Playing Victim

196 9 0
                                    


Rumah ibu mertuaku berada jauh di pinggir kota. Kurang lebih dua jam perjalanan menggunakan angkutan umum. Rumah sederhana yang dicat merah muda dan berhiaskan taman di bagian depannya. Ada area bermain untuk anak-anak juga di sana.
 
Aku masih ingat ketika pertama kali datang ke rumah ini sebagai menantu, saat itu aku disambut dengan hangat. Ibu bahkan sengaja membuatkan berbagai macam masakan khusus untukku, mungkin karena Mas Fandi adalah anak laki-laki satu-satunya Ibu.
 
Mas Fandi senang sekali mengajakku ke taman di depan rumah Ibu.
 
“Kalau nanti kita punya anak, mereka pasti senang main disini, deh, Din,” ucap Mas Fandi tak lepas menatap taman bermain itu. Wajahnya terlihat penuh cinta. Saat itu aku yakin akan menjadi istri yang paling berbahagia, memiliki suami sepertinya, dan mertua seperti Ibu.
 
Namun, segala kehangatan itu kini tak lagi terasa. Hilang entah kemana. Terakhir kali aku mendatangi Ibu pun, aku disambut dengan muka masam dan dipojokkan. Ah ... seandainya bukan karena Ibu yang menelfon tiba-tiba dan menyuruhku datang, rasanya enggan aku menginjakkan kaki lagi di rumah ini.
 
Aku baru saja menaiki teras ketika mendengar isakan seorang perempuan di dalam sana. Rasanya aku mengenal suaranya, apa itu Raya? Kuhentikan langkahku beberapa saat, dan berusaha mendengarkan lebih jelas, aku yakin itu adalah suara Raya. Kuputuskan untuk meninggalkan Radit dan Hanafi di taman dengan salah seorang keponakan Mas Fandi. Jika benar itu suara Raya, pasti akan ada masalah di dalam sana.
 
Pelan aku melangkah mendekati pintu dan mengucapkan salam, yang dibalas dengan tatapan sinis Ibu. Di sana, benar ada Raya, duduk di samping Ibu dengan wajah yang kacau karena airmata. Sedangkan di seberang mereka sudah ada Mas Fandi, masih dengan pakaian kerjanya. Agaknya ia juga mendadak diminta Ibu datang.
 
“Masuk, Dinda!” ucap Ibu tegas. Dari nada suaranya aku bisa merasakan posisiku yang sedang tidak aman.
 
Aku masuk dan duduk di sebelah Mas Fandi, satu-satunya tempat yang tersisa. Karena kursi lainnya dipenuhi dengan barang-barang keperluan bayi, mungkin itu untuk calon bayi Raya.
 
Raya masih terus menangis terisak-isak, dan Ibu memeluknya.
 
“Sudah, Nak. Ada ibu di sini. Tenang saja, selama ada ibu nggak akan ada yang bisa nyakitin kamu,” ucap Ibu sambil memandang sinis padaku dan Mas Fandi.
 
Memang luar biasa maduku ini, playing victim. Bersikap seolah ia adalah korban, dan akulah penjahatnya.
 
“Fandi, betul kamu sibuk di rumah Dinda terus sekarang? Nggak menafkahi Raya lagi?” tanya Ibu. Tidak. Lebih tepatnya Ibu membentak.
 
“Nggak nafkahin dari mana? Itu yang aku kasih kemaren gajian, apa?” tanya Mas Fandi dengan gaya tak acuhnya. Ia memang bukan tipe orang yang akan memusingkan orang lain, dan tak akan terpengaruh dengan air mata.
 
“Tapi selalu dikurangin, Bu. Mungkin lebihnya buat Mbak Dinda, istri kesayangannya,” ucap Raya dengan nada menghasut Ibu.
 
“Berapa kali aku harus bilang sama kamu, jatah aku dan kamu itu selalu sama, Ya,” sanggahku.
 
Kemarin aku mungkin tak akan mempedulikan bocah kecil ini, tapi kali ini tidak bisa. Aku harus menyelamatkan harga diriku di depan Ibu. Aku tak mau diinjak-injak lagi seperti tempo hari.
 
“Aku nggak percaya-”
 
“Eh ... kamu tu jadi istri memang nggak ada bersyukurnya, ya! Selalu merasa kurang, selalu menuntut ini itu, makanya aku tu lebih nyaman sama Dinda. Dia nggak suka ngeluh kayak kamu, dia mandiri, nggak cengeng,” ucap Mas Fandi yang disambut dengan tangis Raya yang semakin menjadi. Aku tahu ia kesal karena dibanding-bandingkan oleh Mas Fandi.
 
Akupun rasanya ingin sekali memaki Mas Fandi, kalau bukan karena ketidakbersyukurannya dulu, semua masalah ini tidak perlu terjadi.
 
“Ibu lihat sendiri, ‘kan? Mbak Dinda, Mbak Dinda, Mbak Dinda terus yang dibelain.” Lagi-lagi Raya memposisikan dirinya sebagai korban. Dasar bocah culas!
 
“Kamu harusnya jangan begitu, Fandi. Raya ini istri kamu juga. Lihat dia sekarang juga lagi hamil. Kamu harusnya lebih perhatiin kondisinya!” Raya berhasil, Ibu bahkan tak mendengarkan ucapanku maupun Mas Fandi. “Kamu juga, Din. Sebagai yang lebih tua harusnya lebih berpikiran terbuka. Jangan maunya enak sendiri. Pertama kamu mengizinkan Fandi menikahi Raya, ibu kagum sama kamu. Ibu salut dengan ketulusan hati kamu, tapi sekarang melihat kondisi Raya, ibu kecewa sama kamu!”
 
Ketulusan? Ini bukan ketulusan. Ini hanyalah pertahanan terakhir seorang istri dan seorang menantu yang tak lagi dihargai oleh suami dan mertuanya. Ini satu-satunya caraku membalikkan semua penghakiman mereka.
 
“Bagaimanapun Dinda, apapun yang Dinda lakukan, Ibu akan tetap menyalahkan Dinda, ‘kan?” Aku tak mengharapkan jawaban atau tanggapan apa-apa dari Ibu. Aku tahu ucapanku akan membuatnya tersinggung. Bahkan Mas Fandi pun terlihat heran. Pertama kalinya aku mengangkat suara pada ibunya.
 
“Betul-betul kamu, ya. Pantaslah Raya menangis seperti ini melihat sikap kamu,” jawab Ibu dengan wajah berangnya. “Pokoknya, sampai Raya melahirkan nanti, Fandi akan terus menemani Raya. Ibu nggak mau liat Raya dibikin nangis lagi!” Ibu terus memandang sinis padaku.
 
Mas Fandi sempat menolak permintaan, tidak, bukan permintaan tapi perintah Ibu untuk selalu menemani Raya hingga melahirkan, tapi ibunya dan airmata Rayalah yang mengambil keputusan. Sempat kutangkap Raya yang mencuri pandang padaku dengan tatapan puas.
 
‘Bersenang-senanglah sekarang, Raya. Berbahagialah. Karena kebahagiaanmu hari ini bisa jadi akan menjadi pintu menuju airmata kamu nantinya,’ batinku.
 
“Dinda nggak masalah Mas Fandi di tempat Raya, dari awal juga itu bukan masalah buat Dinda,” ucapku. Sekali lagi kutatap bocah madu itu. Ia beruntung mendapatkan pembelaan dari Ibu, tapi aku yakin bocah sepertinya tidak akan tahan menghadapi Mas Fandi. Air matanya nanti akan lebih deras daripada hari ini.
 
Aku berdiri dan beranjak meninggalkan mereka bertiga. Tanpa mempedulikan Mas Fandi yang memanggilku, kubawa anak-anak meninggalkan rumah Ibu. Tak peduli lagi jika Ibu marah. Dengan atau tidak adanya kejadian ini, aku akan tetap buruk di matanya.
 
****
 
Mas Fandi pulang beberapa jam kemudian. Dari wajahnya, aku tahu ia sekarang merasa kesal. Entah padaku, atau pada Raya dan ibunya.
 
“Kamu kenapa sih melawan Ibu tadi, Din?” tanyanya ketus.
 
“Aku bukan melawan, hanya membela diriku yang dipojokkan, karna aku tau suamiku nggak akan melakukan itu,” jawabku. Aku masih menahan diri agar tak berteriak, tapi jelas nada suaraku lebih tinggi dari biasanya.
 
“Nggak akan melakukan apa? Aku bela kamu ‘kan tadi? Kamu itu istri yang paling aku banggakan, tapi sikap kamu itu membuat aku dapat masalah. Lihat sekarang, aku harus menemani Raya setiap hari. Bisa gila aku ngadepin kelakuannya,” ujar Mas Fandi sambil memegang kepala dengan dua tangannya.
 
“Oh ya? Aku istri yang selalu Mas banggakan? Istri yang nggak bisa merawat diri? Istri yang selalu terlihat kucel? Istri yang nggak bisa melayani suami dengan baik? Apalagi yang kamu ceritakan pada Ibu, Mas?” tanyaku sinis.
 
Mas Fandi nampak terkejut mendengar ucapanku.
 
“Itu ....”
 
“Jika Raya nggak bikin kamu kesal seperti ini, apa aku tetap istri yang terbaik?” tanyaku lagi.
 
“Kamu kenapa sih jadi aneh gini? Jadi kayak Raya ....”
 
“Jangan samakan aku dengan dia, Mas! Aku bukan duri dalam pernikahan orang lain,” jawabku tajam.
 
Kutinggalkan Mas fandi sebelum ia sempat mengucapkan apa-apa lagi. Memang aku agak terpancing dengan kejadian hari ini, lukaku terasa sakit kembali melihat Ibu yang seharusnya bisa bersikap lebih bijak justru begitu gampang memojokkanku demi menantu barunya.
 
Namun, aku tak keberatan jika Mas Fandi akan lebih sering dengan Raya sekarang. Ini justru menguntungkan bagiku. Semakin sering mereka bersama, aku yakin akan semakin sering juga mereka bertengkar, dan semakin cepat Mas Fandi menyesal. Aku sangat mengenal Mas Fandi, butuh kesabaran penuh untuk menghadapinya, sesuatu yang kutahu tidak dimiliki oleh bocah seperti Raya.

****

Berbagi Beban (Sudah dibukukan)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang