Derita Raya

273 17 0
                                    


“Assalammu’alaikum.” Suara seorang perempuan di pintu yang memang kubiarkan terbuka mengalihkan perhatian kami. Radit seketika terdiam dan melepaskan mainannya.
 
“Raya,” ucapku heran melihat bocah madu itu berdiri di depan pintu. Ia menggendong bayi kecilnya yang nampak tertidur. Namun, wajah Raya terlihat tak segarang biasanya.
 
Ibu sigap berdiri, dan menyongsongnya. “Ngapain lagi kamu ke sini? Belum puas kamu bikin hancur rumah tangga anak saya?” teriak Ibu padanya.
 
Raya tak seperti biasa. Tak ada sikap pongah yang dulu selalu ia bawa setiap kali datang ke rumahku. Sebaliknya ia terlihat lebih sering menunduk.
 
Radit merapatkan tubuhnya padaku, dan menggenggam tanganku. Mungkin ia teringat bahwa Raya adalah tante yang ia lihat bersama ayahnya di rumah sakit. Kubalas genggaman tangannya, dan tersenyum memberikan kekuatan.
 
“Sa-saya mau ngomong sama Mbak Dinda,” ucap Raya gugup. Baru kusadari ia membawa sebuah tas bepergian yang ia tinggalkan di depan rumah.
 
“Nggak ada yang perlu kamu bicarakan dengan anak saya. Pergi dari sini!” teriak Ibu lagi sembari menarik tangan Raya untuk menyuruhnya ke luar. Sempat kulihat Raya yang meringis ketika Ibu menyentuh tangannya.
 
“Saya mohon, saya nggak tahu harus bicara dengan siapa lagi. Saya nggak punya siapa-siapa di sini,” ucapnya menghiba. Kini air mata telah jatuh di pipinya. Pertama kali aku melihat bocah madu itu serapuh ini.
 
“Saya nggak peduli! Pergi kamu ....”
 
“Bu ....” Aku memotong ucapan Ibu. Mungkin memang ada hal penting yang ingin dibicarakan Raya denganku. Ia terlihat begitu lemah.
 
Kusuruh Raya masuk dan duduk. Bayi kecil di pangkuannya menggeliat. Kuserahkan Hanafi kembali pada Ibu, lalu duduk tak jauh dari maduku itu.
 
“Ada apa kamu mau ketemu saya?” tanyaku.
 
Raya kembali tertunduk dan menangis, membuatku semakin bertanya-tanya apa yang terjadi padanya.
 
“Aku mau minta maaf, Mbak, kalau selama ini aku udah bikin Mbak marah,” ucapnya terbata-bata di sela isak tangisnya. “Aku menyesal, Mbak,” sambungnya.
 
Aku belum paham apa maksud Raya berkata begini. Apa yang terjadi hingga tiba-tiba ia datang dan meminta maaf. Rasanya tak mungkin maduku yang dulu selalu garang melakukan hal ini.
 
“Apa terjadi sesuatu sama kamu, Ya?” tanyaku akhirnya. Tak tahan dengan rasa penasaran.
 
“Aku nggak sanggup lagi, Mbak.” Tangisnya semakin pecah. Aku bingung harus bagaimana. Haruskah kuhibur dan kutenangkan dia? Wanita yang telah merebut suamiku itu?
 
Namun akhirnya kuputuskan untuk membiarkan ia menangis, dan menunggu sampai ia siap melanjutkan ceritanya. Ibu menatap Raya dengan pandangan muak. Lalu kemudian membawa Radit dan Hanafi ke kamar.
 
“Apa yang terjadi, Ya?” tanyaku lagi.
 
“Aku nggak sanggup lagi, Mbak. Mas Fandi sekarang mulai kasar. Sejak Mbak pergi dari rumah, aku selalu jadi pelampiasan kemarahan Mas Fandi.” Raya berhenti, lalu kemudian menyingsingkan lengan bajunya.
 
“Astaghfirullah,” teriakku. Memar dan luka di sepanjang lengannya membuatku terkejut. Terlebih saat Raya menunjukkan bagian punggungnya, aku hanya bisa menutup mulutku dengan dua tangan.
 
“Kenapa bisa jadi begini, Ya?” tanyaku hampir tak percaya.
 
Raya kembali menangis. “Mungkin ini hukuman buat aku, Mbak. Hukuman karna aku keukeuh ingin mengambil sesuatu yang merupakan milik, Mbak ....” Ia berhenti karena bayi kecilnya terbangun dan menangis. Kusuruh ia untuk menyusui bayinya terlebih dahulu. Tiba-tiba rasa ibaku muncul pada bayi mungil itu.
 
“Sejak Mbak Dinda pergi, Mas Fandi jadi kasar sama aku. Menurut Mas Fandi kepergian Mbak itu karna salah aku. Ya, mungkin itu memang benar. Awalnya aku mencoba melawan, tapi Mas Fandi menjadi semakin marah, dan mulai main tangan. Sampai sekarang, setiap kali marah aku selalu jadi sasarannya. Apalagi waktu Mbak Dinda mengajukan gugatan cerai ....” Tangis Raya semakin menjadi. Bayi di pangkuannya pun terlihat gelisah. Mungkin ia merasakan ada yang tidak beres dengan sang ibu.
 
Kuambil bayi itu dari gendongan Raya, dan kuayun-ayunkan agar ia tenang. Kasihan sekali bayi kecil ini. Pasti situasi di rumah mereka begitu mengerikan.
 
Mas Fandi. Bagaimana bisa ia berubah menjadi bar-bar begini. Mungkin ia memang menyakiti hatiku, tapi ia tak pernah menggunakan kekerasan fisik sebelumnya. Kenapa sekarang ia seperti kehilangan akal sehat? Lagipula, kenapa ia melemparkan semua kesalahan pada Raya? Bukankah ia yang memilih gadis ini dulu.
 
“Mas Fandi selalu nyalahin aku. Sedikitpun dia nggak peduli dengan keadaan aku yang baru melahirkan. Dia juga nggak peduli sama anak kami.” Raya melanjutkan ceritanya. Bayi kecilnya kini telah tenang di pangkuanku.
 
“Terus kenapa kamu datang ke sini hari ini?” tanyaku tak lepas menatapnya.
 
“Aku mau minta maaf, Mbak,” jawabnya lemah.
 
“Aku udah maafin kamu. Ini bukan seratus persen kesalahan kamu,” ucapku tulus. Aku memang sudah memaafkannya. Tak ada lagi alasanku untuk menyimpan dendam padanya.
 
“Aku nggak sanggup lagi bertahan dengan Mas Fandi, Mbak. Aku nggak mau dipukuli lagi,” ujarnya terisak.
 
“Terus kamu mau apa?” tanyaku lagi.
 
“Aku mau pergi, Mbak. Bantu aku pergi, Mbak,” pintanya. Wajahnya terlihat begitu menghiba.
 
“Gimana cara aku bantuin kamu, Ya?”
 
“Aku mau pulang ke kampung Ibuku, Mbak, tolong bantu aku,” pintanya lagi. Kali ini kedua tangannya menyentuh tanganku.
 
“Kamu masih istrinya Mas Fandi, aku nggak mungkin bantu kamu pergi meninggalkan suamimu, Raya,” ucapku. Kutatap lagi lengannya yang penuh luka dan memar. “Tapi aku juga nggak mungkin maksa kamu bertahan, di saat aku sendiri memilih pergi,” lanjutku.
 
Betul-betul kasihan melihat kondisi mengenaskan Raya. Tak kubayangkan Mas Fandi bisa melakukan semua ini padanya.
 
“Kamu udah ngomong sama Ibu Mas Fandi?” tanyaku, tiba-tiba saja aku teringat Ibu Mas Fandi, bukankah selama ini ia selalu membela Raya?
 
“Ibu cuma bilang aku seharusnya nggak bikin Mas Fandi marah. Harusnya aku ngertiin  Mas Fandi yang pikirannya lagi kacau,” jawab Raya sembari menunduk.
 
Yah ... sudah kuduga. Ibu Mas Fandi selalu begitu. Lebih gampang menyalahkan orang lain, dibandingkan melihat kesalahan anaknya sendiri.
 
Ah ... akhirnya Raya merasakan juga apa yang kurasakan dulu. Namun, ternyata hatiku tak cukup tega melihatnya. Seandainya ia tak bersikukuh ingin menikahi suamiku, hidupnya tak akan menjadi seperti ini.
 
“Tolong bantuin aku, Mbak!” ucap Raya lagi. Ia kini bersimpuh di depan kakiku.
 
“Aku bisa bantu apa?” tanyaku seraya berusaha menariknya kembali duduk di sofa.
 
“Aku ... aku mau pulang ke kampung ibuku,” jawabnya gugup. Kulihat ia ragu-ragu melanjutkan kalimatnya.
 
“Kamu nggak punya uang?” tanyaku lagi.
 
Ia menunduk dalam, lalu mengangguk. Detik berikutnya ia kembali terisak. Kulupakan bahwa ia adalah wanita yang telah merebut suamiku. Kurangkul ia dalam pelukanku. Bagaimanapun, aku juga wanita, dan aku memahaminperasaanya saat ini. Ia tak punya siapa-siapa di sini untuk berbagi. Ia sendirian.
 
“Kamu nggak mau coba bicara dulu dengan Mas Fandi? Atau kamu mau aku yang bicara sama dia?” tanyaku kemudian.
 
Raya menggeleng kuat. “Aku nggak mau lagi, Mbak. Aku nggak mau lagi. Nggak sanggup aku menghadapi dia lagi. Aku mau pergi aja,” jawabnya cepat.
 
Bisa kupahami ketakutannya. Ia masih sangat muda, pasti semua ini berat untuknya.
 
“Please, Mbak, bantuin aku. Sekali ini aja.” Ia kembali memelas dan memohon. Aku hanya bisa terdiam. Ragu. Haruskah kubantu Raya pergi dari semua masalah ini? Ataukah aku harus menemui Mas Fandi?
 
Kuperhatikan kembali bayi kecilnya. Kasihan, ia menjadi korban meski ia tak tahu apa-apa.
 
‘Maafkan tante, Nak,’ batinku merasa bersalah.
 
“Kamu bisa pulang ke tempat ibumu sendiri?” tanyaku akhirnya. Entah keputusanku benar atau tidak. Tapi aku tak mungkin membiarkan mereka disakiti terus oleh Mas Fandi.
 
Raya mengangguk cepat. Terlihat binar harap di wajahnya.

****

Berbagi Beban (Sudah dibukukan)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang