21. Disaster 1

5.3K 416 21
                                    

Tomi Mahardhika

Gue menutup buku agenda dengan kesal. Banyak banget laporan laporan yang bikin otak gue mendidih. Ada beberapa posko pemenangan yang ada di Sumatra barat kecolongan. Atribut partai yang sudah terpasang, dirusak begitu saja. Para kader belum dapet informasi siapa pelakunya.

"Pak Tomi, kandidat caleg Dapil 5 atas nama Wahyudi di persekusi oleh orang tak dikenal saat mengisi sambutan di acara peresmian gedung olahraga juang. Tolong perintahkan Ferdinand untuk mengurusnya". Ihsan, salah satu tim kampanye yang gue utus pergi ke dapil 5 ngejelasin kejadian via telepon.

"Kau jangan gegabah San. Tetap diam disana dan amankan posisi Wahyudi sampai pihak KPU dan polisi datang. Ferdinand dan anak buahnya segera kesana. Kau tenang, paling itu hanya gertakan kecil dari rival". Ucap gue yang berusaha nenangin Ihsan.

Gue menutup gagang telepon yang sedari tadi kupegang dengan kasar.
Tak lama, handphone ku berbunyi. Tertulis nama Paman Aslam dilayar berukuran 7 inch yang aku genggam.

"Halo Tomi. Ya Tuhan. Kau sibuk sekali rupanya, nak. Ku telfon dari tadi ga di angkat angkat".

"Ga terlalu sibuk kok Paman. Ada yang bisa Tomi bantu?".

"Enggak. Aku heran saja. Ga biasanya Kania bersikap seperti ini".

"Memangnya kenapa paman?"

"Dia membawa pulang mobilnya kesini dan disimpan di garasi sini. Tomi, paman kasih tahu ya sebelum Gandhi tahu dan merintah anak buahnya buat bertindak macam macam ke kamu. Istrimu itu selalu pakai mobil pribadinya kemanapun dia pergi. Sebaiknya kalian bicarakan lagi keputusan ini Tomi".

Gue bener bener ngerasa ga baik ketika harus mencoba tetap tenang sementara gue sudah emosi duluan setelah denger tentang apa yang dilakuin sama Kania. Kania benar benar jago kalau soal mengetest kesabaranku. Dari dulu.

"Halo? Tomi?, masih dengar?".

"Oh, ah ya Paman. Terimakasih sudah diingetin. Ini memang sudah menjadi keputusan kita. Lagipula Tomi siap kok kalau harus nganterin kemanapun Kania pergi".

"Baiklah nak. Titip Kania. Sekali dia lecet serambut, tanpa berpikir panjang aku bakal mengubah ulang semua poin poin perjanjianmu itu".

"Iya Paman". Gue menahan lidah yang kelu. Gue paham betul gimana sifat keluarga Gandhi. Mereka ga pernah main main dengan ancaman yang mereka ucapkan.

*****

Gue dari tadi duduk di depan meja makan sendirian sambil membuka tablet dan menelfon beberapa pengurus partai yang gue butuhin informasinya. Lalu sesekali menyesap kopi.

Gue melirik jam yang melingkar di tangan kiri. Sekarang sudah jam sembilan malam. Dan Kania belum juga pulang. Biasanya dia yang tergopoh gopoh menata makanan di atas meja kalau aku pulang. Perempuan satu ini hobi banget bikin gue khawatir. Kadang gue heran sama apa yang dilakukan dia di rumah sakit sampai malam kayak gini. Bukankah kerjanya hanya sampai jam 5 sore saja.

Eh, kenapa tiba tiba gue jadi mikirin Kania. Who cares?. Pulang atau ga pulang, bukan urusan gue kan?. Yang jelas, gue harus tanya ke dia kenapa harus ada acara mulangin mobil segala macem.

Dan tiba tiba saja suara bel berbunyi. Mbok Inah lari terbirit birit mau bukain pintu. Beberapa menit kemudian gue mendengar suara Kania tengah berbasa basi dengan Mbok Inah.

"Kania". Lengannya gue pegang bermaksud menghentikannya saat dia seperlangkah lagi memasuki kamar.
"Coba jelasin, sebenernya apasih yang ada di pikiran lo?".

"Hah?".

"Gue tadi dapat telepon dari paman Aslam. Orangnya tanya kenapa lo mulangin mobil lo. Ya jelas gue ga nyaman lah. Kalo lo ada apa apa, gue juga yang disalahin ntar"

AffiliareTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang