Suara ketukan di pintu mengalihkan perhatianku dari cerita Radit tentang ikan-ikan di akuarium Ibu.
“Dinda!”
Suara itu. Mas Fandi.
Jantungku seketika berdegup kencang. Mas Fandi datang. Terus terang aku sama sekali tak menyangka ia akan datang secepat ini. Kupikir ia tak akan berani bertemu dengan Ibu setelah peristiwa kemarin.
“Dinda!” panggilnya lagi.
Ibu yang sedang berada di kamar pun segera ke luar karena mendengar suara Mas Fandi. Kami berpandangan untuk beberapa saat, lalu Ibu memberiku isyarat untuk membawa Radit ke kamar.
Kuikuti perintah Ibu dan membawa Radit masuk, sementara Ibu sendiri ke depan membukakan pintu. Di kamar, kupinta Radit duduk dan bermain dengan Hanafi yang telah bangun. Aku sendiri kembali ke luar, dan mengintip dari dinding pembatas ruangan.
Ibu telah membukakan pintu, dan Mas Fandi berdiri di sana. Terlihat sangat kacau. Rambutnya kusut berantakan, begitu juga dengan pakaiannya. Wajah itu terlihat lelah dan panik. Jujur hatiku rasanya perih melihat keadaan Mas Fandi seperti itu. Bagaimanapun, ia tetap laki-laki yang pernah kucintai.
“Bu, izinkan saya bicara sama Dinda. Saya mohon, Bu!” pintanya memelas. Belum pernah kulihat ia sebegitu menghiba. Ia bahkan menangkupkan jemari tangannya di hadapan Ibu.
“Untuk apa lagi kamu bertemu Dinda? Belum cukup apa yang kamu lakukan pada anak saya?” bentak Ibu.
“Saya harus bicara sama Dinda, Bu. Kami harus menyelesaikan masalah kami berdua,” pinta Mas Fandi lagi.
“Nggak perlu lagi, Fandi! Saya nggak akan izinin kamu menyakiti anak saya lagi. Pertama kamu datang ke rumah ini, kamu berjanji akan membahagiakan anak saya. Tapi sekarang kamu membawa wanita lain di hadapannya, kebahagiaan macam apa ini, Fandi?” tanya Ibu penuh kemarahan.
Aku tahu Ibu sudah tak bisa lagi menahan kemarahan yang sejak kemarin ingin ia luapkan pada Mas Fandi. Ibu pasti merasa sangat kecewa.
“Bu, saya mau minta maaf sama Dinda, Bu. Saya sangat menyesal. Saya nggak mau berpisah. Tolong izinkan saya bertemu Dinda, Bu!”
Mas Fandi bersimpuh di hadapan Ibu, dan menyentuh kakinya seraya terus memohon. Air mataku kembali menetes, terasa sakit melihatnya seperti itu. Namun, mengingat apa yang ia dan ibunya lakukan padaku membuat aku kembali menguatkan hati. Aku tak boleh mundur.
“Saya mohon, Bu!” pinta Mas Fandi lagi. Ia mulai menangis. Aku harus menggigit bibir agar tak terisak. “Dinda! Dinda!” Mas Fandi memanggil-manggil namaku lagi.
Ibu sama sekali tak luluh melihat air mata dan permohonan Mas Fandi, lantas dengan kasar mengusirnya pergi, dan kembali menutup pintu. Untuk beberapa waktu, Mas Fandi masih berteriak memanggilku. Namun, kemudian suaranya hilang. Mungkin ia akhirnya memutuskan untuk pergi.
Aku bersandar ke dinding pembatas itu. Air mata tak tertahankan lagi. Aku sama sekali tak berharap hubungan kami berakhir seperti ini. Saat menyakiti orang yang dicintai, entah kenapa hatimu akan merasakan sakit lebih dahulu.
Puas menangis, kuusap airmata di pipi. Lalu teringat pada Radit dan Hanafi yang kutinggalkan di kamar. Segera aku kembali untuk melihat mereka. Radit menatapku dengan mata berembun. Kudekati anak sulungku itu dan memeluknya.
“Bunda ... Ayah datang, ya?” tanyanya. Aku hanya terus memeluknya, tak bisa mengucapkan apa-apa. “Kita nggak akan sama-sama Ayah lagi, ya?” tanyanya lagi.
Aku terisak. Perih di hatiku benar-benar tak tertahan. “Maafkan Bunda, Kak. Maafkan Bunda!” lirihku.
Radit hanya membalas pelukanku. Erat.
****
Aku kembali mengaktifkan gawai yang telah kunonaktifkan sejak kemarin. Aku harus menghubungi Bu Fatimah. Hari ini aku sudah punya janji untuk bertemu dengan Mas Hanan.
Beruntun pesan whatsapp dari Mas Fandi masuk saat gawai itu telah aktif kembali. Namun, kuputuskan untuk mengabaikan dan tak membacanya. Mungkin aku juga harus mengganti nomorku setelah ini.
Aku langsung menghubungi Bu Fatimah, dan membuat janji untuk bertemu dengan Mas Hanan. Di sebuah kafe tak jauh dari rumah Ibu agar aku tak terlalu susah mencarinya. Jaraknya hanya lima belas menit dari sini.
Kuputuskan sambungan telfon setelah memastikan pertemuan nanti siang, dan hendak mulai mempersiapkan diri. Namun, deringan gawai kembali menghentikan langkahku. Panggilan dari ibu Mas Fandi.
Aku ragu harus menjawab panggilan itu atau tidak. Kuabaikan hingga deringnya berakhir. Namun, tak lama ibu Mas Fandi kembali menelfon.
Akhirnya kuputuskan untuk menjawab panggilannya, dan mendekatkan gawai ke telingaku.
“Halo,” ucapku pelan.
“Akhirnya kamu angkat juga. Sengaja kamu nggak mengangkat telfon ibu, ya? Nggak habis pikir ibu sama kamu, Din. Bisa-bisanya kamu membuat ulah di saat Raya lagi berjuang melahirkan. Dia lagi butuh Fandi, tapi kamu bertingkah seperti ini. Sengaja biar Fandi nggak fokus nemenin Raya? Ternyata ibu salah menilai kamu selama ini ....”
“Maaf, Bu. Dinda lagi banyak kerjaan,” ucapku memotong kata-kata ibu Mas Fandi, lalu kuputuskan sambungan telfonnya kembali. Seharusnya tadi tak kuangkat panggilannya. Apa yang kuharapkan? Ia akan meminta maaf dan menyesali ucapannya? Rasanya tidak mungkin.
Ibu Mas Fandi tetap tak akan berubah. Ia terus saja akan menyalahkanku. Mungkin perceraian memang jalan yang harus segera kutempuh.
****
Aku sampai di kafe yang telah ditentukan sesuai janji. Radit dan Hanafi kutitipkan pada Ibu. Kukenakan gamisku yang terbaik dengan hijab pemberian dari Bu Fatimah beberapa waktu lalu, agar terlihat rapi.
Aku sedikit merasa grogi. Ini pertemuan pertamaku dalam urusan bisnis. Apa yang harus dibicarakan dan apa yang harus ditanyakan, aku sama sekali tak tahu. Aku hanya terus berdoa semoga Allah melancarkan pertemuan hari ini.
Mas Hanan datang lima menit kemudian. Ia benar-benar terlihat seperti pebisnis kelas tinggi. Rapi dan berkelas. Dengan jeans, kemeja putih, dan jas blazer berwarna hitam. Tiba-tiba aku merasa rendah diri. Bahkan gamisku yang terbaik ini tak bisa menyamainya.
“Maaf ya, Mbak Dinda. Agak telat. Ada kerjaan sedikit tadi, nanggung kalau ditinggalkan,” ucapnya ramah, lalu duduk di hadapanku.
“Iya, Mas Hanan, nggak apa-apa. Saya juga baru datang,” jawabku dengan tersenyum.
“Sudah pesan minuman?” tanyanya. Aku menggeleng. Jujur aku tak mengerti cara memesan minuman di tempat ini.
Mas Hanan lantas memesankan minuman untuk kami berdua. Karena aku pun tak tahu minuman apa yang harus kupesan.
“Mas Hanan, seperti yang saya bilang kemaren sama Bu Fatimah, saya sama sekali nggak ngerti tentang bisnis seperti ini. Ini pertama kalinya untuk saya. Jadi kalau bisa Mas Hanan jelasin aja sama saya satu persatu,” ucapku mengawali pembicaraan. Lebih baik kuberitahukan dari awal agar tak ada kekecewaan dan kesalahpahaman nantinya.
Ia tertawa, “Oke. Tapi biar nggak terlalu kaku, panggil saja saya Hanan, dan saya panggil kamu Dinda, kita juga seumuran, ‘kan. Deal?” tanyanya. Aku menjawab dengan anggukan dan tersenyum.
Hanan menuruni bakat rendah hati Bu Fatimah. Ia menjelaskan prosedur bisnis secara terperinci, agar aku bisa memahami satu persatu. Dengan sabar ia mengulang menjelaskan bagian-bagian yang tak kumengerti.
Tak sedikitpun ia terlihat kesal walau terkadang harus menjelaskan berkali-kali. Keramahannya membuat semangatku membuncah. Semoga saja bisnis ini bisa berjalan dengan lancar.
Seusai pertemuan kami, ia menawarkan untuk mengantarkanku pulang. Namun, aku menolaknya. Jarak dari kafe ke rumah tak terlalu jauh, lagipula aku tak ingin mengundang fitnah nantinya. Bagaimanapun, aku masih berstatus istri Mas Fandi.
Kuputuskan untuk pulang menggunakan angkutan umum. Di sepanjang perjalanan aku terus berdo’a semoga kerjasama bisnis ini bisa berjalan sesuai harapan. Sehingga masa depan kedua anakku bisa lebih terjamin, meskipun nantinya kami harus hidup tanpa Mas Fandi.****
KAMU SEDANG MEMBACA
Berbagi Beban (Sudah dibukukan)
RomanceDinda, seorang istri yang selalu mencintai dan mendampingi suaminya dengan sabar, dipaksa menerima kenyataan bahwa ada wanita lain dalam hidup suaminya. Namun, ia harus bertahan demi harga dirinya, dan anak-anaknya. Keseluruhan cerbung ini terdiri d...