54. The Hint

3.8K 498 38
                                    


Tomi Mahardhika

Dengan terburu buru, gue ngebuka pintu kamar. Gue langsung ngelepas bathrobe yang akhirnya jatuh di lantai. Ga usah tanya gimana reaksi orang orang ngelihatin gue keluyuran diluar sambil make bathrobe putih punya Kania. Yang tadi gue ambil sekenanya dari walking closet di apartemennya. Dari penjaga lobby apartemen, sampe mbok Inah, masang ekspresi yang ga biasa. Setengah heran, dan setengahnya lagi sungkan. Sementara sisanya didominasi sama ketakutan ngelihat muka gue yang tegang.

Gue berdiri di depan wastafel, menadah air kran sebanyak banyaknya buat mencuci muka gue. Lantas, meraup tissue wajah beberapa helai dan mengusapkannya ke muka gue sendiri dengan kasar. Gue ngelihat bayangan wajah gue sendiri di cermin. Wajah bodoh yang penuh sama penyesalan. Gue nyesel karena udah bikin Kania kabur lagi, dan parahnya gue ga berhasil nyari jejaknya.

Seharian tadi gue kayak orang gila, pegang handphone, telepon kesana kemari nanyain orang orang, dimana Kania. Sudah jelas kalau semesta memang memihak ke orang baik kayak dia. Semua orang yang gue tanya, jawabannya ga tau. Bahkan Putra sendiri ga berhasil nyari dia. Rekaman cctv apartemen itu ga berhasil ngikutin jejak Kania sampe masuk mobil. Handphonenya yang selalu dia bawa kemana mana, dia tinggal di atas nakas. Padahal cuma handphone itu yang gue pasangin chip biar gue bisa tahu kemana aja Kania.

Dan yang lebih bikin gue nyesel lagi adalah gue udah kasar sama dia bukan cuma secara fisik, tapi juga psikis. Gue dulu emang suka nyindir, bahkan sampe ngebentakin dia, tapi gue ga pernah sampai main fisik ke dia. Terlebih lagi mulut gue lancang udah ngomongin soal Nanda. Sesuatu yang selama ini gue rahasiain dari Kania demi kebaikan pernikahan kita. Gue ga mau Kania merasa bersalah atas suatu hal yang ga dia lakuin. Gue udah terlanjur cinta sama dia. But... The biggest regret is that everything was destroyed because of my anger. Gue gagal menghadapi keras kepalanya Kania.

Awalanya, gue pikir hidup sendiri sendiri jauh lebih baik buat nurunin ego kita. But, I was wrong. Big mistake I've ever created. Yang ada, hidup gue malah lebih kacau. Insomnia gue makin parah. Gue cuma tidur 2 jam tiap hari. Dan parahnya, gue mengakhiri insomnia gue kemaren dengan memaksa Kania.

Hal itu gue lakuin bukan tanpa alasan. Setelah sebelumnya, gue digoda sama Isabelle buat ngelakuin yang enggak enggak. Sebenernya gue udah muak, karena tiap kali dia ngomongin soal tawaran bantuannya, dia selalu ngajakin ketemuan di hotel. Padahal gue udah minta buat dibahas di kantor partai. Dan puncaknya kemaren malem, Isabelle sempet berhasil ngelepas kancing teratas baju gue disaat gue fokus baca deretan angka yang di kertas yang gue pegang. Bahkan telinga gue sempet dia cium dengan gerakan cepat. And that's really insane.

But, God always with me. Pandangan gue yang awalnya menatap Isabelle, tiba tiba kayak dialihkan sama Tuhan. Suddenly, gue menatap cincin nikah yang terpasang di jari manis gue. And that's the epic warning from God. Gue langsung kabur, nyari apartemennya Kania. Meski gue masih setengah emosi karena masih kepikiran sama omongannya Putra.

Dan kondisi kekampretan itu semua berakhir dengan penyesalan gue yang luar biasa besar.

Suara dering dari handphone gue tiba tiba terdengar. Pengen gue cuekin tuh handphone pas tahu kalau nama yang tertera dilayarnya adalah namanya Putra. Rasanya, sebulan ini otak gue penuh sama info info dari Putra. Gue pengen istirahat sejenak, fokus memperbaiki hubungan gue sama Kania.

"Halo, Put" Ucap gue sekenanya saat Putra mencoba telepon gue kembali setelah tiga kali gue reject. Tapi gue kenal Putra, seburuk apapun info yang gue terima, dia tetep sopan. Ga seperti sekarang ini. Terkesan genting dan gue wajib buat ngangkat teleponnya.

AffiliareTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang