Luka Masa Lalu

247 14 0
                                    

Terbiasa melihat pertengkaran kedua orang tua membuatku sempat tak percaya pada cinta. Sering Ayah mengucapkan sayang pada Ibu di siang hari. Namun, ketika malam ia pulang dengan mulut berbau alkohol semua berubah.

Berbagai makian, sumpah dan serapah ia lontarkan diiringi pukulan di sekujur tubuh Ibu.

"Dasar wanita tak tahu diuntung! Beraninya kau melawanku!" bentak Ayah setiap kali Ibu menasihati untuk berhenti meminum minuman haram itu.

Usiaku tujuh tahun saat itu. Kecil dan tak berdaya. Hanya mampu menangis dan bersembunyi di bawah meja menyaksikan setiap pukulan yang Ayah layangkan pada Ibu. Hatiku teriris sakit setiap kali Ibu mengaduh dan memohon ampun, tapi tak bisa berbuat apa-apa.

Sampai akhirnya Ayah tertidur di sofa dengan dengkuran yang keras, setelah puas memukuli Ibu. Dengan langkah pelan kudekati Ibu, dan memeluknya sambil menangis. Ibu hanya tersenyum dan membelai kepalaku, meski aku tahu seluruh tubuhnya kesakitan.

"Dinda kok belum tidur, Sayang?" tanya ibu lembut.

"Bu ...." Hanya itu yang keluar dari mulutku, lalu tangis menjadi tumpah ruah tak tertahan.

"Anak ibu kok nangis? Ibu nggak apa-apa kok, Sayang," ucap Ibu lagi.

Di bawah temaram cahaya lampu, bisa kulihat memar-memar di wajah Ibu. Meski ia berusaha menyembunyikan, sempat kulihat Ibu meringis saat tak sengaja kusentuh tangannya.

"Ayo ... Dinda tidur, Nak. Ibu temenin," ucap ibu, membimbing aku berdiri.

Pelan-pelan kami berjalan menuju kamar agar tak membangunkan Ayah. Gemetaran tubuhku ketika lewat di depan Ayah yang tengah mengigau tak jelas. Namun, genggaman tangan Ibu menguatkanku.

"Bu, kenapa kita nggak pergi aja dari sini? Dinda benci Ayah," ucapku sesenggukan.

"Pssttt ... Dinda nggak boleh ngomong begitu, Sayang. Bagaimanapun ayah itu tetap orang tua Dinda. Teruslah berdoa agar ayah diberikan kesadaran ya, Nak!" jawab Ibu.

Saat itu aku tak mengerti jalan pikiran Ibu. Setelah semua yang Ayah lakukan, bagaimana bisa aku mendoakannya lagi?

****

Aku terbangun karena mendengar teriakan. Lantas bergegas melangkah keluar kamar untuk mencari tahu apa yang terjadi. Kudapati Ayah berdiri di hadapan Ibu yang terbaring. Tangannya menggenggam mulut botol yang sebagiannya telah pecah berkeping-keping di lantai.

Aku menangis tertahan saat terlihat darah segar mengalir dari kepala Ibu. Kubekap mulut dengan dua tangan, dan merunduk ke bawah meja agar Ayah tak mengetahui kehadiranku.

Ayah melempar pecahan botol di tangannya ke sudut ruangan. Lalu ia mengangkat tubuh Ibu, dan kemudian membantingnya kembali ke lantai.

"Perempuan sialan!" makinya.

Untuk beberapa saat ayah terdiam. Namun, kemudian ia bergegas lari meninggalkan rumah. Meninggalkan Ibu yang tergeletak di lantai.

Kudekati Ibu dan menangis memeluknya. Sekujur tubuh Ibu lebam. Beberapa bagian mengeluarkan darah.

Aku segera berlari ke luar rumah, berteriak meminta tolong sekeras yang aku bisa. Hingga satu persatu tetangga datang, dan membantuku membawa Ibu ke rumah sakit.

Berhari-hari Ibu terbaring koma. Luka di kepalanya cukup parah. Ibu juga terlalu banyak mengeluarkan darah.

Aku hanya bisa menangis. Sendirian. Ayah tak pernah lagi menampakkan diri sejak malam itu. Hilang bagai ditelan bumi. Tak ada siapa-siapa yang kumiliki lagi, hanya Ibu.

Tak henti aku berdo'a untuk kesembuhan Ibu. Aku begitu takut kehilangan. Meskipun satu-persatu tetangga datang menemani, aku tetap merasa sendirian. Yang kumau hanya Ibu.

Hingga di hari yang kelima dokter memberitahukan bahwa ibuku telah kembali sadar. Bagiku hari itu sang dokter telah menjelma malaikat penyelamat. Kuciumi tangan dokter baik hati itu dan mengucapkan terima kasih. Aku tak bisa membayangkan bagaimana hidupku tanpa Ibu.

Dari hari ke hari keadaan Ibu berangsur-angsur membaik. Senyumnya kembali bisa kulihat kini, dan tak ada yang lebih membuatku bahagia selain melihat senyum itu.

"Dinda, maafin ibu, Nak," ucap Ibu dengan mata berkaca-kaca.

Kuseka setitik air mata yang mengalir di pipi Ibu. Ini bukan salahnya. Ayahlah yang bersalah, dan aku berjanji tak akan pernah membiarkan ia kembali lagi. Selamanya hanya ada aku dan Ibu.

Aku pun tak akan memberikan kesempatan lagi pada laki-laki manapun menyakiti kami. Jika nanti aku dewasa, tak ingin anak-anakku mengalami apa yang kami rasakan kini.

****

Perkenalanku dengan Mas Fandi berhasil mengubah pandanganku tentang lelaki. Bahwa tak semuanya sama seperti ayahku. Bahwa di luar sana, Tuhan juga menyediakan kisah cinta yang indah.

Mas Fandi mengenalkan padaku sisi lain dari cinta. Indah, dan penuh warna. Sikapnya yang begitu lembut, perlahan-lahan mengikis rasa takutku tentang masa lalu Ibu. Ia menawarkan uluran tangan untuk membawaku ke taman penuh bunga. Membuatku merasa istimewa.

Ia yang selalu melindungi dan menjagaku. Selalu siap menghapus setiap air mata yang tertumpah. Yang paling penting dari semua, ia berhasil merebut kepercayaan Ibu.

"Dia lelaki yang baik, Din," ucap Ibu siang itu. Wajahku terasa panas, tersipu malu. "Apa kamu juga mencintai Fandi?" tanya Ibu kemudian.

"Aku ...." Aku bingung mencari kalimat yang pas. Tak terbiasa mengucapkan cinta. Namun, sepertinya Ibu paham dengan bahasa tubuh yang kutunjukkan.

"Ibu merestui kalian, dan pasti ibu akan selalu mendukung serta mendo'akan kamu, Nak," ucap Ibu lembut. Senyumannya hari itu memberikanku keyakinan bahwa Mas Fandi adalah jalanku menuju bahagia.

Seutas senyum malu merekah di bibirku. Terbayang untaian kebahagiaan yang kini menanti. Telah kutemukan labuhan untuk hati yang telah lelah berlayar sendiri. Dengan penuh keyakinan, kuterima pinangan Mas Fandi. Kupercayakan seluruh bahagiaku di tangannya.

Pernikahan kami pun dilangsungkan, meski hanya sederhana sesuai keinginanku. Karena yang kuharapkan bukan kemeriahannya, melainkan ketetapan Mas Fandi pada janjinya di hadapan Allah, dan di hadapan penghulu yang menikahkan kami.

Aku merasa seperti wanita terbahagia di dunia. Merasa beruntung karena mendapat lelaki sebaik dia. Seperti musafir yang menemukan oase di padang pasir. Tandus telah berakhir, taman bunga menanti kini. Aku siap membagi hatiku.

Namun, aku terlupa, bahwa Allah selalu punya cara untuk menguji hamba-Nya. Terkadang ujian itu bahkan melalui apa yang ia cinta.

Bersambung ....

Berbagi Beban (Sudah dibukukan)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang