20. Membangun Keyakinan

5.2K 414 12
                                    

Kania Farzana

Aku berdiri menatap jendela kaca di dalam kamar Papa. Memandang lurus taman bunga yang tidak kunikmati pemandangannya sama sekali. Lantas melihat Papa yang terbaring lemah dengan alat alat penunjang kehidupannya.

Ingin sekali aku menghampiri Papa, memeluknya dan bercerita atas apa saja yang kurasakan. Saling menautkan jari. Merasakan usapan tangan Papa dikepalaku. Mendengar seluruh nasehat bijak penyemangat hidupku yang biasanya menjadi solusi dari semua permasalahan. Ya Tuhan... jangankan meminta solusi. Aku bahkan tidak tega, hanya untuk menjelaskan bagaimana aku sekarang. Just to tell about my messy life. Truly messy life.

"Ikatan pernikahan bukan main main Tom. Dan aku akan berusaha mempertahankannya". Gumamku dalam hati sambil mencengkeram erat gordyn jendela berwarna cream.

"Mbak Nana..." panggilan Papa membuyarkan lamunanku. Aku mendekat dan duduk di sisi ranjang papa.

"Iya pa".

"Enak sekali". Gumam Papa sambil memejamkan matanya menikmati pijatanku di kakinya Papa.

"Bagaimana kabar Tomi? Kalian baik baik saja kan?

Pertanyaan yang sudah aku prediksi sebelumnya. Papa pasti mengira ngira aku ada apa apa dengan Tomi saat tahu kalau aku mengembalikan Audi ku dirumah putih ini. Dan sayangnya, perkiraan Papa itu benar.

"Calm down, sayang. Papa ga bermaksud ikut campur urusanmu dengan suamimu". Kelakar Papa dengan suaranya yang parau ketika mengetahui ekspresiku yang mungkin menegang.

I have to say that i'm fine. Aku tidak ingin menambah beban pikiran Papa.
"Tidak ada apa apa Papa. Kan Nana sekarang sudah punya suami, ada yang ngantar. Jadi, mobilnya Nana jarang dipakai. Daripada menuhin garasinya mas Tomi, lebih baik Nana kembaliin ke sini. Barangkali kak Nanda butuh pas mobilnya masuk bengkel. Kalau kak Nanda mau modif interiornya juga Nana malah tambah senang".

"Kamu ini bisa aja". Papa tertawa pelan, menunjukkan gigi putihnya. Wajahnya kini semakin tirus yang diiringi dengan badannya yang semakin kurus. Guratan kerut di wajahnya makin terlihat di sebalik senyumnya. Ya Tuhan. Kini tinggal satu. I have to look after it the best way. I repeat. With the best way.

Aku memeriksa cairan infus yang tersambung dengan selang yang tertempel di tangan Papa. Lalu mengganti selang oksigen berwarna bening yang terpasang dihidung Papa dengan selang baru. Aku mengernyitkan kening.

"Pa, suster Novi ada kah?. Sepertinya Nana harus bicara sama suster Novi. Perasaan baru kemarin Nana ganti cairan infusnya. Sekarang kok di ganti lagi". Ucapku sambil memeriksa plastik tabung berisi cairan bening di ujung tiang yang berdiri di samping ranjang Papa.

Papa yang tiba tiba terdiam dengan tatapan kosong seperti ini membuatku merasa aneh. Aku duduk kembali di sisi ranjang papa. Menautkan jari jariku di sela sela jari jari besar milik Papa. Yang sudah jadi kebiasaanku sejak kecil. Aku memasang senyum terbaikku.

"Kalau suster novi kesini, Papa nanti bilang ya kalau cairannya ga perlu diganti. Nanti Nana telepon suster Novi sendiri deh buat mastiin. Oke pa?". Pertanyaanku dijawab papa dengan anggukan kepala.

"Na"

"Hmm?"

"Papa tahu apa alasan kamu menerima pinangan Tomi. Dan apa saja isi perjanjian itu"

"P... Pa.. Papa t..tahu darimana?". Mendadak aku menjadi orang gagu. Gimana nggak, mati matian aku dan Tomi merahasiakan ini dari Papa. Sejak lima bulan yang lalu kita merencanakan permainan ini dan ga memperhitungkan sama sekali kalau Papa bakal dengan mudahnya mengetahui rahasia kita.

AffiliareTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang