8. Rumah Duka (Revisi)

5.8K 506 5
                                    


Tomi Mahardhika

"Nak, yang sabar. Ayah Shahid itu orang baik. Sekarang sudah istirahat tenang. Ga perlu mikirin banyak hal lagi". Kini Bibi Haina menangkup wajah gue begitu nyampe dirumah ini sambil tergopoh-gopoh. Lantas ngasih gue Buku Yasin berukuran kecil ke tangan gue. Beliau dateng bersama beberapa House staff di rumah Paman Gandhi. Sementara Paman Aslam yang dari semalem sibuk ngurus pemulangan jenazahnya Ayah, tetap disini bersama gue. Dan ga pernah jauh dari gue.

"Terimakasih ya Bi."

"Kania udah kesini?"

"Sudah. Lagi nenangin Ashila dikamar". Bibi Haina meraih wajah gue dan mengusapnya, mirip sama apa yang dilakuin Ibu dulu. Meski ga ada ikatan keluarga, keluarga Gandhi lebih dari segalanya.

"Mari kita mulai prosesinya Tom. Biar paman bantu kamu sama mas Irwan buat mandiin. Setelah itu kita sholat jenazah". Gue mengangguk mendengar instruksi Paman Aslam.

Semua keluarga paman Gandhi sampe para ajudannya datang semua ke rumah. Bener kata Ayah, disaat-saat paling menyedihkan kayak gini, keluarga Gandhi yang paling cepat bergerak.

Kini, gue ikut menyalami ratusan tamu yang ikut berduka atas kepergian Ayah. Saking banyaknya, gue ga tahu berapa kelompok pelayat ikut sholat jenazah yang dilakukan berkali kali. Jangan tanya, keluarga gue dari pihak ayah atau ibu datang atau enggak. Kakak dari Ibu udah meninggal, anaknya tinggal di Jepang. Sementara Ayah ga punya saudara sama sekali.

God, thank you, gue masih punya orang-orang baik disekitar gue. Paman Aslam dan para pekerja rumah, masih khusyuk dengan segala macam prosesinya. Bibi Haina bahkan ga sekalipun menjauh dari gue sama mas Irwan. Sesekali memastikan Mbak Sekar -istri Mas Irwan- yang terisak di ruang keluarga masih sehat-sehat saja. Dan yaa, jangan lupain Kania, dia bisa banget gue andelin buat jagain Ashila yang sejak tadi pingsan. Bahkan saat gue dalam kondisi hancur kayak gini, mereka masih sangat peduliin keluarga gue.

Ga lama kemudian, Nanda dateng diikuti beberapa staff nya.

"Turut berduka cita ya Tom." Ucapnya sambil memeluk gue.

"Thanks."

"By the way, semua kemegahan ini, dekorasi bunga, foto besar, buat apa sih semua ini?" Tanya Nanda dengan suara pelan ditelinga gue. Orang ini emang hobi banget bikin gue emosi.

"Oh, masalah buat lo? Kalau lo mau, kita bisa pasang foto lo sekarang juga disamping makam". Jawab gue enteng. Narayan yang ada di sebelah kanan gue tersenyum puas denger jawaban gue.

"Kayaknya polisi ga bisa jaga kalian berdua dengan cukup baik". Mulutnya Nanda ini kayak korek api yang ditaruh deket kompor. Kini Nanda menyalami tangan gue. Lebih tepatnya sih, ngeremes tangan gue. Ya Tuhan... Apa sih yang dipengenin sama satu orang ini.

"Nanda, please. Jangan sekarang kalau nyari gara-gara". Ucapku dengan tenang.

"Sudah cukup sandiwara lo ini Tomi, rencana lo udah kebongkar. Saatnya berhenti sekarang demi kebaikan lo sendiri". Nanda ngucapin kalimat racunnya di dekat telinga gue dengan pelan banget.

"Apa yang baik buat kami, dan apa yang enggak, itu urusan kami, Nanda. Dan bukan urusan lo. Ada saatnya nanti, lo juga bakal tahu, rakyat memilih siapa". Ucapan gue yang mengacuhkan Nanda, pada akhirnya bikin dia naik pitam seketika. Bahkan gue bisa ngerasain pergerakan tangannya yang kayaknya pengen ngasih gue bogeman mentah. Gue pasrah. Pukul, pukul aja. Pikiran gue saat ini lagi kacau.

"Ayo Nanda, kesana sama pelayat yang lain. Silahkan". Paman Aslam akhirnya turun tangan dengan ngajak Nanda beralih ke tempat para pelayat yang lain ngaji.

Thank God, Paman Aslam datang membantu disaat yang tepat.





******

Happy reading, folks
Best Regards,

Kavya Amaira

AffiliareTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang