Perceraian

248 13 0
                                    


Tepat dua puluh hari setelah pengajuan gugatan ceraiku ke pengadilan. Sidang pertama kami dijadwalkan akan dilaksanakan besok. Aku merasa sangat gugup. Meski tak begitu memahami prosedur perceraian, tapi kuharap perceraian kami akan berjalan dengan lancar.
 
Hari ini kuputuskan menemui Bu Fatimah lagi, proses perceraian ini mungkin akan banyak menyita waktuku, terutama di saat sidang. Bagaimanapun aku merasa harus membicarakan hal ini dengannya. Tak ingin jika nanti ia menganggapku tak bertanggungjawab dengan pekerjaan.
 
Bu Fatimah sedang memeriksa beberapa gaun baru ketika aku datang.
 
“Ei, Dinda, mari sini. Saya suka sekali mode gaun yang baru ini, elegant,” ucapnya seraya memintaku mendekat dengan isyarat tangan. Ia tak hentinya tersenyum. “Kamu betul-betul pintar merancang mode,” lanjutnya.
 
Aku mendekat dan ikut melihat gaun berwarna hijau lumut yang ia tunjuk. Memang kurancang gaun itu dengan perpaduan dress dan kebaya. Sentuhan bross dan ban pita berwarna gold di bagian pinggang menyempurnakannya. Syukurlah, Bu Fatimah selalu menyukai setiap gaun yang kurancang.
 
Untuk beberapa saat kami sibuk membicarakan gaun-gaun itu. Selalu ada kecocokan antara kami berdua saat membicarakan mode pakaian. Aku menjadi sangat nyaman berbincang dengan Bu Fatimah. Namun, aku kembali teringat tujuan awalku datang menemuinya.
 
“Bu, beberapa waktu ke depan, saya mungkin akan sering menitipkan butik sama Hanan,” ucapku. Bu Fatimah menatapku beberapa saat. Tak ada pandangan bingung, atau menuntut. Ia terlihat biasa saja.
 
“Ada urusan penting?” tanyanya kemudian, masih dengan tangan sibuk menyusuri gaun-gaun itu satu persatu.
 
“Iya, Bu. Saya sedang mengurus perceraian saya dengan Mas Fandi,” jawabku. Lebih baik berterus terang. Aku tak ingin menimbulkan prasangka buruk nantinya.
 
Bu Fatimah mendadak menghentikan kesibukannya, lantas menatapku. Bisa kulihat keterkejutan di matanya. Ia mungkin tak begitu mengenal Mas Fandi, karena memang mereka jarang bertemu. Hampir setiap Bu Fatimah datang ke rumah mengambil pesanannya, Mas Fandi belum pulang bekerja. Namun, bagaimanapun perceraian pasti terdengar mengerikan.
 
“Oh ... kenapa? Ada masalah apa?” tanyanya mendekat padaku.
 
Aku tak yakin harus menjawab apa. Tak ingin terdengar menghiba, juga tak ingin terlalu menghakimi Mas Fandi. Harusnya kupersiapkan diri untuk pertanyaan ini, bagaimanapun perpisahan kami pasti akan menimbulkan tanda tanya.
 
“Suami ... emm ... Mas Fandi sudah menikahi wanita lain,” jawabku sedikit gugup, tapi tetap berusaha sedatar mungkin agar tak berkesan menghiba, atau menjelek-jelekkan.
 
Bu Fatimah memandangku beberapa saat. Pandangan yang tak terlalu kupahami artinya. Entah kasihan, atau prihatin. Aku memilih kembali mengalihkan perhatian pada gaun itu.
 
“Tapi saya pasti akan tetap melaksanakan tanggung jawab saya di butik dengan baik, Bu. Saya nggak akan bikin Ibu kecewa,” ucapku sambil tersenyum, dan merapikan gaun yang telah dipasang pada manekin.
 
“Oh ... ya ... oke. Saya doain urusan kamu berjalan lancar. Kamu wanita yang hebat,” jawab Bu Fatimah. Ia mendekat dan menepuk pelan bahuku.
 
Aku hanya tersenyum. Bukan wanita hebat, karena nyatanya kini aku masih gugup menghadapi persidangan ini. Perasaanku masih bercampur-aduk.
 
****
 
Aku bangun lebih awal hari ini. Sebetulnya tidurku tak begitu lelap. Selalu saja tersentak dan teringat persidangan. Akhirnya kuputuskan untuk bangun dan mempersiapkan segala keperluanku.
 
Dari arah dapur kudengar Ibu yang sudah bangun lebih dulu, sepertinya beliau sedang membuat minuman. Kuhampiri Ibu dan memeluknya erat. Semalam saat aku pulang, Ibu telah lebih dulu tidur. Memang aku sedikit terlambat semalam, karena harus menyiapkan beberapa pekerjaan untuk hari ini.
 
“Kamu udah bangun?” tanya Ibu sembari menyentuh tanganku. Hanya kubalas dengan anggukan. “Sudah siap semua yang diperlukan?” tanya Ibu lagi. Aku kembali mengangguk. Namun, kini telah kulepaskan pelukan, dan membantu membawakan minuman Ibu ke ruang depan.
 
“Dinda gugup, Bu,” ucapku setelah kami duduk di sofa ruang tamu.
 
“Wajar. Semua orang pasti gugup menghadapi perceraian, tapi ibu yakin kamu bisa melewati semua.” Ibu menggenggam tanganku, seolah memberi kekuatan.
 
“Doain Dinda, ya, Bu,” ucapku kembali memeluk Ibu. Kali ini Ibu membelai lembut rambutku.
 
“Pasti, Nak. Ibu nggak pernah berhenti do’ain kamu,” jawab Ibu seraya tersenyum. “Ayo shalat, terus siap-siap, jangan sampai telat di persidangan pertama ini,” lanjut Ibu kemudian.
 
Aku melepaskan pelukan lagi, lalu berdiri dan berjalan menuju kamar. Radit dan Hanafi tertidur sangat pulas. Kutatap kedua buah hatiku itu, semoga apa yang terjadi hari ini adalah kebaikan untuk mereka berdua. Hanya itu harapanku saat ini.
 
****
 
Aku sampai di pengadilan agama dua puluh menit lebih cepat dari jadwal sidang. Mas Fandi sudah datang lebih dulu, ditemani oleh ibunya. Sempat kulihat ia berusaha mendekat, tapi ibunya menahan. Nampak sekali kemarahan di wajah ibu mertuaku itu. Jelas saja, aku memang menantu yang selalu salah.
 
Sembari menunggu persidangan, kuputuskan menghubungi Hanan. Meminta maaf karena harus menitipkan butik padanya. Bagaimanapun, rasanya tak bertanggung jawab jika aku mengabaikan butik sepenuhnya.
 
Kutanyakan beberapa hal mengenai butik, tapi ia hanya memintaku untuk fokus dengan urusanku lebih dulu. Mungkin Bu Fatimah sudah menceritakan semua padanya.
 
Setelah memutus sambungan telfon, kembali kurasakan kegugupan. Sementara Mas Fandi yang duduk di seberang terus menatapku dengan tatapan memelas. Namun, tak lagi terlihat ibunya di sana.
 
Tak berapa lama, seseorang menepuk bahuku cukup keras.
 
“Ibu ...,” ucapku terkejut melihat ibu Mas Fandi yang sudah berdiri di sampingku.
 
“Kamu ternyata bukan hanya egois, tapi juga pongah, ya. Kamu pikir dengan mengajukan gugatan cerai kami akan mengemis-ngemis sama kamu? Pantas Fandi memilih menikah lagi. Sifat kamu yang pongah ini pasti membuat anak saya nggak tahan. Tapi terserahlah, yang jelas kedua cucu saya akan ikut dengan saya!” Ibu Mas Fandi kini betul-betul memperlakukanku sebagai musuh. Aku semakin yakin bahwa keputusan ini adalah yang terbaik.
 
“Maaf, Bu. Dinda permisi,” ucapku berdiri dan meninggalkan ibu Mas Fandi. Tak ada gunanya kulawan ia berdebat. Tapi yang jelas aku tak akan mengurungkan niatku, apalagi melepaskan kedua anakku. Tak akan pernah.
 
****
 
Aku pulang dengan tubuh dan pikiran yang letih. Kuhempaskan diri ke sofa ruang tamu. Sementara pintu kubiarkan terbuka, agar udara segar bisa masuk.
 
Persidangan hari ini tak berjalan seperti harapan. Nampaknya proses perceraian ini akan cukup berat untukku. Tak seperti ibunya, Mas Fandi bersikeras menolak untuk bercerai. Ia tetap kukuh ingin mempertahankan rumah tangga kami. Ah ... entahlah ....
 
Sempat aku merasa putus asa, dan berpikir untuk pasrah. Tapi tidak! Aku harus tetap berusaha. Pun jika aku bertahan, dengan hati yang kini telah mati untuknya, rumah tangga ini tak akan seharmonis dulu.
 
Kedatangan Ibu dan anak-anak menyadarkanku dari pikiran yang berkelana.
 
“Hai, Sayang,” ucapku pada Hanafi yang kini diserahkan Ibu padaku.
 
“Bunda, nenek baik di tempat kerjaan Bunda tadi ke sini, lho. Kakak dibawain mobil-mobilan lagi.” Radit bercerita dengan riang sembari menunjukkan mobil barunya.
 
Aku menatap Ibu penuh tanda tanya. Nenek baik hati? Apa maksudnya Bu Fatimah?
 
“Itu, Bu Fatimah tadi ke sini, dia sedikit tanya-tanya tentang perceraian kamu,” ucap Ibu seolah mengerti kebingunganku. Aku hanya diam sambil menciumi Hanafi, meski dalam pikiranku bertanya-tanya, kenapa Bu Fatimah sampai menyempatkan diri datang untuk menanyakan perceraianku.
 
“Gimana sidangnya tadi?” tanya Ibu mengejutkanku.
 
“Agak ribet, Bu. Mas Fandi keukeuh nggak mau pisah,” jawabku lemah.
 
“Kamu nggak boleh putus asa, Din, demi masa depan kamu dan anak-anak,” ucap Ibu menyemangatiku.
 
Bisa kupahami kegigihan Ibu dalam hal ini. Ibu pasti tak ingin putri satu-satunya mengalami penderitaan seperti yang ia rasakan dulu. Saat itu Ibu memilih bertahan, tapi hal itu justru menjadi bumerang untuk kami akhirnya.
 
Kualihkan lagi perhatian pada Radit dan Hanafi, meski pikiranku masih bercampur aduk.
 
“Assalammu’alaikum.” Suara seorang perempuan di pintu yang memang kubiarkan terbuka mengalihkan perhatian kami. Radit seketika terdiam dan melepaskan mainannya.
 
“Raya,” ucapku heran melihat bocah madu itu berdiri di depan pintu. Ia menggendong bayi kecilnya yang nampak tertidur. Namun, wajah Raya terlihat tak segarang biasanya.

****

Berbagi Beban (Sudah dibukukan)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang