Demi Anak-anak

307 17 2
                                    


Pukul 06.30, aku telah selesai bersiap. Hari ini sidang ketiga gugatan ceraiku pada Mas Fandi. Aku berharap segala yang terbaik untuk kami akan terjadi hari ini. Kukenakan gamis baru bermotif bunga, sesuai dengan suasana hatiku yang hari ini sedang begitu baik.
 
“Bu, Dinda pamit, ya,” ucapku pada Ibu yang sedari tadi begitu resah memperhatikan setiap gerak-gerikku.
 
“Kamu nggak akan berubah pikiran, ‘kan, Din?” tanya Ibu seraya mendekatiku.
 
“Berubah pikiran tentang apa, Bu?” tanyaku sembari tersenyum. Kucium tangan Ibu dan mengusapnya pelan, “Ibu do’ain aja yang terbaik buat Dinda dan anak-anak, ya,” lanjutku.
 
Kuambil tas tangan di atas meja, dan melangkah keluar rumah. Dimas telah menunggu di depan. Dia memang selalu bisa diandalkan untuk urusan ini. Kantor Pengadilan agama cukup jauh jika aku harus menggunakan angkutan umum. Dengan Dimas, aku akan bisa sampai lebih cepat.
 
“Udah siap?” tanyanya. Aku mengangguk dan tersenyum, lalu naik ke mobil yang telah dibukakan Dimas pintunya. “Oke, kita berangkat, ya,” ucapnya penuh semangat.
 
Jalanan pagi ini sedikit basah, bekas hujan semalam. Pun juga lumayan sepi. Barangkali udara yang dingin membuat orang-orang malas melakukan kegiatan di luar.
 
“Sidang ketiga, ya?” tanya Dimas memecah keheningan. Aku hanya mengangguk, lalu kembali mengalihkan pandangan ke jalanan.
 
“Ternyata proses perceraian itu ribet juga, ya,” ucapnya kemudian. “Tapi semoga aja urusan kamu berjalan lancar dan segera ada hasilnya.” Dimas kini yang tersenyum.
 
Tak terlalu kutanggapi ucapan Dimas. Pikiranku kembali berkelana pada moment kebersamaan Mas Fandi dengan anak-anak kemarin di taman safari. Betapa mereka tak akan terpisahkan satu sama lain. Aku hanya berharap apapun hasil sidang nanti adalah yang terbaik untuk kami.
 
“Mmhh ... Din ....”
 
Aku kembali tersadar saat Dimas memanggil namaku. “Ya,” jawabku singkat sembari mengalihkan perhatian padanya.
 
“Do you still love him? I mean ... is there still a place for someone else after the divorce?” tanyanya.
 
Aku tersenyum mendengar pertanyaannya. “Aku nggak bercerai buat itu, Dim. Yang terpenting sekarang aku hanya ingin yang terbaik untuk hidupku dan anak-anak,” jawabku. Ah ... kembali aku teringat pada Raya, tentu ia juga ingin yang terbaik untuk anaknya.
 
“Yach ... kali aja ntar. Aku punya banyak stok duda keren, lho,” jawab Dimas sambil tertawa. Aku ikut tertawa mendengar candaannya.
 
“Malah nyariin yang duda, cariin yang berondong, dong,” jawabku masih terus tertawa.
 
“Oh shit ... I was eliminated,” ucapnya dengan ekspresi seolah kesakitan, dan sebelah tangan menyentuh dadanya. Aku kembali tertawa. Dimas memang paling jago melucu.
 
“Kamu aja yang duluan nyari, betah aja sendiri,” ejekku padanya.
 
“Oh ... i’m ready if you are, Madam,” jawabnya.
 
Aku lagi-lagi tertawa mendengar nada suara Dimas yang dibuat-buat. Ia selalu berhasil mengurangi kegugupanku menjelang sidang. Diam-diam aku bersyukur dengan keberadaannya di sini.
 
****
 
Aku turun dari mobil dan mengucapkan terima kasih pada Dimas. Ia menjawab dengan lambaian tangan, dan kembali membelah jalanan.
 
Mas Fandi seperti biasa sudah lebih dulu datang. Namun, kali ini aku tak melihat keberadaan ibunya. Mas Fandi hanya sendirian duduk di kursi tunggu. Ia segera berdiri dan menyongsong kedatanganku.
 
“Hai,” ucapnya setelah jarak kami cukup dekat. Ia terlihat gugup. Aku membalas sapaanya dengan tersenyum. “Gimana anak-anak?” tanyanya kemudian.
 
Aku beranjak ke arah kursi. “Anak-anak baik, mereka senang bisa ketemu sama kamu, Mas. Sekali lagi aku ucapkan terima kasih,” ucapku sembari duduk di kursi.
 
Mas Fandi terlihat ragu sejenak, sebelum akhirnya memutuskan untuk ikut duduk di sampingku. “Kamu nggak perlu bilang terima kasih, aku senang bisa ketemu anak-anak lagi. Kamu tau kan aku nggak bisa berpisah sama mereka,” ucapnya.
 
Aku tak merespon ucapannya. Rasanya aneh, kami sedang menanti sidang ketiga kasus perceraian kami di kursi yang sama, dengan jarak yang cukup dekat, seolah kami ini hanyalah dua sahabat karib.
 
“Din.” Mas Fandi memanggilku, kemudian untuk beberapa saat ia nampak berpikir keras. Aku hanya terus memperhatikannya. “Aku udah pikirin semua. Yang kamu bilang minggu lalu. Tentang kita, tentang anak-anak ....”
 
Kalimatnya terhenti di situ. Ia berusaha mengatur napas, seolah apa yang akan ia ucapkan adalah sesuatu yang menyesakkan dada.
 
“Aku benar-benar menyesal atas semua yang udah aku lakukan sama kamu, Din. Kamu tau aku sangat mencintai kamu, Din. Seandainya waktu bisa dikembalikan, aku nggak mau menyakiti kamu. Aku nggak akan melakukan sesuatu yang bisa membuat aku kehilangan kamu. Aku akan lebih menghargai perasaan kamu, dan berusaha menjadi suami yang baik ....”
 
Sekali lagi kalimat Mas Fandi terhenti. Kembali ia berusaha mengatur napas dan memainkan jemari tangannya.
 
“Aku menyesal ... aku menyesal, Din.” Mas Fandi melihat ke arahku. “Tapi aku tau, penyesalan nggak ada gunanya lagi sekarang. Aku juga nggak bisa menghilangkan rasa sakit di hati kamu, walaupun aku udah berusaha. Sekarang yang bisa aku lakukan hanya meminta maaf. Kalau kamu bisa, please maafin aku,” ucapnya tak lepas menatapku.
 
Aku menatap lantai di hadapanku. Perih. Bagaimanapun sakit yang kurasakan atas penghianatan Mas Fandi, perpisahan ini tetap saja terlalu berat untuk kupikul sendiri.
 
“Aku udah pikirkan sebaik-baiknya. Aku nggak akan lagi bersikap egois sama kamu. Aku akan penuhi gugatan kamu,” ucapnya. Aku menatap Mas Fandi, tak percaya dengan apa yang baru saja kudengar. Mas Fandi akan mengabulkan gugatanku?
 
Beberapa saat mata kami bertemu. Mas Fandi kemudian mengangguk dengan senyuman yang terlihat dipaksakan. “Aku akan kabulkan,” ucapnya lagi.
 
Seharusnya aku senang, bukankah ini yang selama ini kuinginkan dan kuperjuangkan? Tapi kenapa tetap terasa sakit mendengar dan melihat senyum Mas Fandi yang terlihat dipaksakan. Sesuatu di ulu hatiku seolah terpilin. Perih.
 
“Kamu benar, kita nggak boleh egois, kita nggak boleh membagi rasa sakit ini dengan anak-anak. Jadi mulai sekarang, aku akan menghentikan semua ini. Menghentikan semua permasalahan kita. Jika perpisahan ini yang memang kamu butuhkan saat ini untuk mengobati hatimu, akan aku penuhi, Din. Tapi Jangan sampai anak-anak menjadi korban. Kita rawat anak kita sama-sama, walaupun mungkin kita nggak bersama.”
 
Aku merasa dadaku seperti terhimpit. Memang ini yang kuharapkan. Namun ternyata tak semudah yang kubayangkan. Ini terasa berat. Teramat berat.
 
Beberapa saat kami saling berpandangan, lantas kemudian Mas Fandi menarikku dalam pelukannya. Aku terisak, tak mampu lagi menahan bendungan air mata yang menggenang. Begitu juga dengan Mas Fandi.
 
Entah perasaan apa ini, yang jelas aku merasakan sesak di dadaku. Kenangan tujuh tahun pernikahan kami membayang kembali di ingatanku. Sekarang, semuanya akan benar-benar menjadi kenangan.
 
“Sekali lagi aku minta maaf, Din. Maaf atas keegoisan aku yang nggak pernah mengerti perasaan kamu. Aku lepaskan kamu, jika memang itu bisa menyembuhkan hatimu untuk saat ini. Mungkin suatu saat nanti, jika Allah memberi aku satu kesempatan untuk kembali lagi, aku akan tunjukkan aku bisa lebih baik,” ucapnya lagi.
 
Untuk beberapa saat ia masih memelukku. Namun kemudian ia melepaskannya. Menatapku, dan menghapus jejak air mata di pipiku. “Sekali lagi, aku minta maaf,” ucapnya.
 
Jika tidak mengingat Raya yang kini menderita, barangkali aku telah membatalkan gugatanku. Permintaan maaf Mas Fandi yang tulus, inilah yang selama ini kunanti, sudah kudapatkan. Tapi aku tak bisa bersikap egois. Masih ada Raya yang membutuhkan Mas Fandi, dan aku tak akan sanggup berbagi dengannya.
 
“Maafin aku juga, Mas,” ucapku pelan. Setitik air mata kembali jatuh di pipiku.
 
Mas Fandi tersenyum, dan menggenggam tanganku. “Demi anak-anak, kita hentikan pertengkaran ini,” ucapnya. Aku membalas dengan anggukan.
 
“Demi anak-anak.”  

****

Berbagi Beban (Sudah dibukukan)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang