52. Not Only Your Ex !

4K 466 45
                                    


Kania Farzana

" ... soalnya aku mau ngurus kelengkapan syarat pencalonan Pa". Kakiku terhenti didepan pintu kamar Papa, pas suaranya Kak Nanda kedenger samar samar ditelingaku.

"Iya. Papa tahu." Disusul dengan suara Papa yang seolah terdengar kalau lagi menahan sabar. "Tapi kamu harus izin dulu sama adikmu. Penentuan nama ahli waris ga bisa cepet, kak." Ya Tuhan, apalagi sih yang dilakuin sama Kak Nanda soal warisan.

Tanpa permisi, aku langsung berjalan memasuki kamar Papa. Lalu mendekat ke Kak Nanda yang sibuk memegang map biru. Map yang sedari tadi disodorin ke Papa. Pandangan kak Nanda menatapku tajam seolah aku sedang memergokinya. Sebenernya aku muak dengan hal ini. Bertahun tahun mencoba ga peduli dengan urusan harta dan segala remeh temehnya. Tapi ini ga bisa bisa dibiarin saat lama kelamaan Kak Nanda seperti berusaha memanfaatkan Papa yang lemah. Bahkan sampai membujuk paman Aslam sama Bibi Haina biar memperpanjang visa umrohnya. Semua rencananya dilakukan. Ga ada tujuan yang lain, selain demi ngedapetin dana kampanye.

"Kakak ngapain nyuruh Papa tanda tangan warisan?" Serobotku sekenanya. Yang ternyata pertanyaanku ga mendapat balasan dari Kak Nanda maupun Papa.

Kini pandanganku justru mengarah ke map biru yang dipegang Kak Nanda. "Mana surat surat pengajuannya. Nana pengen tahu mana bukti total kekayaan pribadi punya kakak."

Kak Nanda menggerakkan tangannya dengan kasar, buat melepas tanganku yang berusaha meraih map biru itu.
"Apa sih Na. Lo ga harus tahu semua urusan gue, dek. Udah ya, gue pergi dulu. Gue ada banyak kerjaan di kantor." Kak Nanda melengos. Mencoba menjauh dari aku dan Papa.

Tapi dengan gerakan cepat, aku memegang lengan tangan kak Nanda. Berniat menahannya. Lantas merebut map biru itu dari tangan kak Nanda. Sebelum Kak Nanda benar benar pergi dan susah buat ditemuin.

Aku membaca kertas dengan tabel berisi total kekayaannya. Aku membuka lagi kertas dibawahnya, karena ternyata file yang kupegang ini mungkin berisi belasan halaman. But, I have to say 'thank God' because my brain can read very well in seconds.

Dan mataku tertahan saat membaca halaman yang ke tujuh. Semua sistem kerja otakku seperti ga bisa dibuat berpikir, kenapa kak Nanda kayak ga punya empati sama sekali.
"Sorry... kakak ngakuin hak milik rumah ini sepenuhnya?" Tanyaku saat aku menjumpai tulisan rumah putih yang masih menjadi hak milik Papa ini ada dalam tabel jaminan.

"Loh, iya kan. Dulu pembagiannya seperti itu kan?"

"Tapi ga sampai seluruhnya... Ya Tuhan". Aku memijit keningku. Berusaha menata kalimat ditengah tengah emosiku yang memuncak. "Kak, Nana ga bodoh soal ini. Kalau terjadi sesuatu, kakak bangkrut karena semua modal udah dikeluarin buat kampanye, terus kakak mau jadiin rumah ini jaminan? Kenapa kakak ga pernah mikirin Paman Aslam sama Bibi Haina bakal tinggal dimana nantinya?"

"Ga usah worry, Na. Dana di Partai Pembangunan sangat cukup buat biayain kampanye. Ya beda sih sama PHI." Mulai lagi deh Kak Nanda ini. Kenapa ujung ujungnya jadi nyindir aku sama Tomi. Yaa seharusnya aku juga sadar, hampir 29 tahun aku hidup sama Kak Nanda dan emang begitu sifatnya.

Aku menarik nafas panjang panjang. Berusaha menambah kadar sabar. "Atau... jangan jangan... lo emang doain gue gagal?"

"Kenapa kak Nanda jadi punya pikiran buruk ke Nana? Ini buat ngurangin resiko ke banyak pihak, Kak. Politik itu ga pasti. Sementara disini masih ada Papa, Paman, sama Bibi. Juga istri kakak nantinya. Kak Nanda masih bisa jadiin perusahaan Papa yang lain buat jaminan. Tapi jangan rumah ini!" Aku memuntahkan emosiku yang sudah memenuhi ubun ubun.

"Na, dari Mama ga ada, pembagiannya kan udah jelas kalau rumah ini buat gue. Kalau lo ga dukung gue, as your brother, please jangan ikut ikutan Tomi ngehalangin gue buat pemilihan Perdana Menteri. Gue udah muak sama suami lo yang..."

AffiliareTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang