Mencoba Bertahan

223 13 0
                                    

Satu minggu sudah aku dan Mas Fandi bertahan dalam diam. Tak satupun di antara kami yang memulai pembicaraan. Pertama kalinya dalam tujuh tahun usia pernikahan kami, aku merasa begitu kecewa padanya.

Aku jelas tak akan mengalah. Tak akan kubiarkan wanita lain menghancurkan apa yang telah susah payah aku bangun. Walaupun sakit setiap kali membayangkan kemungkinan Mas Fandi sudah memiliki cinta lain di hatinya, yang membuatnya tega menghancurkan bahagiaku.

Kedua putraku pun nampaknya mulai menyadari ada yang salah dengan kedua orang tuanya.

"Bun, kok Bunda sama Ayah diem-dieman terus?" tanya Radit malam itu. Tak biasanya kami hanya makan malam bertiga. Sedangkan ayahnya hanya duduk di depan televisi.

"Nggak ada apa-apa. Ayo ... Kakak cepetan abisin makannya," jawabku mencoba mengalihkan perhatiannya.

"Bunda sama Ayah berantem, ya?" tanyanya lagi.

"Nggak ada yang berantem, Kak. Ayo ... terusin makannya!" jawabku lagi.

Radit bergantian menatap aku dan Mas Fandi. Terlihat jelas kesedihan dalam matanya. Ahh ... bagaimana Mas Fandi tega menghancurkan kebahagiaan anaknya sendiri.

Aku kalah. Melihat kesedihan di mata anak pertamaku itu membuat hati ini teriris.

"Mas, ayo makan sekalian sama Radit."

Aku mengalah. Menghancurkan tembok bisu itu lebih dahulu. Bukan berarti aku telah menyetujui Mas Fandi menikah lagi. Kulakukan ini semata-mata agar kedua buah hatiku tak lagi bersedih.

****

"Kamu udah pikirin yang tempo hari aku bilang?" tanya Mas Fandi malam itu. Radit dan Hanafi sudah tertidur pulas di kamar.

"Tentang apa?" Aku balik bertanya, berpura-pura tak memahami maksudnya.

"Aku nggak akan telantarin kamu. Aku akan tetap menafkahi kamu dan anak-anak. Nggak akan ada yang berubah," ucapnya kembali berusaha meyakinkanku.

Bagiku, jelas akan ada yang berubah. Setidaknya cintaku.

Aku berbalik menatap Mas Fandi. "Apa salahku, Mas?" tanyaku lagi. Entah kenapa bagiku tetap terasa tak masuk akal jika Mas Fandi tiba-tiba meminta izin untuk mengambil istri kedua, sedangkan rumah tangga kami kurasakan baik-baik saja.

"Kalau kamu salah, aku pasti ceraikan kamu. Suami menikah lagi bukan berarti ada yang salah, Din. Hanya saja laki-laki punya kebutuhan yang nggak bisa di-"

"Maksudnya aku nggak bisa memenuhi kebutuhan Mas lagi? Aku nggak bisa memuaskan Mas lagi? Karna aku udah tua? Udah jelek?" tanyaku sinis.

"Astaga, Dinda! Kamu itu selalu berpikiran negatif, sih. Coba kamu liat dari sisi positifnya! Setidaknya kamu jadi bisa berbagi tugas, 'kan?" jawabnya enteng.

"Aku nggak merasa butuh orang lain untuk mengambil tugasku, Mas. Aku yakin selama ini aku masih sanggup melakukan semua sendiri. Entah kalau memang karena aku yang sudah mulai tua kamu merasa bosan, Mas!"

Aku benar-benar tak habis pikir, begitu gampang Mas Fandi mengatakan 'berbagi tugas'. Seolah-olah ini hanya masalah kecil baginya. Seperti anak sekolah yang diberi tugas kelompok oleh guru? Begitukah?

"Aduhh ... Dinda. Kamu coba deh lihat Bang Tohar, istrinya tiga malah. Apa ada istrinya yang jelek? Nggak. Istri tuanya juga masih cukup cantik. Tapi dia menikah sampai tiga kali, rumah tangga mereka tetap baik-baik aja," ujar Mas Fandi panjang lebar. Nampaknya ia begitu ingin membuat aku menyutujui pernikahannya.

"Sebutkan satu kesalahan aku, Mas! Akan aku setujui pernikahanmu," ucapku. Mulai lelah berdebat. Memang lebih susah berdebat dengan orang yang merasa dirinya sudah benar.

Mas Fandi hanya diam. Tak ada jawaban yang keluar dari mulutnya. Entah karena ia tak menemukan apa yang salah pada diriku, atau ia tak berani menyampaikannya.

Aku lantas berbalik menuju kamar. Tak akan ada habisnya perdebatan ini jika diteruskan.

****

Aku telah memutuskan untuk mendatangi kediaman ibu mertua hari ini. Barangkali saja beliau bisa membantuku bicara pada Mas Fandi. Aku yakin sebagai sesama wanita beliau akan mengerti perasaanku.

Kubiarkan Radit dan Hanafi bermain dengan keponakan-keponakan Mas Fandi, agar aku leluasa berbicara dengan ibu Mas Fandi.

"Dinda harus apa, Bu?" tanyaku hampir tak kuasa menahan tangis. Mungkin ini adalah ujian terberat sepanjang perjalanan rumah tanggaku.

"Makanya, Din, kamu itu sebagai istri harus bisa nyenengin suami. Kalau suami udah seneng, nggak mungkin kepikiran wanita lain." Jawaban Ibu betul-betul membuatku terpana. Hampir tak percaya.

Apa maksudnya aku tak cukup membuat suamiku senang? Jadi semua ini salahku?

"Coba kamu lihat dirimu, Din. Bandingkan dengan orang lain!" ucapnya lagi dengan tatapan yang menyakitkan.

Memang aku akui, aku tak terlalu pandai menghias diri. Tak punya waktu, dan ... tak punya uang lebih. Nafkah yang diberikan Mas Fandi hanya cukup untuk makan dan sewa rumah. Itupun masih sering harus aku tutupi dengan penghasilanku.

"Kalau pelayananmu pada suami bagus, nggak mungkin suami terpikir menikah lagi ....."

Cukup. Sudah cukup. Aku tak sanggup lagi mendengar lebih banyak. Tak ingin jika hati ini sampai membenci ibu mertuaku.

Kupanggil Radit dan Hanafi. Susah payah aku menahan air mata saat meminta izin untuk pulang. Apa yang aku dapatkan disini jauh berbeda dari harapan. Bagi ibu Mas Fandi, semua ini tetap adalah kesalahanku.

Sudah cukup. Aku tak mau mendengarkan lebih banyak lagi.

****

"Besok aku mau kenalin anak-anak dengan calon ibu kedua mereka!" ucap Mas Fandi datar. Ia seperti tak merasa bersalah sedikitpun.

Sebentuk luka menganga di hati ini. Aku belum lagi mengizinkannya, tapi ternyata wanita itu telah ada.

"Kamu tega, Mas!" lirihku. Terbayang saat pertama ia mengucapkan cinta padaku. Bagaimana bisa cinta yang dulu terasa begitu indah berakhir seperti ini.

"Din, nggak akan ada yang berubah, aku janji ...."

"Aku yang berubah, Mas! Aku yang kehilangan cinta!" jawabku memotong ucapannya. Sakit, sungguh teramat sakit. "Apa salahku, Mas?"

Seandainya aku tahu, alasan yang membuat Mas Fandi kini menyakitiku, mungkin aku lebih bisa menerimanya. Entahlah ....

"Kenapa kamu setega ini, Mas?" tanyaku lagi. Tak mampu lagi membendung air mata yang menggenang. Kini ia telah jatuh dan membentuk segaris wujud perih di pipiku. "Kenapa kamu tega, Mas? Kenapa?"

Aku berteriak histeris. Mulai kehilangan akal sehat. Tak habis pikir dengan Mas Fandi yang begitu bersikukuh dengan keinginannya, tanpa mempedulikan hatiku.

"Kamu harusnya ngerti, Din!"

"Ngerti? Apa yang harus aku ngertiin, Mas?"

"Aku ini lelaki normal, Din, yang ingin saat lelah pulang bekerja ada istri yang bisa menyenangkan hati. Sementara yang aku dapati selalu kamu yang berantakan di rumah. Terlalu sibuk dengan anak-anak. Baju kucel. Rambut berantakan. Kamu bahkan nggak bisa sekedar menyenangkan pandangan suami. Saat aku butuh kamu di ranjang pun kamu sering kali sudah tertidur kelelahan. Aku memang mencintai kamu, tapi aku tetap hanya manusia biasa. Aku nggak akan menceraikan kamu! Aku hanya butuh izin untuk menikah lagi."

Aku tersentak, jawaban Mas Fandi bagai petir di siang bolong. Mengejutkan dan menyakitkan di saat yang bersamaan. Tak kusangka ia yang selama ini selalu kubanggakan tak mampu mencari sesuatu untuk dibanggakan dalam diriku.

Aku yang selama ini selalu berusaha menerima setiap kekurangannya, menutupi semua kelemahannya. Hanya seperti inikah balasan yang sanggup ia berikan? Sakit. Sungguh sakit.

Bersambung ....

Berbagi Beban (Sudah dibukukan)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang