Tak Mungkin Kembali Bersama

231 20 2
                                    


Menjalani sidang perceraian tak semudah yang kubayangkan. Terlebih dengan sikap Mas Fandi yang terus bersikukuh untuk mempertahankan pernikahan kami. Ah ... Mas Fandi. Ia adalah bukti nyata betapa waktu bisa mengubah seseorang.
 
Apa yang ia lakukan pada Raya betul-betul di luar bayanganku. Ia yang memilih gadis itu, ia yang membawanya di antara kami. Tapi kini ia sanggup menyakiti Raya yang ia anggap penyebab perpisahan kami. Entah karena cinta, atau semata ego tak mau kehilangan. Apa pun itu, aku tak mungkin menerimanya lagi.
 
“Lagi mikirin apa?” Suara Bu Fatimah tiba-tiba mengagetkanku.
 
Aku begitu sibuk dengan pikiranku hingga tak menyadari kedatangannya. Ia lantas tersenyum melihat keterkejutanku.
 
“Gimana sidangnya?” tanya Bu Fatimah lagi setelah cukup dekat denganku.
 
Aku tersenyum pahit. Lalu mengangkat bahu perlahan. “Lumayan alot, Bu. Mas Fandi masih keukeuh untuk bertahan,” jawabku lemah.
 
Bu Fatimah duduk di sampingku. Entah kenapa aku selalu merasa kagum dengan sikapnya ini. Seolah tak pernah ada jarak untuk kami.
 
“Kamu sendiri ... bersedia bertahan?”
 
Aku melihat sekilas pada Bu Fatimah, lalu kembali mengalihkan pandanganku ke depan. “Kalau mau terus bertahan, saya nggak mungkin mengajukan gugatan cerai, Bu. Saya akan terus memperjuangkan gugatan saya,” jawabku lagi.
 
Bu Fatimah menyentuh bahuku lembut. “Untuk seorang wanita muda, kamu adalah yang paling hebat yang pernah saya temui. Kuat, kokoh, tangguh, berprinsip. Amat disayangkan suami kamu itu bisa menghianati kamu, Din,” ucapnya.
 
Aku menunduk dan memandang buku-buku jari. Kuat, kokoh, tangguh, berprinsip? Aku tak sehebat itu. Bahkan aku kalah oleh kebencian. Kebencian atas penghianatan Mas Fandi.
 
Entah akan ada bedanya atau tidak jika aku mengajukan gugatan ini sebelum pernikahan kedua Mas Fandi. Namun, nyatanya aku memang sengaja menantikan saat-saat dimana Mas Fandi akan menyesali penghianatannya. Saat-saat aku bisa membalaskan semua rasa sakitku.
 
“Saya nggak sehebat itu, Bu,” ucapku kemudian. Bisa kurasakan Bu Fatimah yang mengalihkan pandangannya padaku. “Dari awal saya tau Mas Fandi akan menyesali penghianatannya, dari awal saya sudah yakin Raya nggak akan sanggup menghadapi Mas Fandi. Karena saya sangat mengenali Mas Fandi, saya tau persis suami saya seperti apa. Tapi saya memilih menunggu penyesalannya sebelum mengajukan gugatan cerai. Saya kalah oleh kebencian. Saya kalah oleh dendam. Saya tak sehebat itu, Bu ....”
 
Bu Fatimah masih menatapku untuk beberapa saat sebelum akhirnya mengalihkan pandangan ke depan. “Jika kamu dari awal menuntut perceraian, apa kamu berpikir dia akan membatalkan pernikahannya? Dia yang memilih menikah lagi karna nggak puas dengan kondisi kamu, apa mungkin akan membatalkan pernikahannya hanya karna kamu menggugat cerai?”
 
Pertanyaan Bu Fatimah menyentakkanku. Mengembalikan memori satu tahun yang lalu. Saat Mas Fandi begitu kukuh dengan keinginannya untuk menikah lagi. Bahkan tanpa menunggu persetujuanku ia telah membawa Raya pada anak-anakku, seolah keikhlasanku memang tak begitu diharapkan.
 
“Seandainya istri keduanya ternyata seseorang yang lebih baik dari kamu, apa ia akan menyesal seperti sekarang?”
 
Pertanyaan Bu Fatimah kini berhasil mengalihkan perhatianku sepenuhnya. Ya ... seandainya istri muda Mas Fandi bukanlah Raya, melainkan seseorang yang jauh lebih baik daripada aku. Seandainya ia memang sanggup menerima Mas Fandi yang selalu bersikap egois, dan merasa benar sendiri. Apa Mas Fandi akan begitu gigih menolak perceraian ini, atau justru dengan senang hati melepaskanku?
 
“Kamu hanya beruntung, Din. Suami kamu memilih istri kedua hanya dari kecantikannya saja. Dia hanya mencari yang lebih cantik dari kamu, bukan yang lebih baik. Bukan kamu yang memilihkan gadis itu untuknya, tapi dia sendiri. Bukan kamu yang mengatur skenarionya, keberuntungan saja yang berpihak sama kamu. Atau mungkin juga memang ini teguran untuk suamimu. Jadi berhentilah merasa bersalah. Nggak ada jaminan juga suami kamu yang sedang mabuk kepayang saat itu akan membatalkan niatnya hanya karna kamu menggugat cerai. Hanya saja mungkin bedanya, setelah dia menyesali penghianatannya, akan lebih susah buat kamu untuk menuntut perceraian,” ujar Bu Fatimah panjang lebar.
 
Aku memperhatikan setiap kalimatnya lamat-lamat. Benar, tak ada jaminan Mas Fandi akan membatalkan pernikahannya hanya karena gugatan ceraiku. Ia juga tak akan segigih ini mempertahankan pernikahan kami, jika saja Raya bisa menjadi istri yang lebih baik untuknya. Mungkin justru akulah yang akan berada di posisi Raya. Tersakiti, dan tercampakkan.
 
Ucapan Bu Fatimah mengembalikan lagi semangatku yang sempat rapuh karena alotnya proses persidangan. Keputusanku sudah benar.
 
“You know what, Din?” Aku kembali mengalihkan pandangan pada Bu Fatimah, “Saya selalu berharap anak saya bisa mendapatkan istri seperti kamu. Cantik, mandiri, nggak cengeng, dan saya yakin kamu itu wanita yang baik,” ucap Bu Fatimah membuatku tersenyum.
 
“Jangankan yang seperti saya, Bu. Yang jauh di atas saya akan bisa didapatkan Hanan dengan mudah,” jawabku. Bu Fatimah hanya menatapku sambil ikut tersenyum.
 
Aku kembali mengalihkan pandanganku ke depan. Mulai berpikir, mungkin aku harus menemui Mas Fandi. Kami harus bicara berdua agar semua masalah ini bisa segera selesai.
 
Aku lantas pamit pada Bu Fatimah, lalu mengetik sebuah pesan dari gawaiku untuk Mas Fandi. Aku harus bertemu dengannya.
 
****
 
Aku langsung memesan minuman setelah sampai di kafe yang kujanjikan. Aku telah memperhatikan cara Hanan memesan tempo hari, dan mengikutinya. Entah Mas Fandi membaca pesanku atau tidak. Tapi aku akan menunggunya di kafe ini.
 
Suasana kafe cukup ramai. Jika Mas Fandi bersikap agresif seperti tempo hari, atau mencoba menyakitiku seperti yang ia lakukan pada Raya, aku akan berteriak agar ada yang menolongku.
 
Kusesap sedikit minuman yang telah dihidangkan pelayan kafe. Tak begitu lama, Mas Fandi telah terlihat di pintu masuk. Ia nampak bergegas menuju ke arahku.
 
“Din, maaf aku telat. Aku senang banget kamu akhirnya mau ngomong sama aku ....”
 
“Mas mau pesan minuman?” tanyaku memotong ucapan Mas Fandi, yang segera dijawabnya dengan gelengan. Aku berdeham pelan. “Terima kasih Mas udah mau datang ....”
 
“Aku yang berterima kasih karna kamu udah mau ngasih aku kesempatan lagi, Din,” ucapnya sembari menyentuh tanganku. Aku lantas menarik tanganku dari sentuhannya.
 
“Aku cuma mau bicara sama kamu, Mas,” ucapku. Sedikit bingung darimana harus kumulai pembicaraan ini.
 
“Tentang perceraian kita?” tanyanya kemudian. Aku hanya menjawab dengan anggukan singkat. “Aku benar-benar berharap kamu membatalkan tuntutan kamu, Din. Aku yakin kita bisa mulai lagi semua dari awal,” ucapnya kembali menghiba.
 
Aku menggeleng dan mengalihkan pandangan ke arah jalanan. Melihat wajah menghiba Mas Fandi membuat hatiku kembali sedih. Aku harus mengingat tujuan awalku memintanya datang
 
“Aku mau minta maaf sama kamu, Mas. Maaf kalau aku udah jahat. Maaf kalau aku pernah berniat buruk sama kamu. Aku sempat ingin membalas semua rasa sakit hatiku sama kamu, dan aku justru merasa sangat senang saat melihat kamu menyesali perbuatanmu. Aku minta maaf untuk semua itu,” ucapku tulus. Mas Fandi hanya terus menatapku. Entah apa yang ia pikirkan saat ini. “Tapi apapun yang terjadi, aku akan tetap melanjutkan proses perceraian kita, Mas. Bagaimanapun kamu berusaha mematahkan usahaku, aku akan tetap memperjuangkannya.”
 
Mas Fandi meremas rambutnya dengan dua tangan, lalu melepaskan napas kasar, “Apa nggak ada lagi jalan buat kita kembali bersama, Din? Apa nggak ada sedikitpun rasa cinta tersisa di hati kamu?” tanyanya kemudian.
 
“Cintaku sudah lama mati, Mas. Tepat di hari kamu membawa wanita lain ke dalam istanaku,” jawabku tajam. Pedih harus mengingat lagi rasa sakit itu.
 
Mas Fandi mengusap sudut matanya. Mungkin ia malu terlihat menangis di tempat seramai ini. “Aku nggak bisa kehilangan kamu dan anak-anak, Din.”
 
“Aku nggak akan menghalangi kamu untuk bertemu dengan anak-anak lagi, Mas. Kamu berhak menemui mereka. Tapi mereka akan tetap tinggal bersamaku.”
 
“Dinda, aku benar-benar menyesal ....”
 
“Nggak ada gunanya menyesal, Mas. Jadikan saja ini pelajaran. Bagaimanapun kamu berusaha, kamu nggak akan bisa mengembalikan rasa cinta di hati aku lagi. Bagaimanapun kamu bersikeras bertahan, aku nggak bisa menjamin akan sanggup menjadi istri kamu seperti yang dulu lagi,” ucapku tegas. Mas Fandi tercengung mendengar ucapanku, lalu menangkupkan kedua tangan di wajahnya. “Tentang Raya ... jangan sampai kamu menyesal dua kali, Mas,” lanjutku kemudian.
 
Mas Fandi menatapku cukup lama. Tak ada lagi kata yang keluar. Semua yang ingin kukatakan telah kukatakan. Aku lantas berdiri, dan pergi meninggalkan Mas Fandi. Meninggalkan semua rasa sakit dan benciku. Aku tak lagi membutuhkan semua itu.

****

Berbagi Beban (Sudah dibukukan)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang