Jarak itu Kini Terbentang

208 12 0
                                    


Apa yang paling sulit dalam ketidakhadiran Mas Fandi adalah menjawab rasa kehilangan di hati kedua anakku, terutama Radit. Ia sangat merindukan kehadiran sang ayah. Untuk pertama kalinya Mas Fandi tak pulang hingga berhari-hari lamanya.
 
“Bunda, Ayah kerja di mana, sih? Ayo telfon Ayah!” pintanya sore ini.
 
Aku hanya bisa menghibur dan mengalihkan perhatiannya dengan mengajak bermain. Berat untuk mereka, aku tahu itu. Namun, cepat atau lambat semua ini harus terjadi. Apalagi jika melihat situasi yang semakin kacau belakangan ini, semakin kecil kemungkinan rumah tanggaku dan Mas Fandi akan bisa dipertahankan.
 
Entah yang kulakukan ini benar atau tidak, tapi yang pasti aku tak bisa membiarkan kedua buah hatiku terganggu. Jika aku memilih untuk terus bertahan, bukan tak mungkin akan ada ibu ketiga, dan keempat. Apalagi jika melihat Mas Fandi dan Raya yang belakangan ini selalu bertengkar. Ini tak akan bagus untuk perkembangan Radit dan Hanafi. Aku tak ingin mereka tumbuh menjadi pribadi yang tak bisa menghargai wanita seperti Mas Fandi.
 
Sebagai gantinya, aku akan berjuang lebih keras untuk menjadi ibu, sekaligus ayah untuk mereka. Tak akan kubiarkan mereka kekurangan kasih sayang dan perhatian.
 
****
 
Aku menyerahkan bungkusan berisi pesanan baju yang telah selesai dijahit pada Bu Fatimah. Ia adalah langgananku sejak beberapa tahun terakhir, dan selalu mengagumi setiap hasil jahitanku.
 
“Mana Radit dan Hanafi?” tanya Bu Fatimah, mungkin karena tak melihat kedua buah hatiku yang biasanya selalu riang saat ia datang.
 
“Lagi tidur siang, Bu, kecapekan dari pagi main,” jawabku sambil tersenyum.
 
“Oh ya, bagaimana tawaran saya tempo hari, Mbak Dinda?” tanyanya setelah memeriksa baju yang ia pesan. Memang sudah beberapa kali ia menawarkanku untuk bekerja sama dengan butik yang ia miliki. “Jahitan Mbak Dinda bagus dan rapi, saya yakin kalau kita bekerja sama kita akan saling menguntungkan nantinya,” ucapnya kembali berusaha meyakinkanku.
 
Biasanya aku tak terlalu tertarik dengan tawarannya, karena memang tak yakin bisa memenuhi pesanan butik nantinya. Di samping itu, aku sama sekali tak memiliki pengalaman dalam hal ini. Selama ini aku hanya mengambil pesanan kecil-kecilan dari tetangga sekitar.
 
Namun, kali ini aku mulai menimbang-nimbang, jika nanti telah berpisah dengan Mas Fandi, setidaknya aku harus memiliki pekerjaan yang lebih menjanjikan. Pekerjaan yang bisa lebih menjamin masa depan kedua anakku.
 
Aku berpikir sembari mengalihkan perhatian pada mobil Bu Fatimah yang terparkir di halaman. Bu Fatimah selalu datang dengan diantar oleh anaknya, Mas Hanan, yang juga membantunya menjalankan butik yang sudah memiliki banyak cabang di luar daerah.
 
“Saya nggak ngerti sama sekali, Bu. Saya belum punya pengalaman tentang kerjasama seperti ini,” ucapku kembali menatap Bu Fatimah.
 
“Soal itu Mbak Dinda nggak perlu cemas, Hanan nanti bisa membantu. Nanti Mbak Dinda bisa ngobrol dulu sama Hanan, usia kalian ‘kan nggak beda jauh, jadi pasti nyambung kalau ngobrol,” ucap Bu Fatimah. Ia menyesap teh yang tadi kuhidangkan, “Saya yakin sekali Mbak Dinda bisa. Saya suka sekali dengan hasil kerja Mbak Dinda, berbakat sekali,” lanjutnya.
 
Aku tersenyum. Bu Fatimah adalah seorang pengusaha, jika beliau bisa seyakin ini, apa berarti memang ini peluang yang bagus untuk kami?
 
“Pokoknya kalau nanti Mbak Dinda setuju, hubungin aja saya atau Hanan, ya,” ucap Bu Fatimah lagi. Aku selalu salut dengan keramahan wanita yang sepantaran dengan ibuku ini, meskipun status sosialnya mungkin jauh di atasku, tapi ia selalu bicara dengan nada lembut.
 
Aku lantas mengangguk, dan mengantarkan beliau keluar. Akan kupertimbangkan tawaran ini masak-masak. Jika ini memang yang terbaik untuk masa depanku dan anak-anak, aku akan dengan senang hati menerimanya.
 
****
 
Setelah Bu Fatimah pergi, aku mengambil gawai yang tadi kuletakkan di meja kamar. Lima panggilan tak terjawab dari Mas Fandi. Ada apa Mas Fandi menelfon sesering ini? Tak biasanya.
 
Ada satu pesan whatsapp juga darinya. Langsung kubuka sembari menerka-nerka, apa ia bertengkar dengan Raya lagi?
 
[Din, aku rindu kamu.]
 
Isi pesan whatsapp Mas Fandi membuat air mataku jatuh. Perih dan sakit menyesak di ulu hati. Rindu? Seandainya ia tak melukai hatiku dengan membawa wanita lain, pasti pesan whatsappnya ini akan membuat kebahagiaanku membuncah. Namun, kini yang tersisa hanya perih. Kembali terasa sakit penghianatannya atas cintaku.
 
‘Kamu bilang rindu, setelah kamu membunuh cintaku. Kamu bilang rindu, setelah menghancurkan hatiku. Apakah semua ini hanya mainan bagimu?’
 
Tidak. Aku tak boleh lemah, tak boleh kalah. Aku harus tetap pada tujuan awalku. Membuat Mas Fandi melihat kesalahannya, dan memastikan ia menyesal atas apa yang ia lakukan padaku.
 
Kuletakkan gawai itu kembali ke atas meja. Sebentar lagi Radit dan Hanafi mungkin akan bangun dari tidur siang mereka. Aku tak ingin mereka melihatku menangis.
 
Baru saja aku hendak beranjak keluar kamar, gawai itu kembali berdering. Sebuah panggilan dari ibuku. Kudekatkan benda pipih itu ke telinga setelah menekan tombol berwarna hijau.
 
“Assalammu’alaikum, Bu,” ucapku.
 
“Wa’alaikumussalam, Nak. Kamu lagi sibuk nggak? Anterin ibu ke rumah sakit, ya, kepala ibu terasa sakit sekali. Ibu takut pusing di jalan kalau pergi sendiri.” Ucapan Ibu di seberang sana membuatku merasa bersalah. Karena terlalu sibuk memikirkan masalah Mas Fandi aku sampai lalai dengan kondisi Ibu.
 
“Ibu tunggu Dinda di rumah, ya. Dinda kesana sekarang.”
 
Kumatikan sambungan telfon. Radit dan Hanafi masih tidur. Aku akan bersiap-siap sembari menunggu mereka bangun.
 
****
 
Kami sampai di rumah sakit satu setengah jam kemudian. Aku mengambilkan nomor antrian untuk Ibu, lalu kami duduk menunggu giliran periksa. Antrian siang ini tak terlalu panjang.
 
 Selama menunggu, Ibu bertanya banyak tentang keadaanku, anak-anak, dan juga Mas Fandi. Aku berbohong mengatakan Mas Fandi sedang sibuk dengan pekerjaaanya. Ah ... entah sampai kapan aku sanggup menyembunyikan semua ini dari ibu.
 
Obrolan kami terhenti saat nama Ibu dipanggil. Giliran Ibu sekarang untuk diperiksa. Aku mengantarkan Ibu masuk ke ruangan dokter cantik berkerudung merah, yang langsung menyambut Ibu dengan senyuman hangat. Dokter menanyakan beberapa hal selama memeriksa keadaan Ibu.
 
Syukurlah Ibu hanya mengalami sakit kepala biasa. Dokter pun meresepkan obat untuk Ibu, dan kami segera ke apotik untuk menebusnya. Aku menggendong Hanafi, sedangkan Radit berpegangan dengan neneknya. Tak butuh waktu lama untuk menunggu obat, karena memang tak begitu banyak antrian di apotik hari ini.
 
Aku lantas mengajak Ibu dan anak-anak segera pulang, agar Ibu bisa segera beristirahat. Namun, langkah kaki kami terhenti ketika mendapati seseorang di depan sana.
 
Mas Fandi. Raya.
 
Jantungku berdegup sangat kencang. Darahku berdesir. Bagaimana harus kujelaskan pada Ibu tentang Mas Fandi dan Raya.
 
Mas Fandi pun nampak sangat terkejut. Mungkin hanya Raya yang tak terlalu terpengaruh dengan keadaan ini.
 
“Fandi ....” ucap Ibu, bergantian menatap Mas Fandi dan Raya, juga perut Raya yang sudah semakin membesar. Lalu sedetik kemudian sebuah tamparan mendarat di pipi Mas Fandi. “Siapa wanita ini? Kamu berkhianat di belakang putri saya?”
 
Mas Fandi membuka mulutnya bersiap menjelaskan. Kudapati Raya yang juga hendak membuka suara.
 
“Bu, ayo kita pergi dari sini,” ucapku sebelum mereka berdua bisa mengatakan apa-apa. “Ayo kita pulang, Bu!”
 
“Ini suami kamu ....”
 
“Nanti Dinda jelasin di rumah. Ayo kita pulang dulu!” Kutarik tangan ibu dengan sebelah tangan masih menggendong Hanafi, sedangkan Radit segera belari mengikuti kami. Entah anak itu mengerti atau tidak. Namun, sempat kulihat ia menatap ayahnya dengan tatapan sedih.
 
Sepanjang perjalanan aku dan Ibu saling diam. Sibuk dengan pikiran masing-masing. Aku sibuk memikirkan bagaimana cara menceritakan semua pada Ibu.
 
Angkot yang kami tumpangi berhenti tepat di depan rumah Ibu. Pelan aku turun dan mengikuti langkah Ibu masuk.
 
“Tinggalkan dia, Din! Pulanglah ke sini!” ucap Ibu setelah kuceritakan semua.
 
“Dinda pasti pulang, Bu, tapi nggak sekarang,” jawabku berusaha meyakinkan Ibu.
 
“Apa lagi yang kamu harapkan? Dia sudah mengkhianatimu, Nak!”
 
“Bu, tolong percaya sama Dinda, dan beri Dinda waktu. Dinda pasti pulang, tapi nggak sekarang. Ada yang harus Dinda lakukan sebelum pulang,” ucapku. Ya ... aku harus memastikan Mas Fandi menyesal.
 
Ibu menarik napas panjang dan menangis. Aku pun menangis dalam pelukan Ibu.
 
“Kenapa nggak pernah kamu ceritakan sama ibu, Nak? Malang sekali nasibmu!” ucap Ibu sambil terisak, dan mengelus kepalaku.
 
Aku merasa sangat marah pada Mas Fandi. Entah salah siapa kami bisa bertemu di rumah sakit itu, yang jelas aku benci melihat rasa sakit di mata Ibu, dan semua itu karena dia.
 
****

Berbagi Beban (Sudah dibukukan)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang