Tak Akan Ada Kesempatan Kedua

265 18 0
                                    


Aku meminta bantuan Dimas untuk mengantarkan Raya ke terminal. Tak sampai hati melihat bayi kecilnya harus berpanas-panasan di angkutan umum. Tak lupa kuselipkan sedikit uang untuk belanja mereka di jalan.
 
“Ya, untuk sekarang, mungkin memang sebaiknya kamu pulang dulu, melihat kondisi Mas Fandi yang lagi nggak terkendali, dan kamu juga baru melahirkan. Kamu nggak boleh stres, kasihan anakmu kalau sampai air susumu nggak keluar. Tapi nanti kamu harus kembali dan menyelesaikan semua masalahmu dengan Mas Fandi, ya!” pesanku padanya.
 
Raya terlihat menunduk dan menatap bayi kecilnya. Sepertinya ia bimbang, “Masalah bukan untuk dihindari, Ya. Masalah harus dicari penyelesaiannya. Nggak ada gunanya kamu lari. Lihat bayi mungil ini! Dia berhak mendapatkan pertanggungjawaban dari ayahnya. Dia berhak hidup tenang seperti anak-anak lainnya,” lanjutku.
 
“Aku nggak yakin, Mbak ....”
 
“Kamu juga berhak hidup tenang lagi, Ya. Aku yakin sejak menikahi Mas Fandi, hidupmu pasti berubah. Semua tak seindah yang kamu bayangkan. Aku sangat mengenal suamiku, Ya. Tahu betul betapa egois dan keras kepalanya dia ....”
 
“Aku minta maaf, Mbak.” Raya kembali menangis.
 
“Bukan permintaan maafmu yang Mbak minta, Ya, tapi kesadaranmu. Nggak ada kebaikan yang bisa kamu tempuh dengan menyakiti orang lain,” ucapku.
 
Raya semakin terisak, ”Maafin aku, Mbak, aku betul-betul menyesal. Aku mengikuti keinginan hati, tapi nggak mikirin akibatnya.”
 
“Mbak udah maafin kamu, Ya. Sudahlah. Mbak cuma minta kamu dengerin yang Mbak bilang, kembalilah lagi nanti. Selesaikan semua masalahmu dengan Mas Fandi. Kamu masih muda, masa depanmu masih panjang. Nggak ada gunanya kamu lari seperti ini. Mbak nanti juga akan ngomong dengan Mas Fandi, ya!” Aku menyentuh tangan Raya pelan. Kasihan, gadis semuda ini membawa dirinya dalam masalah seberat ini.
 
“Gimana kalau aku dipukuli lagi, Mbak?” tanyanya lemah.
 
“Ada Mbak di sini, Mbak nggak akan biarkan kamu disakiti Mas Fandi lagi,” jawabku terus berusaha meyakinkannya.
 
Raya menatapku dengan matanya yang mulai sembab.
 
“Makasih, Mbak, sekali lagi aku minta maaf. Entah gimana aku bisa bales kebaikan Mbak. Aku udah jahat, tapi Mbak masih mau bantuin aku,” ucapnya sesenggukan.
 
“Udah, nggak usah kamu pikirin itu. Jaga saja dirimu dan anakmu, Ya.”
 
Aku mengajaknya berdiri. Mobil Dimas sudah sampai di depan rumah. Kubimbing Raya dan membantunya naik ke mobil.
 
Dimas menyapaku ramah dan tersenyum. Entah hanya perasaanku saja, atau memang ada yang berubah dengan penampilan Dimas. Ia terlihat jauh lebih rapi dibanding saat terakhir kali aku bertenu dengannya.
 
“Kamu nggak ikut, Din?” tanyanya melihatku menutup pintu mobil setelah Raya dan bayinya naik.
 
“Nggak, Dim. Tolong anterin Raya ke terminal, ya, Dim. Kalau bisa kamu tungguin sampai dia naik bus,” pintaku pada Dimas.
 
“Oh ... oke!” jawabnya. Ia menolak uang yang kuberikan sebagai bayaran taksi.
 
“Kamu kayak sama orang lain aja,” ucapnya sambil tersenyum lalu masuk ke dalam mobil.
 
Kupandangi mobil itu hingga jauh. Kasihan sekali nasib Raya. Mas Fandi yang membawanya di antara kami, kini Mas Fandi juga yang memperlakukannya seperti ... ah entahlah ....
 
Ketika aku hendak berbalik ke rumah, Ibu dan Radit sudah menungguku di depan pintu.
 
“Mana Hanafi, Bu?” tanyaku karena tak melihat Ibu menggendong Hanafi.
 
“Tidur. Ngapain sih kamu bantuin perempuan itu, Din? Biarin aja dia dapet karmanya,” ucap Ibu bersungut.
 
Aku tersenyum dan menyentuh tangan Ibu, “Dinda kasihan aja, Bu. Mas Fandi begitu tega memperlakukan dia seperti itu,” jawabku.
 
“Salahnya sendiri, suruh siapa dia mau sama Fandi,” ucap Ibu lagi. Aku hanya tersenyum dan mengajak Ibu juga Radit masuk ke rumah. Aku memaklumi, Ibu dan Radit tak akan semudah itu memaafkan Raya. Mereka membutuhkan waktu untuk itu.
 
****
 
Hari ini jadwal sidang perceraianku yang kedua. Aku berharap persidangan kali ini lebih lancar dibanding sidang pertama dua minggu yang lalu. Semoga saja semakin cepat putusan talakku dari pengadilan.
 
Telah kuhubungi Dimas untuk mengantarkanku agar lebih cepat sampai di pengadilan agama. Syukurlah, aku punya teman seperti Dimas yang selalu siap mengantarkanku.
 
“Sidang yang ke berapa ini, Din?” tanyanya ketika mobil mulai melaju di jalanan.
 
“Yang kedua, Dim,” jawabku singkat. Entah kenapa rasa gugup seperti saat sidang pertama masih kurasakan kini.
 
“Semoga berjalan lancar deh, ya,” ucap Dimas lagi. Aku hanya mengangguk. “Ngomong-ngomong yang waktu itu kamu suruh anterin ke terminal siapa?” tanya Dimas lagi. Kurasa Dimas memang tipe orang yang hoby bicara.
 
“Itu istri kedua Mas Fandi,” jawabku datar.
 
“Hah!!” Dimas melongo. “Istri kedua suami kamu, dan kamu minta aku nolongin dia sampai naik bus? Waduh ... terbuat dari apa hatimu, Din? Kalau aku yang di posisi kamu, udah jadi geprek mereka berdua,” ucap Dimas dengan ekspresi geram yang dibuat-buat.
 
“Lagian kamu juga nggak punya suami yang mau menduakan kamu, kok,” jawabku bercanda. Dimas tertawa mendengar jawabanku.
 
Sepanjang sisa perjalanan, Dimas lebih banyak melucu. Aku merasa kegugupanku sedikit berkurang karena mendengar candaannya itu.
 
****
 
Mas Fandi dan Ibunya telah sampai lebih dulu di kantor pengadilan agama. Mas Fandi segera mengejarku begitu aku datang, meskipun kulihat ibunya sempat menahan.
 
“Din, tunggu dulu, Din, aku mau bicara sama kamu,” ucapnya menahan tanganku.
 
“Nanti kita bicara di dalam aja, Mas,” jawabku berusaha melepaskan genggaman Mas Fandi.
 
“Nggak, Din. Kita harus bicara sekarang, kita nggak boleh bercerai, Din,” ucapnya lagi. Ibu Mas Fandi kini sudah mendekat dan bergabung dengan kami. “Aku sekarang udah nggak sama Raya lagi, Din. Dia udah pergi. Nggak akan ada lagi yang bikin kamu kesal,” ucap Mas Fandi sambil tersenyum. Di matanya masih terlihat harap.
 
“Kamu nggak merasa bersalah atas kepergian Raya, Mas?” tanyaku sinis. Mas Fandi terlihat heran dengan pertanyaanku. “Aku tau kamu udah nggak sama Raya lagi, Mas. Aku juga tau apa yang kamu lakukan sama Raya,” ucapku kemudian.
 
“Maksud kamu?”
 
“Bisa-bisanya kamu melemparkan semua kesalahan sama dia, Mas. Bisa-bisanya kamu menyakiti fisiknya, yang kamu lakukan itu melanggar hukum, Mas. Aku akan bantu dia melaporkan perbuatan kamu ke polisi,” ancamku.
 
“Berani-beraninya kamu, ya! Memangnya salah anak saya kalau dia dapat istri yang pembantah seperti kalian berdua!” teriak Ibu Mas Fandi. Mungkin ia marah karena aku mengancam akan mempolisikan anak kesayangannya.
 
“Bu, berhentilah berpura-pura buta. Saat kita bermasalah dengan satu orang, mungkin saja ada yang salah dengan orang itu. Tapi saat kita bermasalah dengan banyak orang, mungkin yang bermasalah sebenarnya adalah diri sendiri,” ucapku memandang sinis pada Mas Fandi dan Ibunya. Entah sampai kapan mereka akan selalu merasa benar sendiri.
 
Ibu Mas Fandi tak menjawab lagi ucapanku. Mungkin ia sangat marah padaku, atau mungkin juga ia merasa yang kukatakan itu benar, tapi tak mau mengakuinya. Siapa yang mengenal seorang anak lebih dari ibunya?
 
Mas Fandi terus saja memohon untuk dimaafkan, dan meminta kesempatan kedua. Wajahnya terlihat begitu menghiba.
 
“Aku nggak pernah memberi kesempatan pada siapa pun untuk menyakitiku dua kali, Mas, bahkan nggak dengan ayahku,” ucapku, lantas berlalu meninggalkan mereka berdua.
 
Benar-benar keterlaluan, mereka bahkan tak merasa apa yang Mas Fandi lakukan pada Raya itu salah. Salah besar.

****

Berbagi Beban (Sudah dibukukan)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang