Adzan subuh telah menggema ke seluruh penjuru. Ditingkahi kokok ayam bersahut-sahutan. Aku sudah selesai mengemasi barang-barang pribadi, dan barang-barang penting yang bisa kubawa. Pagi ini juga aku akan pulang ke rumah Ibu, sebelum Mas Fandi datang lagi. Tak ingin lagi aku bertemu dengannya.
Kulaksanakam shalat subuh dua rakaat, dan berdoa meminta ampun kepada Allah, jika yang kulakukan pada Mas Fandi salah. Aku hanya manusia lemah yang tak sanggup menerima begitu saja saat diriku didzhalimi. Kupanjatkan juga do’a agar hatiku tak goyah, dan tetap tegar menghadapi semua ini.
Seusai shalat subuh, kuputuskan untuk mengabari Bu Fatimah bahwa aku menerima tawarannya untuk bekerja sama dengan butik yang ia kelola. Sesuai harapanku, ia menyambut keputusanku dengan baik, dan besok siang aku diminta bertemu dengan Mas Hanan.
Selesai sudah semua, kini saatnya aku pergi. Kupesan sebuah taksi online melalui aplikasi. Supir taksi online akan datang dalam lima menit.
Selama menunggu, kupandangi kembali rumah ini. Meskipun sering berpindah-pindah kontrakan, tapi ini adalah rumah yang paling lama kami tinggali. Di rumah ini ada begitu banyak kenangan.
Mas Fandi, kenapa ini harus terjadi? Ia adalah lelaki pertama yang mengenalkan cinta padaku. Seandainya ia tak membawa Raya dalam kehidupan kami ... seandainya ia tak menghancurkan hatiku ... seandainya saja ....
Setitik air mata jatuh di pipiku. Cinta yang kujaga begitu lama telah hancur. Aku sendiri tak punya cara untuk memperbaikinya. Bagaimana memperbaiki hati yang telah patah?
Deru mobil mendekat mengagetkanku. Taksi yang kupesan telah datang. Kuangkat semua barang ke atas mobil, dan memandang rumah itu untuk terakhir kalinya, lalu naik ke mobil yang akan mengantarkanku menuju rumah Ibu.
Mobil pun perlahan meninggalkan halaman rumah, dan membelah jalanan. Lajunya tak begitu kencang. Ketika aku melihat lagi ke belakang, motor Mas Fandi nampak memasuki halaman. Sepagi ini ia telah datang. Jujur saja hatiku merasa perih, entah karena mengingat pengkhianatannya, atau mengingat hubungan kami yang kini benar-benar telah hancur.
Entah dia atau akulah penyebab kehancuran ini. Namun, apa yang harus kulakukan jika ternyata hatiku tak cukup kuat untuk berbagi?
Aku mengeluarkan gawai dari tas, lalu menonaktifkannya, Mas Fandi pasti akan menghubungiku setelah tahu aku tak di rumah. Aku tak ingin bicara dengannya untuk saat ini.
Perlahan kusandarkan tubuhku dan memejamkan mata, semua kenangan-kenangan cinta dulu muncul lagi di ingatanku. Betapapun sakitnya hatiku atas pengkhianatannya, perpisahan tetap saja terasa berat.
“Dinda,” supir taksi online itu mengagetkanku. Ia mengenalku? Kutatap ke depan dengan wajah bingung. “Dimas, kita satu kelas di SMA,” ucapnya seolah mengerti kebingunganku.
Ya ampun, Dimas? Yang dulu sering meminta contekan saat ujian? Ia terlihat jauh berbeda. Rambutnya yang dulu gondrong kini menjadi cepak, terlihat lebih rapi. Tubuhnya yang dulu gendut juga sekarang terlihat lebih tegap.
Ah ... tentu saja. Dua belas tahun bukanlah waktu yang sebentar, tentu saja banyak yang berubah. Rumah tanggaku saja berubah hanya dalam waktu kurang dari setahun.
“Mau kemana sepagi ini bawa begini banyak barang?” tanyanya kemudian.
“Mau ke rumah Ibu,” jawabku. Jujur saja hatiku sedikit merasa malu harus bertemu teman lama dalam keadaan seperti ini, membawa begitu banyak barang seperti orang yang hendak kabur dari rumah. Bersyukur Dimas tak bertanya lebih banyak tentang hal ini.
Kami bercerita cukup banyak sepanjang perjalanan. Tentang teman-teman semasa sekolah dulu, juga tentang anak-anak. Dimas memiliki seorang anak laki-laki berusia lima tahun. Hampir sama dengan Radit. Sedangkan istrinya meninggal saat melahirkan anak mereka.
Aku tak menceritakan apa-apa tentang Mas Fandi. Tak ingin jika nanti aku malah kelepasan menjelek-jelekkannya.
Mobil berhenti tepat di depan rumah Ibu. Dimas membantuku mengeluarkan semua barang dari mobil.
“Aku simpan nomor kamu, ya, siapa tau nanti perlu,” ucapnya meminta izin. Aku hanya mengangguk mengiyakan, lalu melangkah memasuki halaman rumah Ibu. Mobil Dimas telah kembali melaju di jalanan.
Ibu membukakan pintu begitu aku mendekat ke teras, sepertinya memang telah menungguku sedari tadi. Melihat semua barang yang kubawa, tanpa bertanya Ibu memelukku. Kembali kami berdua menangis. Rumah tanggaku telah berakhir.
Puas melepaskan semua kesedihan, aku pun melepaskan pelukan Ibu dan mulai membawa barang-barangku ke dalam.
“Radit sama Hanafi masih tidur, Bu?” tanyaku.
“Iya, kamu sudah shalat?” Giliran Ibu yang bertanya.
Aku menjawab dengan anggukan. Mataku terasa berat sekali, semalaman aku tak tidur.
“Tidurlah dulu, istirahat!” suruh Ibu. Aku lagi-lagi hanya mengangguk, mulai berjalan menuju kamar Ibu, karena pasti anak-anak tidur di sana.
Kurebahkan diri di pembaringan, dan tak butuh waktu lama hingga aku terlelap.
****
Aku terbangun karena suara Radit yang memanggil-manggilku.
“Bunda, kapan datang?” tanyanya satelah aku membuka mata.
“Tadi pagi, Kakak nangis nggak semalam?” tanyaku sambil menarik anak sulungku itu dalam pelukan. Ah ... tak ada kesedihan yang tak hilang jika sudah mendengar keceriaanya.
“Nggak dong, Kakak ‘kan udah gede. Oh ya, Bunda, di akuarium nenek ada ikan baru, lho,” ucapnya penuh semangat.
“Oh ya? Ikan apa?” tanyaku. Aku sangat menyukai saat Radit bercerita. Matanya membulat penuh semangat. Kedua tangannya ikut bergerak menjelaskan.
“Ayo kita lihat, ayo!” ajaknya sembari menarik tanganku.
“Nanti aja ya, Kak, Bunda ngantuk,” jawabku sambil berpura-pura menguap. Hanya ingin menggodanya saja.
“Sekarang aja, ayo!” ajaknya lagi.
Aku tersenyum lalu berdiri perlahan. Hanafi masih pulas dalam tidurnya. Kuikuti langkah anak sulungku itu ke luar kamar. Namun, begitu sampai di ruangan depan, Radit terhenti melihat semua barang yang tadi kubawa. Ia terdiam dengan mata yang sedih. Ah ... seharusnya tadi kubereskan dulu semua barang ini.
“Bunda ....” Ia memanggilku, suaranya terdengar serak, mungkin menahan tangis. “Kita mau pindah ke sini, ya?” tanyanya kemudian.
Aku berjongkok di depannya, mencari jawaban yang paling pas untuk anakku itu. “Kita ... di sini dulu ya, Kak,” jawabku hati-hati.
“Karna tante yang kemaren, ya?” tanyanya lagi. Jantungku berdegup kencang karena pertanyaan Radit. “Ayah nggak bisa pulang ke rumah, tapi bisa pergi sama tante itu. Emang tante itu siapa, Bunda?”
Kulihat mata Radit yang mulai berkaca-kaca, aku pun bersusah payah menahan agar tak menangis. Jawaban apa yang bisa kuberikan padanya. Apakah aku harus berbohong?
“Ayah ... hmm ... tante itu lagi sakit, ayah harus nemenin,” jawabku sedikit terbata.
“Tante itu siapa, Bunda?” tanyanya lagi. Aku benar-benar tak tahu harus menjawab seperti apa agar tak melukai hati anakku itu.
“Tante itu ... tantenya Radit,” jawabku singkat. Lalu berusaha mengalihkan perhatiannya lagi. “Oh ya, mana ikan baru nenek yang tadi Kakak bilang? Bunda penasaran nih, kemaren bunda nggak liat ada ikan baru?”
Aku mengajaknya ke arah akuarium untuk mengalihkan perhatiannya, sementara Ibu membawa barang-barangku ke kamar. Mungkin agar Radit tak bersedih lagi.
‘Mas Fandi, lihatlah apa yang terjadi sekarang. Sampai hati kamu menghancurkan tak cuma hatiku, tapi juga Radit. Bagaimana bisa kamu membawa wanita itu di antara kita, Mas?’ Batinku kembali menjerit. Tak ada yang lebih menyakitkan daripada melihat mata anakku yang berkaca-kaca, tapi aku tak bisa menjelaskan apa-apa.*****
KAMU SEDANG MEMBACA
Berbagi Beban (Sudah dibukukan)
RomanceDinda, seorang istri yang selalu mencintai dan mendampingi suaminya dengan sabar, dipaksa menerima kenyataan bahwa ada wanita lain dalam hidup suaminya. Namun, ia harus bertahan demi harga dirinya, dan anak-anaknya. Keseluruhan cerbung ini terdiri d...