Pertengkaran Mereka

182 10 0
                                    

 
“Mas nggak ke rumah Raya?” tanyaku melihat Mas Fandi yang masih asyik menonton televisi, sedangkan sekarang sudah lewat pukul delapan malam.
 
“Ah ... aku di sini aja, Din,” jawab Mas Fandi malas.
 
“Tapi ini ‘kan jadwal Mas di tempat Raya. Raya juga tadi siang nyariin Mas ke sini,” ucapku.
 
Jujur aku lebih senang Mas Fandi tinggal di tempat Raya. Setidaknya aku bisa sedikit melupakan luka di hatiku. Karena setiap kali melihatnya, aku masih merasakan perih itu di sudut hatiku.
 
“Ngapain dia ke sini? Ngerasa perlu juga sama suaminya? Tapi membantah mulu. Heran ada istri kerjaannya membantah terus.” Mas Fandi justru mengomel panjang mendengar ucapanku.
 
Sebenarnya aku masih penasaran dengan masalah yang terjadi antara Mas Fandi dan Raya kemarin malam, tapi aku sudah memutuskan tak akan mengulik-ngulik mereka. Biarlah mereka yang menunjukkannya sendiri nanti.
 
“Aku itu lebih nyaman di sini. Sama kamu, sama anak-anak. Kamu aja yang tadinya marah aku mau nikah lagi, sekarang bisa ikhlas begini. Kamu benar-benar istri terbaik, Din,” ucap Mas Fandi sambil tersenyum padaku.
 
‘Tidak, Mas. Aku bukan ikhlas, hanya menunggu waktu yang tepat untuk membalas. Seandainya dari dulu kamu menyadari aku sebagai istrimu yang terbaik, semua masalah ini tak perlu terjadi,’ jerit batinku.
 
Aku tahu pujiannya itu tulus. Namun terlambat. Harusnya dari dulu ia membuka matanya. Tak perlu menghadirkan orang lain baru kemudian dia menyadari.
 
Kutinggalkan Mas Fandi yang kembali sibuk memindah-mindahkan acara di televisi. Lebih baik aku tidur. Besok akan menjadi hari yang tegang, aku tahu itu.
 
****
 
Raya memasuki halaman rumahku dengan wajah yang berang. Aku sudah yakin dia akan datang.
 
“Kelewatan ya, Mbak! Nggak nyangka aku Mbak sejahat ini. Pura-pura ngizinin aku nikah sama Mas Fandi, tapi Mbak malah nahan Mas Fandi terus di sini. Sengaja pengen nelantarin aku? Salah apa aku sama Mbak? Ingat Mbak, Mas Fandi itu suamiku juga!” teriaknya sembari menunjuk-nunjuk wajahku.
 
Salahnya? Ia bertanya apa salahnya ‘Salahmu adalah menginginkan mawar di taman orang lain, tapi lupa bahwa setiap mawar yang terlihat indah pun memiliki duri yang bisa melukai.’
 
Jika aku tak memikirkan tujuan awalku bertahan dengan Mas Fandi, pasti sudah kutampar Raya saat ini juga. Namun, ini belum saatnya. Aku masih harus bersabar.
 
Mas Fandi yang sedang bersiap berangkat kerja langsung keluar karena mendengar teriakan Raya. Tampak mereka berdua masih saling marah satu sama lain.
 
“Ngapain bikin ribut di sini?” bentak Mas Fandi pada Raya.
 
“Aku nggak akan bikin ribut kalau kalian berdua nggak curang!” Raya tak mau kalah membentak Mas Fandi.
 
“Curang? Curang darimana? Aku lebih nyaman di sini, dengan istri dan anakku-,”
 
“Aku juga istri Mas, lho. Ini yang di perutku ini anak Mas!”
 
Huh ... sebetulnya aku malas mendengar pertengkaran mereka. Namun, semua ini memang harus terjadi.
 
“Istri apa yang setiap hari bikin suami kesal? Nggak bisa sedikit aja bikin suami senang. Ngelawan terus. Membantah kalau mau melayani suami!” teriak Mas Fandi.
 
“Aku itu lagi hamil tua, Mas. Aku capek. Mikir nggak sih kamu?”
 
“Ah ... Dinda dulu juga tetap bisa kok meladeni suaminya, menghormati, nurut. Memang kamu itu senangnya membantah!”
 
Kucatat setiap ucapan Mas Fandi barusan di kepalaku. Ini baru permulaan.
 
“Udahlah, aku mau kerja. Pulang sana kamu! Jangan ganggu Dinda!” ucap Mas Fandi kasar sembari menunjuk wajah Raya. Lalu ia begitu saja meninggalkan Raya yang mulai menangis. Ia memang laki-laki yang hatinya seperti batu. Bahkan melihat istri mudanya menangis tak akan cukup meluluhkan hatinya.
 
Kudekati Raya yang masih terlihat kacau. Terlihat sekali ia kesal dan marah pada Mas Fandi.
 
“Sekarang kamu tau ‘kan ‘suamiku’ itu seperti apa?” ucapku memberikan penekanan pada kata suamiku, agar ia tahu bahwa lelaki yang kini ia tangisi, tadinya adalah suamiku yang ia ingin aku bagi dengannya. Sudah kulakukan, kubagi suamiku sepenuhnya, kubagi bebanku padanya.
 
Sekarang, jika pun ia menyesal tak akan ada gunanya. Ia tak akan bisa kembali tanpa merasakan sakit. Sakit seperti yang dulu ditorehkan di hatiku.
 
****
 
“Mas, ada baiknya Mas lihat kondisi Raya. Dia ‘kan lagi hamil. Jangan sampai dia stres sendiri. Bagaimanapun dia dan bayinya itu tanggung jawab Mas,” ucapku terus berusaha membujuk Mas Fandi.
 
Aku harus membuat Mas Fandi kembali ke rumah Raya malam ini. Selain malas berurusan dengan gadis temperamental itu, aku juga masih ingin Raya dan Mas Fandi semakin mengenal satu sama lain. Karena aku yakin semakin mereka saling mengenal kepribadian masing-masing, mereka akan semakin menyesali keputusan mereka dulu. Terutama Mas Fandi.
 
“Sudahlah, Din. Nggak usah pikirin dia!” jawab Mas Fandi dingin.
 
“Tapi Raya itu istri kamu juga, Mas. Kamu nggak bisa ngelepasin tanggung jawab begitu saja hanya karna kamu marah. Saat seorang istri salah, seorang suami seharusnya memperbaikinya, Mas, bukan meninggalkannya,” ucapku tegas.
 
Kembali kurasakan perih, teringat yang kudapatkan saat Mas Fandi mencari kesalahan-kesalahan pada diriku. Ia juga memilih pergi mencari yang lain yang ia anggap akan lebih baik.
 
“Ah ... ngerepotin aja sih!” gerutu Mas Fandi seraya berdiri. Bersiap berangkat menuju rumah Raya.
 
Setengah hati ia menyalamiku dan melangkah ke luar. Kupandangi setiap langkahnya yang semakin menjauh. Hari ini Mas Fandi mungkin belum menyesali kesalahan yang ia lakukan padaku. Namun, segera akan kubuat ia paham, dan menangis di hadapanku.

****

Berbagi Beban (Sudah dibukukan)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang