Saatnya Mengambil Keputusan

211 11 0
                                    


Menjalankan bisnis ternyata bisa mengalihkan pikiranku dari masalah Mas Fandi. Terlebih lagi Bu Fatimah dan Hanan yang selalu menyemangatiku bahwa bisnis ini pasti akan berkembang dengan baik. Perlahan-lahan, sedikit demi sedikit aku mulai memahami prosedur bisnis kami, dan aku sangat menikmatinya. Ternyata tak sesulit yang aku pikirkan.
 
Bu Fatimah juga tidak keberatan jika aku terkadang membawa serta Radit dan Hanafi saat harus datang ke butiknya. Ia memang selalu menyukai kedua anakku, dan kerap membelikan beberapa mainan untuk mereka. Aku benar-benar bersyukur mengenal orang-orang sebaik Bu Fatimah dan Hanan. Entah bagaimana bisa kubalas jasa baik mereka   padaku. Mereka seperti malaikat yang sengaja diturunkan ke bumi.
 
Ibu pun terlihat sangat senang dengan pekerjaan baruku ini. Tak lagi kulihat Ibu menangis, dan itu adalah kesyukuranku yang utama.
 
“Kamu pasti bisa, Din. Ibu akan selalu mendukung dan mendo’akan kamu. Dulu, sekarang, dan selamanya,” ucap Ibu lembut. Tak ada yang lebih menenangkan selain pelukan Ibu. Aku pasti akan terus berjuang demi mereka yang kucintai.
 
Mas Fandi terkadang masih mendatangi rumah Ibu. Namun, ia selalu kembali dengan tangan kosong. Ibu tetap tak mengizinkan ia menemuiku dan anak-anak. Aku pun telah mengganti nomor ponsel, sehingga Mas Fandi dan ibunya tak bisa lagi menggangguku.
 
Radit pun mulai bisa menerima ketidakhadiran sang ayah. Bahkan di saat Mas Fandi datang, Radit sendiri langsung berlari masuk ke dalam kamar. Mungkin hanya Hanafi yang belum mengerti alasan dibalik ketidakhadiran ayahnya. Sejujurnya aku tak sampai hati menyaksikan perpisahan Mas Fandi dan anak-anak, tapi semua ini demi masa depan mereka.
 
Keputusanku pun semakin bulat, secepatnya aku akan mengajukan gugatan cerai pada Mas Fandi. Saatnya menata hidup yang baru, dan mulai menghargai diriku sendiri. Sesuatu yang tak akan kudapatkan dari Mas Fandi dan ibunya, terlebih lagi dengan kehadiran Raya di antara kami.
 
****
 
Hari ini aku pulang sedikit terlambat karena mempersiapkan pembukaan cabang baru butik Bu Fatimah. Alhamdulillah, bisnis kami telah berkembang cukup pesat, dan cabang baru itu nantinya akan menjadi tanggung jawabku. Bu Fatimah telah mempercayakan pengelolaanya padaku. Tentu saja masih dengan bantuan Hanan. Namun, aku sudah sangat bersyukur. Jalanku semakin terbuka lebar dalam bisnis butik ini.
 
Baru saja aku melangkah meninggalkan butik, terdengar seseorang memanggil namaku. Kualihkan pandang ke arah suara itu. Jantungku seketika berdegup kencang. Mas Fandi. Bagaimana dia bisa tahu bahwa aku ada di butik ini? Apa Mas Fandi membuntutiku?
 
“Din, kita harus bicara, Din!” ucap Mas Fandi mendekat ke arahku.
 
Aku seketika berbalik dan berlari meninggalkan Mas Fandi. Namun, ia mengejarku dan terus berteriak memanggil namaku.
 
“Din, please, kita harus bicara, Din,” ucapnya seraya terus mengejarku.
 
Aku tak menggubris ucapannya, dan terus berlari. Tak ingin lagi bicara dengannya. Namun, Mas Fandi begitu cepat menyusul langkahku. Ia memegang tanganku hingga langkahku tertahan.
 
“Din, please, jangan menghindar dari aku lagi, kita harus bicara. Kamu boleh marah, marahin aku sepuas kamu, tapi jangan pergi. Aku nggak bisa kehilangan kamu, Din,” ucapnya menghiba.
 
Aku berusaha melepaskan genggaman tangan Mas Fandi, tapi ia mencengkeram tanganku begitu kuat hingga terasa sedikit sakit.
 
“Mas, lepasin aku! Aku nggak mau bicara apapun sama kamu, Mas!” ujarku terus meronta.
 
“Din, aku mohon, jangan begini! Aku nggak bisa kehilangan kamu dan anak-anak. Please, maafin aku. Aku janji nggak akan pernah mengulang kesalahan itu lagi, Din. Mari kita mulai lagi semua dari awal,” ucapnya lagi, terus memohon.
 
Begitu gampang ia mengucapkannya, memulai semua lagi dari awal? Seandainya segampang itu rasa sakit bisa disingkirkan.
 
“Terlambat, Mas. Hatiku tak seluas itu. Lepasin aku!” rontaku. Namun, Mas Fandi bersikeras menahan dan memohon.
 
Tanpa kuduga, seseorang datang dan dengan kasar melepaskan tangan Mas Fandi yang menggenggamku. Aku dan Mas Fandi bersamaan menatap laki-laki berkemeja biru tersebut.
 
“Dimas.” Ah ... syukurlah Dimas datang dan menolongku lepas dari cengkeraman Mas Fandi.
 
“Jangan kasar sama perempuan, Bro!” ucap Dimas pada Mas Fandi.
 
“Jangan ikut campur, dia istri saya. Saya hanya mau bicara dengan istri saya,” jawab Mas Fandi tajam.
 
Dimas mengalihkan pandangan padaku. Aku menggeleng kuat, memberi isyarat bahwa aku tak mau bicara dengan Mas Fandi.
 
“Dia nggak mau ngomong, Bro. Jangan maksa!” ucap Dimas kembali menatap Mas Fandi. Mas Fandi berusaha kembali menarik tanganku, namun Dimas sigap mencegahnya.
 
“Kalau dia memang istri lo, kayaknya ada masalah sampai dia nggak mau ngomong sama suaminya sendiri. Biar dia nenangin diri dulu, Bro. Jangan maksa perempuan kayak gini!” ucap Dimas lagi.
 
Tak mau membuang waktu, aku memilih berlari menjauh, tak ingin Mas Fandi kembali mendekatiku. Sempat kulihat ke belakang, Dimas menahan Mas Fandi yang ingin mengejarku. Syukurlah ... aku harus pergi secepatnya.
 
Tak kupedulikan lagi Mas Fandi yang berteriak memanggil. Yang kupikirkan sekarang hanyalah pergi secepatnya. Hingga beberapa lama aku berlari, suara klakson mobil mengagetkanku.
 
“Aku anterin sampai rumah, ya,” ucap Dimas di balik kemudi mobil. Rupanya ia memutuskan untuk menyusulku.
 
Aku berpikir beberapa saat. Ragu, tapi jika aku terus berjalan mungkin Mas Fandi akan mengejarku lagi. Akhirnya kuputuskan naik dan duduk di bangku belakang.
 
“Berantem sama suami?” tanya Dimas menatapku dari kaca spion.
 
Aku hanya diam. Tak tahu bagaimana harus menjawab pertanyaan Dimas.
 
“Masalah apa sampai pulang ke rumah ibu?” tanyanya lagi.
 
Aku lagi-lagi hanya bisa diam.
 
“Kadang dengan cerita, hati bisa jadi lebih tenang, Din. Siapa tau aku juga bisa bantu, atau setidaknya ngasih saran,” ucap Dimas lagi.
 
Aku mengalihkan pandangan ke luar jendela mobil. Tak pernah kuceritakan masalah rumah tanggaku sebelumnya. Karena tak yakin mereka akan mengerti posisiku. Namun, dada ini sudah terlalu sesak, apalagi dengan kedatangan Mas Fandi yang tiba-tiba tadi. Rasanya aku tak sanggup lagi menahannya sendiri.
 
“Dia nikah lagi,” jawabku akhirnya dengan pandangan masih fokus ke luar.
 
“Wah, pasti istri barunya hebat banget ya, sampai bisa ninggalin istri secantik kamu,” ucap Dimas sambil tertawa. Dari nada suaranya aku tahu dia bercanda. “Terus, kenapa dia ngejar kamu tadi?”  tanyanya lagi.
 
Aku menggeleng. Entahlah bagaimana kujelaskan bahwa Mas Fandi menolak berpisah denganku.
 
“Ya udah. Lain kali kalau mau pulang telat telfon aku aja. Biar aku antar pulang, daripada kamu dikejar lagi kayak tadi. Anggap aja aku taksi langganan kamu,” canda Dimas lagi.
 
Aku tersenyum. Benar, dengan bercerita hati menjadi lebih tenang. Aku pun merasa ketakutan dan keteganganku sedikit berkurang. Setidaknya sekarang ada yang mengetahui luka di hatiku.
 
Tanpa terasa mobil Dimas telah berhenti di depan rumah Ibu. Aku pun turun setelah mengucapkan terima kasih. Merasa lega bisa sampai di rumah dengan aman. Perlahan aku melangkah memasuki halaman. Dimas baru melajukan mobilnya kembali setelah aku membuka pintu.
 
****
 
Semenjak kejadian Mas Fandi yang mencegatku, aku mulai membatasi jam kerja. Tak ingin sampai terlambat pulang seperti waktu itu. Bu Fatimah tak bertanya banyak, hanya mengiyakan permintaanku. Aku pun berjanji padanya akan tetap menyelesaikan semua tugasku tepat waktu.
 
Hari ini juga aku memutuskan mendatangi kantor pengadilan agama untuk mengajukan gugatan cerai pada Mas Fandi. Lebih cepat lebih baik, agar aku bisa fokus pada hidupku dan kedua anakku, tanpa harus khawatir lagi dengan kedatangan Mas Fandi.

****

Berbagi Beban (Sudah dibukukan)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang