Aku mengambil beberapa foto Radit dan Hanafi dengan kamera ponselku. Ini hari minggu, aku sengaja membawa kedua anakku dan juga Ibu pergi berwisata ke taman safari hari ini. Radit dan Hanafi tampak sangat bahagia. Begitu juga dengan Ibu yang tak hentinya tertawa melihat tingkah lucu kedua cucunya.
Bagiku, melihat kebahagiaan yang terpancar di wajah mereka adalah sebuah kesyukuran. Setelah cukup lama masalahku dengan Mas Fandi ikut mempengaruhi mereka, terutama Radit. Aku yakin semua ini berat untuknya. Beruntung ada Ibu yang selalu siap menghibur anak sulungku itu.
Pikiranku kembali berkelana pada proses perceraian yang cukup banyak memakan waktu. Kuharap semua urusan ini bisa cepat diselesaikan, agar semua bisa kembali baik-baik saja.
“Ayah!” Suara kecil Hanafi mengalihkan perhatianku. Ayah? Siapa yang Hanafi panggil ayah?
Tepat di saat aku hendak menengok ke belakang, Mas Fandi telah berdiri di sampingku. Ia terlihat lebih rapi dibandingkan beberapa hari terakhir. Rambutnya telah dipangkas rapi, dan ia juga membersihkan jambang serta kumisnya.
Ibu segera menggendong Hanafi yang terus memanggil ayahnya dengan ceria. Pandangan Ibu nampak jelas mewaspadai kedatangan Mas Fandi. Sementara Radit langsung merapatkan tubuhnya pada Ibu.
Mas Fandi menatapku beberapa saat, lalu tersenyum. Aku lantas membuang pandangan darinya.
“Darimana Mas tau kami ada di sini?” tanyaku tanpa melihatnya. Bukan takut, aku hanya bingung harus bersikap bagaimana, setelah kemarin aku mempersilahkan Mas Fandi menemui anak-anak. Namun, tak kusangka secepat ini ia datang.
“Aku tadi ke rumah Ibu, ada tetangga yang ngasih tau. Bolehkan aku ikut gabung?” tanyanya.
Aku hanya diam, menimbang-nimbang apakah harus kuizinkan Mas Fandi menemui anak-anak sekarang? Sementara Hanafi terus-terusan memanggil-manggil ayahnya. Hanafi mungkin satu-satunya yang tak mengerti apa yang terjadi. Mas Fandi melambaikan tangannya pada Hanafi, dan mengirim ciuman dari jauh.
Ibu telah berjalan mendekat ke arah kami. Ia jelas terlihat marah. Radit segera berlari ke arahku, dan memelukku.
“Radit ....”
“Ngapain kamu di sini?” tanya Ibu segera memotong kalimat Mas Fandi yang hendak menyapa Radit.
“Saya tadi ke rumah, Bu, mau ketemu anak-anak. Tetangga bilang Dinda bawa anak-anak ....”
“Saya nggak mau lihat kamu di sini, mending kamu pergi dari sini! Jangan coba-coba mengganggu cucu saya lagi!” bentak Ibu.
“Bu ....” Aku mendekati Ibu dan menggeleng. Kugendong Hanafi yang terus mengulurkan tangannya pada Mas Fandi. Ia pasti sangat merindukan sang ayah. Aku tak boleh egois.
Kuserahkan Hanafi pada Mas Fandi yang langsung memberikan ciuman bertubi-tubi pada anak keduaku itu.
“Dinda!” Ibu mencoba menahanku, tapi aku kembali memberi isyarat pada Ibu dengan gelengan.
“Nggak apa-apa, Bu,” ucapku menenangkan Ibu yang nampak cemas dan tak senang.
Hanafi memeluk Mas Fandi dengan riang. Dengan suaranya yang lucu ia mulai berceloteh dan bercerita pada sang ayah.
“Anafi tadi liat alimau, Yah!” ceritanya penuh semangat.
“Oh ya? Hanafi nggak takut?” tanya Mas Fandi. Ia terus menciumi Hanafi yang sedang bercerita. Ia juga pasti sangat merindukan anak-anak.
Ah ... kembali penyesalan menyusup dalam hatiku. Seandainya saja Mas Fandi tak membawa wanita lain di antara kami. Seandainya saja Mas Fandi tak melukai hatiku, dan juga Ibu. Seandainya saja ....
Kuhela napas dalam. Tak ada gunanya lagi semua penyesalan itu kini. Nyatanya sidang perceraian kami telah dalam proses meskipun sedikit alot.
Kupegang tangan Radit dan membimbingnya mendekati Mas Fandi. Namun, ia menahan tanganku dan menggeleng. Mungkin anak pertamaku itu masih marah pada Mas Fandi.
Aku menunduk dan bicara padanya, “Radit, ayo main sama ayah!” ajakku lembut. Namun, Radit lagi-lagi menggeleng. Kuusap rambutnya dengan lembut dan mencium tangannya. “Sayang, Bunda tau Radit sedih karna ayah ninggalin Radit waktu itu, tapi ayah itu tetap ayahnya Radit, Nak. Sampai kapanpun. Bunda juga sedih, tapi kita harus belajar memaafkan, ya, Sayang,” bujukku pada anak pertamaku itu.
Mas Fandi nampaknya mulai menyadari keengganan Radit. Ia lantas mendekat, kembali menyerahkan Hanafi padaku, lalu berjongkok di hadapan Radit.
“Radit marah ya sama ayah?” tanyanya lembut.
Radit membuang pandangannya dari Mas Fandi. Nampak jelas ia berusaha menahan air mata. Rasanya aku tak sampai hati melihat kesedihannya. Betapa ia menjadi korban dari keegoisan kami. Maafkan Bunda, Nak!
“Ayah minta maaf ya, Sayang. Ayah tau ayah udah salah sama Radit, tapi ayah janji nggak akan pernah ngulangin lagi. Radit mau ‘kan maafin ayah?”
Radit melihat ke arahku. Nampak semakin susah ia menahan tangis. Kuanggukkan kepala sebagai isyarat. Ia lantas segera menghambur ke pelukan Mas Fandi dan menangis. Kedua tangannya melingkari leher Mas Fandi erat sambil terisak.
Aku tak kuasa menahan air mata melihat pemandangan itu. Betapa kebodohan dan keegoisan kami sebagai orang tua pada akhirnya menyakiti anak-anak. Hanafi yang melihat kakaknya menangis pun mulai ikut menangis. Ia memang lembut hatinya, dan akan ikut menangis jika sang kakak menangis.
“Kak Adit kenapa?” tanyanya terisak. Kuciumi anakku itu sambil menghapus air mata, lalu tersenyum agar ia tak semakin menjadi tangisnya.
Kulihat Ibu yang nampaknya juga susah menahan air mata. Namun, mungkin kemarahannya pada Mas Fandi masih menahannya.
Mas Fandi melepaskan pelukannya dari Radit. Ia mengusap mata basah Radit dan menciuminya. Kemudian berdiri untuk mengambil Hanafi dari gendonganku. Sebelah tangannya lalu memegang tangan Radit.
“Ayo, kita melihat-lihat binatang!” ucapnya dengan nada seperti superhero di TV. “Hanafi sama Radit udah liat binatang apa aja tadi, Nak?” tanyanya kemudian.
Hanafi menjawab dengan riang, berbeda dengan Radit yang masih banyak diam karena baru saja menangis.
“Ayo kita kemon,” ucap Mas Fandi sembari mengajak jalan kedua anakku.
Radit yang semula masih banyak diam kini mulai ikut berceloteh ketika Mas Fandi mengajaknya melihat binatang-binatang dan menjelaskan tentang binatang itu. Terkadang Radit dan Hanafi terlihat takut. Namun, terkadang justru mereka melonjak-lonjak kegirangan.
Kuambil beberapa foto mereka bertiga dengan kamera ponsel. Terlihat sangat bahagia. Jujur aku sangat terharu melihat pemandangan ini. Entah kapan terakhir kali Mas Fandi mengajak anak-anak bermain seperti ini. Mungkin sebelum Raya hadir di antara kami.
Ah ... Raya! Bagaimana keadaan gadis itu sekarang? Sedikit rasa perih kembali berusaha mengganggu hatiku. Namun, aku segera menepiskannya. Tak ingin menghancurkan momen bahagia ini.
“Dinda, kamu yakin ngizinin anak-anak dekat sama Fandi begini? Nanti gimana kalau mereka jadi nggak mau pisah sama ayahnya? Atau gimana kalau Fandi membawa anak-anak pergi? Apa kamu mau membatalkan ....”
“Bu, jangan terlalu khawatir!” ucapku memotong kalimat Ibu. “Anak-anak berhak mendapatkan kasih sayang ayahnya. Dinda juga nggak mau anak-anak jadi korban dari keegoisan kami,” lanjutku.
Ibu masih terlihat gelisah dan tak puas dengan jawabanku. Kubelai lembut tangan Ibu dan memberi isyarat bahwa semua akan baik-baik saja. Ya ... semua pasti akan baik-baik saja sekarang.
****
Sudah cukup sore ketika akhirnya aku mengajak anak-anak pulang. Mereka tak memprotes sedikit pun, nampaknya mereka sangat puas bermain seharian dengan sang ayah.
“Terima kasih, ya, Mas, kamu udah datang dan nemanin anak-anak main,” ucapku ketika menunggu taksi online yang kupesan.
Mas Fandi tersenyum dan mengangguk. “Terima kasih juga kamu udah ngizinin aku ketemu sama anak-anak lagi,” jawabnya.
“Aku cuma nggak mau anak-anak menjadi korban dalam masalah ini, Mas. Kita yang bersalah, bukan mereka. Nggak ada alasan untuk membagi rasa sakit ini dengan mereka,” ucapku.
Mas Fandi menyerahkan Hanafi kembali padaku, setelah menghujaninya dengan ciuman.
“Ayah nggak ikut sama kita?” tanya Radit ragu-ragu. Mungkin ia masih rindu dengan sang ayah.
Mas Fandi menunduk di hadapan Radit, dan mencium rambutnya, “Nanti ayah pasti bakalan datang lagi ke rumah nenek, ya. Ayah janji,” ucap Mas Fandi padanya. Radit hanya menjawabnya dengan anggukan lemah. Mungkin ia berharap kebersamaan ini tak akan berakhir sampai disini.
Aku meraih tangan Radit dan tersenyum menghiburnya. Setidaknya hari ini telah kudapatkan kembali kebahagiaan kedua anakku.
Taksi yang kupesan telah datang. Ibu naik lebih dulu, disusul oleh Radit. Aku melambaikan tangan pada Mas Fandi lalu menyusul naik. Dari kaca spion mobil bisa kulihat Mas Fandi yang berdiri di sana, terus memandang hingga mobil kami cukup jauh.
****
KAMU SEDANG MEMBACA
Berbagi Beban (Sudah dibukukan)
RomanceDinda, seorang istri yang selalu mencintai dan mendampingi suaminya dengan sabar, dipaksa menerima kenyataan bahwa ada wanita lain dalam hidup suaminya. Namun, ia harus bertahan demi harga dirinya, dan anak-anaknya. Keseluruhan cerbung ini terdiri d...