Saat Badai itu Datang

251 14 1
                                    

"Aku nikah lagi aja, ya. Biar kamu nggak terlalu repot," ucap Mas Fandi tiba-tiba.

Aku yang tengah menghidangkan makan malam untuknya seketika berbalik. Menatap kedua matanya, mencari alasan. Ia menatapku balik, sedikit terlihat gugup.

Sesak. Serasa tenggorokanku tercekik. Bahkan sekedar menelan ludahpun rasanya aku tak bisa. Lantai di bawah kakiku seolah bergoncang. Sesuatu di ulu hati terpilin, sakit.

Mas Fandi mendekat, dan lantas menyentuh kedua bahuku, lalu tertawa lepas.

"Becanda, Sayang," ucapnya kemudian. "Kamu takut kehilangan aku, ya?" godanya.

Aku berpegangan pada meja makan di belakangku, dengan sebelah tangan lagi menyentuh dada. Ragu-ragu kuhembuskan napas yang tadi tertahan, dan perlahan mulai ikut tertawa bersamanya.

"Kamu kok usil banget, Mas," ucapku merajuk. Ia benar-benar hampir saja membuatku terkena serangan jantung.

"Abis kamu keliatan capek banget, aku 'kan jadi nggak tega," jawabnya sambil tersenyum.

Ia menarik kursi lalu duduk. Masih dengan senyumnya. Kuakui memang cukup melelahkan bagiku, di samping mengurus rumah dan dua anak laki-laki yang luar biasa aktif, aku juga menerima jahitan dari tetangga di sekitar. Beberapa bahkan datang dari luar kota. Demi membantu Mas Fandi yang penghasilannya meskipun tak kurang, tapi masih sebatas pas-pasan. Namun, tentu saja semua itu tak akan menjadi alasan logis bagiku untuk membagi suami.

"Aku masih sanggup kok, Mas, ngerjain semuanya sendirian," ucapku sembari mengisikan nasi ke piring Mas Fandi. "Lagian kalau kamu nyari wanita lain, kamu cuma akan menemukan kenyataan bahwa nggak ada yang bisa mencintaimu lebih dari aku."

Aku mengerling balik menggodanya. Mas Fandi berdeham pelan, dan memulai makannya. Tak ada lagi kata yang keluar. Ia makan dalam diam yang saat itu tak kupahami artinya.

****

Setulus hati aku benar-benar merasa bersyukur bahwa Allah telah memilihkan Mas Fandi menjadi suamiku. Tujuh tahun menjalani biduk rumah tangga, ia begitu jauh berbeda dengan sosok ayah. Selalu berkata lembut, dan tak pernah mengangkat tangan padaku.

Tak akan habis kata-kataku untuk memujinya. Ia nyaris sempurna bagiku, bukan karena ia memiliki segalanya, tapi karena ia memiliki semua yang aku dambakan dalam sosok seorang suami. Meskipun mungkin keuangan rumah tangga kami belumlah cukup untuk membuatku bernapas lega, tapi toh jika dilalui bersama, semua akan tetap terasa membahagiakan.

"Rumah tangga adalah sebuah kerja sama, dimana suami dan istri saling bahu membahu untuk mengemban tugas masing-masing. Selama dijalani dengan ikhlas, semua akan terasa ringan." Nasihat Ibu selalu.

Aku ikhlas mendampingi suamiku, ikhlas membantunya menopang kebutuhan rumah tangga, dan aku bahagia menjalani tugasku.

Juga ikhlas saat ia tidak bisa memberiku nafkah seperti biasanya.

"Din, aku mesti benerin motor ke bengkel, remnya kurang enak. Kamu udah nerima uang jahitan? Bisa buat belanja dulu, 'kan?" ucap Mas Fandi satu ketika.

"Din, uang belanja bulan ini kayaknya kurang dulu, ya. Ibuku lagi butuh banyak uang. Kamu masih ada simpanan, 'kan?" tanyanya di lain waktu.

Aku selalu berusaha memahami setiap kondisinya. Selagi mampu aku tak akan keberatan meringankan bebannya. Beginilah caraku mencintai.

****

Kuhempaskan tubuh ke kursi di depan televisi. Hari ini benar-benar melelahkan. Begitu banyak pesanan jahitan yang harus kuselesaikan. Ditambah Radit dan Hanafi yang tak hentinya berlarian ke sana ke mari, dan mengacaukan barang-barang.

Kutarik napas dalam, dan memijat bergantian kedua tanganku. Dari sudut mata bisa kulihat Mas Fandi yang terus memperhatikanku.

"Capek banget, ya?" tanyanya tak lepas melihatku.

"Lumayan capek, Mas, tapi nggak apa-apa kok. Toh sekarang udah kelar, anak-anak juga udah pada tidur, aku juga bisa istirahat," jawabku sambil tersenyum.

Mas Fandi mendekatkan duduknya ke arahku. Mulai membantu memijat kedua bahuku yang memang terasa sedikit kaku dan panas.

Pijatannya membuatku merasa nyaman, bukan hanya di bahuku, tapi juga di hati. Alangkah beruntungnya aku memiliki suami sepertinya.

"Din," panggil Mas Fandi masih dengan dua tangan di bahuku. Aku menjawabnya dengan gumaman singkat.

"Kamu ngizinin nggak kalau aku nikah lagi?" tanyanya.

Untuk sepersekian detik masih kurasakan jantungku yang berdegup lebih kencang. Namun, kemudian aku teringat kejadian tempo hari. Kubalikkan tubuh menghadapnya, dan memberikan cubitan di pinggangnya.

"Kamu ya, Mas! Ngegodain aku terus," ucapku sembari tersenyum manja.

Namun, tak ada tawa yang keluar dari mulut Mas Fandi. Ia hanya diam menatap buku-buku jarinya. Aku mulai merasa tak nyaman. Apa jangan-jangan ....

"Aku serius, Din," ucapnya sambil mengangkat kepala, dan menatap tepat di kedua mataku.

"Mas ... kamu jangan main-main deh, nggak lucu!"

Aku benar-benar merasa tak nyaman kini. Rasa takut mulai merayapi hatiku.

"Aku yakin ini yang terbaik buat kita, aku udah pikirin sematang-matangnya," ucap Mas Fandi penuh keyakinan.

Kurasakan tenggorokanku yang kembali tercekat. Masih berharap Mas Fandi akan tertawa seperti waktu itu. Namun, ia bergeming. Duniaku serasa bergoncang, pandangan menjadi nanar. Menikah lagi? Kenapa? Tak cukupkah satu aku? Ada yang salahkah dengan diriku?

Kutatap kedua mata Mas Fandi lekat. Kembali berusaha mencari alasan di sana. Namun tak menemukan apa-apa. Hanya tatapnya yang mengusung seribu keyakinan.

"Apa salahku, Mas?" Kuberanikan diri bertanya, meskipun tak yakin sanggup mendengar jawabannya. Semenit yang lalu aku masih yakin ia adalah suami yang sempurna.

"Bukan karna kamu ada salah, Din. Bukan. Semua ini semata-mata karna aku ingin yang terbaik untuk kita," jawabnya sembari menyentuh tanganku.

Kutepiskan sentuhannya. Bagaimana mungkin menikah lagi menjadi pilihan terbaik untuk rumah tangga kami? Aku bahkan tak tahu bahwa rumah tangga kami tengah mencari solusi terbaik untuk masalah yang entah apa.

"Kamu belakangan ini jadi semakin sibuk, apalagi dengan mengurus dua anak. Kelelahanmu menjadi dua kali lipat, aku tau itu. Tapi aku juga punya kebutuhan ...."

"Apa selama ini aku kurang melayani Mas? Apa ada tanggung jawabku sebagai istri yang terlalaikan?" tanyaku.

Mataku mulai terasa panas. Hati seolah terpilin perih, tak menyangka istana kecil yang selama ini kujaga sedang berusaha dibagi oleh Mas Fandi.

"Kamu salah memahami maksud aku ...."

"Bagian mana yang salah? Bagian mana yang aku nggak ngerti?" tanyaku lagi.

"Ini buat kebaikan kita bersama, Din ...."

"Iya baiknya seperti apa coba jelasin! Aku pikir selama ini kita baik-baik aja!"

"Coba kamu pikirin dengan tenang ...."

Tenang katanya? Saat di istana yang selama ini kujaga sepenuh hati akan diundang ratu yang lain, bagaimana aku bisa berpikir tenang?

Sesuatu dalam hatiku terasa bergejolak. Ingin aku melampiaskan sakitku pada semua yang ada di sekitarku.

"Agama juga mengizinkan seorang lelaki memiliki lebih dari satu istri, bahkan Rasulpun ...."

"Jangan jadikan agama sebagai tameng untuk melindungi syahwatmu, Mas! Apa kamu merasa memenuhi syarat untuk itu? Apa kamu merasa bisa bersikap adil?"

Aku tak mengharapkan jawaban atas pertanyaan itu. Jelas ia tak akan sanggup bersikap adil. Kupangku kedua tangan, dan beristighfar pelan-pelan demi menahan diri agar tidak melempar semua barang yang ada di dekatku pada Mas Fandi.

"Soal adil nanti akan kubuktikan. Yang jelas ini untuk kebaikan kita bersama ...."

"Ceraikan aku!"

Mas Fandi terlihat terkejut dengan ucapanku. Aku bisa melihat matanya menyorotkan kemarahan. Namun, rasa pedih di hatiku jauh lebih bergejolak.

"Kamu jangan terbawa emosi! Aku bilang ini yang terbaik buat kita, dan aku nggak akan pernah menceraikan kamu!" jawabnya keras.

Tangisan Hanafi menghentikan pertengkaran kami. Masih dengan rasa marah dan sakit di hati aku masuk ke kamar, meninggalkan Mas Fandi yang masih berusaha meyakinkanku bahwa 'ratu baru' adalah apa yang dibutuhkan di istana kami.

Kupeluk kedua anakku yang kini menangis. Begitu tega Mas Fandi ingin menghancurkan kebahagiaan mereka. Begitu jahat. Tidakkah ia berpikir tentang perasaanku? Perasaan anak-anaknya? Bagiku, tak ada bedanya kini ia dengan ayahku.

Tepat ketika ia meminta keikhlasanku untuk pernikahannya yang kedua, sesuatu dalam hatiku membeku. Cintaku seperti bunga yang tengah mekar, tetapi rantingnya dipatahkan begitu saja. Layu.

Bersambung ....

Berbagi Beban (Sudah dibukukan)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang