Menyerah

210 14 1
                                    

Tak kubayangkan bahwa cinta bisa begini menyakitkan. Saat kecil, kupikir manusia hanya menyakiti dengan fisiknya, seperti yang Ayah lakukan pada Ibu. Kehadiran Mas Fandi yang selalu bersikap lembut membuat aku yakin akan selalu bahagia. Namun nyatanya, ia sanggup menyakiti dengan cara yang lebih pahit.

Semua cinta, kasih sayang, dan pengabdianku tak lagi berharga. Tertutupi oleh segelintir kekurangan dari pandangan Mas Fandi.

Suamiku sejatinya bukanlah manusia yang sempurna, ia juga memiliki begitu banyak kekurangan, yang selalu berusaha aku mengerti.

"Seorang istri adalah pakaian untuk suaminya, dan fungsi pakaian adalah menutupi, bukan mengumbar." Nasihat Ibu yang selalu kujadikan pedoman dalam berumah-tangga.

Menutup setiap kelemahan suami, dan menerima ia dengan segala kekurangannya. Namun, cintaku tak mendapat balas yang sama. Mas Fandi tak mampu menerima setiap kelemahanku. Ia tak sanggup menjadi pakaian yang menutupiku.

Bahkan ibunya pun melihatku sebagai pihak yang bersalah atas keinginan anaknya menikah lagi. Sangat menyakitkan, saat aku berusaha mencintai sepenuhnya, tetapi yang mereka lihat bukanlah cinta, melainkan kelemahanku.

Kutatap Radit dan Hanafi yang begitu riang berceloteh dengan neneknya. Tiga hari ini aku meminta izin untuk menginap di rumah Ibu. Aku butuh waktu untuk memikirkan keputusan yang terbaik untukku dan anak-anak.

"Kamu ada masalah dengan Fandi, Nak?" tanya Ibu saat kukatakan akan menginap di sini tanpa Mas Fandi. Sesuatu yang memang belum pernah kulakukan selama ini. Biasanya Mas Fandi selalu ikut denganku.

Aku tak mungkin menceritakan semuanya pada Ibu. Tak ingin menyusahkan hatinya lagi. Ibu sudah cukup banyak menanggung derita sepanjang hidupnya, kini aku hanya ingin melihat Ibu menjalani hari tuanya dengan tenang.

"Nggak kok, Bu. Memang lagi kangen aja sama Ibu."

Kupeluk Ibu lama. Mencoba mengambil sedikit kekuatan dari peluknya.

Kini melihat mereka bertiga tertawa riang, sesuatu di sudut hatiku merasa takut. Jika Mas Fandi benar melangsungkan niatnya, entah apa yang akan dirasakan oleh Ibu dan anak-anakku. Mungkin hati mereka akan hancur, dan itu berat bagiku. Aku harus bergerak lebih dahulu.

****

"Mas boleh menikah lagi," ucapku.

Kulihat Mas Fandi tertegun, seolah tak percaya dengan jawabanku. Kedua matanya membulat. Namun, beberapa detik berikutnya ia nampak berbinar bahagia. Terlihat sekali bahwa ia telah menunggu-nunggu jawaban ini dariku.

"Kamu serius, Din?" tanyanya.

Aku hanya membalas dengan anggukan kecil. Ya ... aku memang sudah memutuskan untuk mengizinkan Mas Fandi menikah lagi. Aku tak ingin terus-menerus disalahkan olehnya, juga ibunya. Jika nanti saatnya berpisah, aku tak mau menjadi pihak yang disalahkan.

Mungkin dengan begini mereka akan mengerti hatiku, mengerti apa yang selama ini kurasakan.

"Makasih ya, Sayang. Aku janji nggak akan ada yang berubah," ucap Mas Fandi. Ia menggenggam kedua tanganku dan menciumnya.

Jujur saja, kebahagiaan yang kini terpancar di kedua matanya begitu mengiris hatiku. Begitu tak berhargakah perasaanku untuknya?

"Tapi aku punya syarat, Mas," ucapku kemudian. Aku telah mempertimbangkan semua dampak yang akan terjadi dengan keputusan ini, dan telah memikirkan solusi terbaik untuk itu.

"Syarat apa?" tanya Mas Fandi. Ia tampak sedikit was-was.

"Pertama, kamu harus selalu mengunjungi anak-anak setiap hari. Aku nggak mau ada hari dimana mereka mempertanyakan keberadaan ayahnya. Kedua, ibuku jangan sampai tau!"

Begitu bersemangat Mas Fandi menganggukkan kepalanya setelah mendengar syarat yang kuajukan.. Ia merentangkan kedua tangan, mengundangku ke dalam pelukannya. Namun, pelukan itu kini bukanlah hal yang aku senangi, hingga kuputuskan untuk menghindar.

Aku memilih berdiri, dan berjalan meninggalkan Mas Fandi, sesuatu dalam hatiku benar-benar hancur. Ia betul-betul telah mematikan cinta di hatiku.

****

Mereka mengenakan pakaian pengantin berwarna biru muda. Harus kuakui pengantin wanita Mas Fandi sangat cantik, dengan bentuk tubuh yang proporsional, seharusnya ia bisa mendapatkan lelaki lain yang jauh lebih baik dibandingkan suamiku. Namun, ini pilihannya, dan semoga ia tak kan menyesali keputusannya hari ini.

Mas Fandi mengucapkan ijab qabul dengan lancar. Seolah ia telah menghapalkannya begitu lama. Wajah mereka berdua berbinar saat para hadirin mengucapkan kata sah. Mungkin hanya aku yang merasa hambar disini.

Ibu mertuaku pun nampak sangat bangga dengan menantu barunya. Tak hentinya ia tersenyum. Senyum yang tak akan pernah kulupakan seumur hidup. Seolah aku tak pernah ada.

Pengantin wanita Mas Fandi mendekatiku, kemudian mengulurkan tangannya.

"Terima kasih, Mba Dinda, udah berlapang dada menerima. Semoga kita bisa jadi rekan yang baik ya, Mba," ucapnya.

Kupaksakan bibirku tersenyum. Sesungguhnya aku tak sedang berlapang dada menerima apa-apa. Aku hanya ingin membagi beban yang selama ini kujalani sendiri, yang tak seorang pun mengetahuinya.

"Selamat datang di keluarga ini, Raya."

Kubawa ia dalam pelukku. Semoga ia tak akan menyesali hari ini.

****

Berbagi Beban (Sudah dibukukan)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang