Ini Saatnya

217 12 0
                                    


“Maaf aku baru bisa pulang. Parah banget si Raya itu. Nggak ngijinin aku ke sini. Pake ngancam mau ngadu sama Ibu. Stres lama-lama aku sama dia tuh,” ucap Mas Fandi begitu sampai di rumah.
 
Kutatap wajahnya yang terlihat lelah dan kesal. Juga membayang raut frustasi di sana. Mungkin ia bertengkar hebat dengan Raya. Inilah saatnya, yang selama ini selalu kutunggu-tunggu. Waktu untuk membalikkan semua. Untunglah Radit dan Hanafi telah kutitipkan pada Ibu.
 
“Parah dia, terlalu manja, cengeng. Apa-apa minta bantu, apa-apa nyuruh. Dikit-dikit nangis. Stres aku di sana setiap hari. Kalau bukan karna Ibu ....”
 
“Kenapa kamu nggak nikah lagi aja, Mas?” tanyaku tajam memotong ucapannya.
 
“Nikah lagi?” Mas Fandi mengerutkan dahi mendengar pertanyaanku. Mungkin ia bingung, atau justru itu memang harapannya. Entahlah.
 
“Iya, nikah lagi. Dulu waktu Mas ngerasa aku udah nggak cukup menyenangkan, Mas memilih nikah lagi, ‘kan?” sindirku.
 
“Kok kamu ngomongnya gitu sih, Din. Kayak aku ini orang yang doyan nikah aja,” jawabnya sembari tersenyum. Apapun arti senyumannya itu, aku muak melihatnya.
 
“Entah doyan atau nggak, yang jelas Mas nggak akan mungkin memilih bertahan untuk memperbaiki, ‘kan?” ucapku tajam. Aku tak lagi perlu menahan diri sekarang.
 
“Bukan gitu, Din. Kamu sendiri ‘kan ngerti alasan aku memilih menikah lagi ....”
 
“Nggak! Aku nggak ngerti! Sampai sekarang pun aku nggak ngerti!” ucapku keras. Nada suaraku telah naik beberapa oktaf. Ia pasti menyadari kemarahanku sekarang.
 
“Kamu kenapa sih, Din, kok tiba-tiba kamu marah-marah?” tanyanya terlihat tak nyaman.
 
“Karna aku udah terlalu lama menahan diri, Mas. Udah terlalu lama aku bersabar!”
 
“Maksud kamu? Bersabar tentang apa? Tentang Raya? Bukannya kamu udah ikhlas?” tanyanya lagi.
 
“Apa kamu senaif itu, Mas? Nggak ada wanita yang ikhlas membagi suaminya, nggak ada! Apa sih yang nggak aku lakukan buat rumah tangga kita, Mas? Aku menerima semua kekurangan kamu, memaklumi semua kelemahan kamu. Apa aku mengeluh saat Mas nggak ngasih nafkah yang menjadi hakku? Atau mengeluh saat Mas sedikitpun nggak mau tau tentang urusan di rumah? Aku menerima apa adanya, begitu caraku mencintai. Tapi kayaknya, cintaku membuat Mas lupa daratan. Setelah semua yang aku lakukan, hanya pengkhianatan ini yang sanggup Mas berikan sebagai balasnya?” Kutumpahkan semua yang mengganjal di hatiku selama ini. Malam ini semua harus berakhir.
 
Mas Fandi tercengung, berusaha mendekat, aku tahu ia sama sekali tak menyangka semua ini akan terjadi. “Din, kenapa ... kamu ngomong gini?”
 
“Nggak ada yang lebih sakit daripada melihat cinta yang sepenuh hati diberikan dibalas dengan pengkhianatan, Mas!” tegasku.
 
“Tapi kamu udah ngizinin ‘kan, Din?”
 
“Ngizinin? Aku ngizinin? Coba Mas ingat-ingat lagi, apa Mas peduli dengan izinku saat itu? Bahkan saat aku masih berusaha mempertahankan rumah tangga kita, mempertahankan apa yang menjadi milikku, Mas sudah membawa wanita itu untuk bertemu dengan anak-anak! Aku mengizinkan?”
 
Aku tertawa keras. Melepaskan semua kemarahan dan gejolak di dalam hatiku, “aku mengatakan iya bukan karna telah mengizinkan, semua itu hanya demi menjaga Ibu dan anak-anak agar tak sampai merasakan sakit yang kamu tikamkan, Mas. Dan ... ya, aku bertahan, bukan karna suka. Tapi karna aku nggak akan mau melewatkan kesempatan melihat keterpurukan kamu sebagai balasan atas rasa sakit yang kamu berikan, Mas. Bagaimana rasanya membagi cinta? Aku sangat mengenal kamu. Bukan hal yang gampang menghadapi kamu, menjadi istri kamu itu berat!! Butuh cinta yang besar untuk itu. Aku sudah pernah bilang, ‘kan? Kalau kamu mencari wanita lain, kamu hanya akan menemukan kenyataan bahwa nggak ada yang bisa mencintai kamu sebesar cintaku, tapi saat kamu menyadarinya, semua sudah terlambat, Mas!”
 
“Din ... aku ....” Mas Fandi terlihat salah tingkah. Mungkin apa yang kukatakan saat ini jauh di luar dugaannya. Mungkin ia tak menyangka aku akan sanggup melakukan semua ini.
 
“Mungkin aku jahat, Mas. Mungkin juga picik. Tapi aku bukan malaikat. Aku punya hati, dan bisa merasakan sakit. Semua yang aku lakukan ini sebanding dengan dengan apa yang kamu lakukan pada Ibu dan kedua anakku!” Kutarik napas dalam. Terbayang kesedihan dalam wajah Radit ketika melihat ayahnya dengan Raya di rumah sakit, juga air mata Ibu membuat sakitku kembali berdarah. “Sekarang semua sudah cukup! Aku bisa membiarkan hatiku disakiti, tapi tidak dengan hati Ibu dan kedua anakku. Besok aku akan kembali ke rumah Ibu, dan secepatnya mengurus perceraian kita!”
 
“Din ... kamu jangan becanda!” Mas Fandi menggenggam tanganku erat, hingga sedikit terasa sakit. Dari tatapannya aku tahu dia ketakutan.
 
“Becanda? Jadi sedari tadi kamu anggap aku becanda?” Aku kembali tertawa.
 
“Din, sadar Din, sadar!” ucapnya berusaha menarikku ke dalam pelukannya. Namun, aku secepatnya menghindar.
 
“Mas kira aku gila? Aku melakukan semua ini dengan penuh kesadaran, Mas. Aku sudah memutuskan, jika Ibu dan kedua anakku sampai ikut merasakan sakitnya, maka bercerai adalah jalan satu-satunya yang akan aku tempuh!”
 
“Aku nggak mau kita berpisah, Din. Please, maafin aku, please!” Mas Fandi memelas dan menyentuh tanganku. Namun, keputusanku tak akan bisa digoyahkan lagi.
 
“Pergilah, Mas! Aku nggak mau liat kamu lagi.” Kubuang wajah dari Mas Fandi. Sudah cukup rasanya bagiku melihat ketakutannya. Sakitku selama ini terbayar sudah.
 
“Din ... please, aku nggak mau berpisah, please ....” Ucapan Mas Fandi terhenti sejenak karena suara deringan gawainya, tapi ia mengabaikannya.
 
Aku yakin itu telfon dari Raya. Namun, aku tak mau lagi ambil pusing. Dering itu berhenti sejenak, lalu terdengar lagi hingga beberapa kali. Mas Fandi pun tampaknya sama sekali tak mau peduli. Ia terus berusaha membela diri, dan menolak untuk berpisah.
 
“Aku mohon, Din. Aku nggak bisa hidup tanpa kamu dan anak-anak,” ucapnya kembali memelas. “Please, maaf, Din. Aku tau aku salah. Aku nggak akan ulang lagi. Aku akan menceraikan Raya, please!”
 
“Menceraikan Raya? Apa kamu pikir dia itu barang yang saat kamu butuh bisa kamu ambil, dan saat kamu nggak butuh lagi bisa kamu buang? Kamu benar-benar nggak bisa menghargai perasaan wanita, ya, Mas!” ucapku tak habis pikir dengan jalan pikiran Mas Fandi. Sebegitu tak bisakah ia menghargai wanita?
 
“Aku ... aku hanya nggak mau kehilangan kalian bertiga, kamu dan anak-anak sangat penting buat aku,” ucapnya. Kali ini bisa kulihat air mata Mas Fandi yang mulai menetes. Tidak, aku tak boleh kalah oleh perasaan.
 
“Harusnya kamu pikirkan itu sebelum membawa wanita lain ....”
 
Ucapanku terhenti, kali ini karena dering dari gawaiku sendiri. Panggilan dari Ibu Mas Fandi. Mungkin Raya mengadu lagi, bocah madu itu benar-benar tak tahu diri. Kutekan tombol hijau dan mendekatkan gawai itu ke telingaku.
 
“Dinda! Kamu betul-betul keterlaluan, ya! Raya sedari tadi nelfonin Fandi nggak diangkat, kalian ini! Suruh Fandi pulang, Raya mau melahirkan, sudah dibilang temanin Raya sampai melahirkan masih saja ke tempat kamu ....”
 
Tak kuhiraukan lagi ucapan Ibu, kujauhkan gawai itu kembali dari telingaku. Ia menyuruh Mas Fandi pulang. Ya, pulang ke rumah Raya. Rumah ini bukan lagi dianggap rumah Mas Fandi, ‘kan?
 
Kusodorkan gawai itu pada Mas Fandi, “Ibu kamu!” ucapku ketus.
 
Mas Fandi terlihat ragu untuk menerima, mungkin ia tahu bahwa ibunya hanya akan menyuruhnya pergi dari sini. Namun, aku teringat ucapan ibunya, bahwa Raya akan melahirkan, kuberi isyarat tegas agar ia mengambil gawai itu.
 
Mas Fandi menerimanya, dan masih dengan terus menatap ke arahku ia berbicara dengan ibunya.
 
“Tapi Bu, aku sedang ..., ya sudah ya sudah aku ke sana sekarang!”
 
Mas Fandi memutuskan sambungan telfon dengan wajah yang tak senang. Ia terlihat sangat kesal.
 
“Aku harus pergi sekarang, Raya mau melahirkan. Tapi besok aku akan ke sini lagi, kita harus ngomong lagi, Din. Please!”
 
Aku tak menghiraukan kata-katanya. Keputusanku tak akan lagi bisa dirubah. Mas Fandi berusaha untuk mendekat, tetapi aku menepisnya.
 
“Ya udah, aku pergi dulu,” ucapnya dan melangkah keluar. Sempat ia melihat lagi ke belakang, tetapi mungkin karena ketidakpedulianku, ia pun melanjutkan langkahnya dan pergi.
 
Setelah Mas Fandi pergi aku terduduk di kursi ruang tamu. Akhirnya apa yang selama ini kunanti-nantikan terjadi. Kembali terbayang wajah Mas Fandi yang ketakutan saat kuucapkan perceraian. Sakit yang selama ini kupendam terobati sudah.
 
Besok pagi-pagi sekali aku akan meninggalkan rumah ini, dan kembali ke rumah Ibu.

****

Berbagi Beban (Sudah dibukukan)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang