15. This Game (2) (Revisi)

5.2K 420 7
                                    

Kania Farzana

Aku menenggelamkan sebagian kakiku di kolam renang. Tanganku bertumpuan pada sisi sisi kolam. Sementara, kududukkan badanku di tepian kolam. Pandanganku nanar ngelihat permukaan air kolam yang memantulkan cahaya lampu taman. Seperti aurora pada langit malam yang membuat penikmatnya lupa sama rasa dingin. Tapi enggak buatku. Aurora yang kulihat kali ini makin membuat aku merasa, bahwa Tuhan sudah menuliskan garis takdirku pada jalan yang ga aku mau.

Dan sampai detik ini, aku masih percaya bahwa Tuhan akan dengan mudahnya bisa merubah takdir itu. Termasuk merubah perjodohanku sama Tomi.

"Minum?" Tawar Tomi yang dari sore tadi di rumah, ikut bantu bantu buat acara lamaran yang sebentar lagi dimulai. Bukan lamaran lagi, lebih tepatnya adalah pertemuan dua keluarga buat nentuin hari sama teknis acaranya.

Aku mengulas senyum didepannya. "Makasih, tapi gue ga lagi haus".
Aku biarin Tomi duduk di sampingku. Dia ikut menggantungkan kaki panjangnya sampe masuk kedalam air. Sesekali bergerak menciptakan riak riak air.

"Sorry yaa... Udah bikin nunggu. Tapi satu jam lagi mas Irwan dateng kok". Aku tersenyum lagi, mengiyakan permintaan maafnya. Toh kalau bakal ditunda satu jam, satu hari, atau bahkan satu bulan, ga jadi masalah buatku.

"Lo udah siap?" Tomi bertanya seolah aku bakal dateng buat ujian UKMPPD dengan segala kerumitan materinya. Tapi sayangnya, Tomi betul karena aku memang harus siap buat menghadapi takdirku, yang nyatanya jauh lebih rumit dari apa yang pernah terfikir olehku.

"Gue ga pernah habis pikir. Orang dengan masa depan karir yang cemerlang kayak lo gini, kenapa harus mau ngurus partai yang punya banyak banget kemungkinan, termasuk kemungkinan buruk."

"That's why Kania, kita harus jadiin semua ketidakmungkinan tadi dengan kebaikan yang kita punya. Dulu ayah selalu bilang ke gue, the best investment is doing good. Salah satu kebaikan itu bisa kita ciptain lewat partai. Sorry sebelumnya, lo tahu gimana orang orang internal partai yang bermuka dua itu pengen ngerebut posisi pimpinan. Mereka bakal ngelakuin segala cara buat nyari keuntungan demi kepentingan pribadinya masing masing. Cukup orang tua kita yang meninggal dengan cara ga wajar. Yang sekarang kita punya tinggal Paman Gandhi. Kita harus menjaganya, Kania."

Aku menghela nafas karena sebenernya aku ga suka denger omongan Tomi yang selalu bener itu. Meski Paman Shahid bukan ayahku, aku masih ngerasa kehilangan banget sama sosok yang selalu jadi panutanku setelah Papa. Belum lagi dengan kondisi Papa. Demi Tuhan, aku udah kapok. Makin kesini, rasanya ketakutanku makin bertambah-tambah. Dan aku ga mungkin egois dengan ninggalin permasalahan ini berlarut-larut, lalu dengan seenaknya aku fokus dengan masa depanku sendiri. Enggak mungkin.

"Tomi?"

"Ya".

"Apa lo bisa batalin pernikahan ini, tapi kita tetep dengan tujuan? I mean, kita hidup sendiri sendiri tapi kita bisa bareng bareng jaga Papa, dan elo masih bisa fokus di partai. Lo tahu, gue ga bisa menolak permintaan paman Shahid, kecuali kalau lo sendiri yang ngebatalin". Pertanyaanku bikin Tomi diem buat beberapa detik.

Aku bisa ngelihat kakinya yang menegang dan ga bergerak sama sekali. Aku tahu, pertanyaanku tadi sama aja kayak  bom yang telat diledakkan. Ngajak Tomi batalin pernikahan saat satu jam lagi acara lamaran dilaksanain. Tapi masa bodoh, aku ga peduli. Aku hanya berusaha, barangkali Tomi setuju sama pendapatku.

"Apalagi gue". Aku terdiam untuk beberapa saat karena kecewa. Ga nyangka kalau Tomi bisa ngucapin dua kata itu dengan begitu tenang.

"Tapi lo ga cinta sama gue, kan? Begitupun gue, Tomi. Kehidupan macam apa yang bakal kita jalani nanti?"

AffiliareTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang