas Fandi berantem, kan? Aku tau Mbak nggak suka sama aku. Takut kalah?”
 
Lagi-lagi Raya memposisikan aku sebagai penjahat dalam kisah cintanya dengan suamiku. Kuperhatikan perutnya yang kini sudah semakin membulat. Mungkin bayi kecil di dalamnya sedang menguping, heran mendengar suara ibunya yang menggelegar.
 
“Raya, aku lagi banyak pesanan jahitan. Kalau kamu nggak mau masuk, aku tinggal ke dalam. Tentang masalah kamu sama Mas Fandi, aku sama sekali nggak tau dan nggak mau tau. Mending kamu telfon orangnya langsung dan bahas berdua. Nggak usah libatkan aku!” tegasku padanya.
 
Raya terlihat bersiap kembali menyemburkan kemarahannya. Namun, aku telah lebih dulu masuk ke dalam rumah dan menutup pintu. Sebuah pukulan yang agak keras di pintu itu kudapati sebagai balasannya.
 
****
 
Hampir delapan bulan Mas Fandi menikah dengan Raya, dan semua berjalan seperti yang aku perkirakan sebelumnya. Aku mengenal suamiku dengan baik, dan sangat mengetahui karakternya.
 
Ia akan selalu merasa dirinya yang paling benar. Tak akan pernah merasa puas dengan apa yang ia miliki. Kini pun mungkin ia telah mengumpulkan daftar panjang kekurangan-kekurangan Raya yang akan ia keluhkan. Semua persis seperti yang aku pikirkan sebelumnya.
 
Tinggal menunggu waktu. Permainan sudah dimulai.

****

Berbagi Beban (Sudah dibukukan)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang