24. Controlling for Money

7.5K 494 30
                                    


Tomi Mahardhika

Setelah yakin dengan baju dan tatanan rambut gue, gue keluar kamar menuju ruang makan yang tersambung langsung sama dapur. Terdengar Kania yang setengah berteriak saat sibuk berbicara dengan handphonenya yang dia letakkan di sisi kitchen set kosong - yang menurutnya aman-. Sebenernya gue khawatir melihat dia serepot ini memasak bersama bi Ninuk saat dia harus mendapatkan istirahat yang cukup. Tapi gue tahu, hanya istirahat dirumah selama seminggu, cukup bikin Kania merasa bosan. Karena orang dengan tipe yang ga bisa diem seperti Kania, bakal selalu mencari cari sesuatu yang bisa dia kerjain.

"Iya Je, gue pesen sepuluh. Kirim ntar sore kalau bisa ya. Soalnya ntar siang gue kudu control ke dokter Doddy".

"Gila lo Na. Inget usus woi!. Ini makanan pedes. Lo baru sembuh dari sakit. Gue yang jual, tapi gue juga yang khawatir kalo lo makan sebanyak itu". Ya Tuhan, suara perempuan yang muncul dari handphonenya Kania kedenger kenceng banget.

"Lo ga inget berapa orang di rumah gue? Ya kali gue makan sendirian".

"Oh iya, sorry gue lupa. Oke siap bos".

Sesaat kemudian, Kania mengaduk sesuatu didalam wadah panci dan membawanya mendekat ke handphonenya. Sepertinya mau ngobrolin hal penting.
"Ohya, yang tiga tanpa jamur ya. Ganti aja sama pakcoy atau sayur yang lainnya, terserah lo".

"Lah kenapa?"

"Ga tau gue. Laki gue kayaknya ga suka jamur deh. Tiap kali makan jamur disisihin gitu aja". And my head like flying in the sky setelah mendengar penuturan Kania. Seperhatian itu dia selama ini sama gue. Gue ga pernah bilang bahwa gue alergi jamur, tapi dia sensitif dengan hal seperti itu. Dan... apa itu sebutan "laki gue". Ga tau kenapa gue bangga banget, asli. Ya gimana yaa, sekian tahun gue cuman bisa dengerin dua kata itu dari Veronica kalau pas lagi menyebut Narayan, dan gue cuma bisa mendengar serta menatap mereka berdua dengan perasaan iri. Akhirnya sekarang gue yang disebut. Agak cheesy sebenarnya. Tapi ya udahlah ya. Maklumin karena gue lagi seneng.

"Berarti yang tiga tanpa jamur. Yang tujuh biasa ya?". Kania meng-iya-kan lantas mendekat lagi ke wajan penggorengan.

"Siap bos". Lagi lagi suara cempreng itu terdengar sampai telinga gue.

"Dah dulu ya Je. Bye".

"Bye Nana. Miss you. Istirahat dulu. Gausah buru buru masuk".

"Iya bawel. Miss you too, Jeje". Gue menyunggingkan senyum mendengar pembicaraan kedua sahabat itu.

Ga lama kemudian, semua makanan sudah tertata rapi di meja makan. Ga bisa gue sebutin satu satu sih. Kaum laki laki mana pernah memusingkan nama nama makanan. Yang penting kenyang.

"Telepon dari Jeje?". Tanya gue saat Kania ngambilin nasi ke piring gue. Kania meng-iya-kan pertanyaan gue saat hendak memilih mangkuk yang berisi lauk.

"Mau lauk apa?".

Pertanyaan Kania bikin gue langsung mengabsen beberapa makanan diatas meja. Lantas memilih salah satu mangkuk yang berisi ayam dengan kuahnya yang penuh.
"Gue ayam aja. Ini kare kan?". Kania menjawab pertanyaan gue dengan mengambil ayam beserta kuahnya ke mangkuk kecil yang ada di depan.

"Udah?". Tanyanya kembali memastikan gue merasa cukup.

"Ga pake sayur dong jadinya". Ucapnya pelan seperti ragu ragu. Bukan gue ga suka sayur. Makanan apapun bakal gue makan selama gue masih bisa mengimbangi kebutuhan kalori gue dengan olahraga. Cuman yaa belasan tahun tinggal di Amerika dengan menu sarapan yang simple seperti pancake atau scramble egg, bikin gue harus membutuhkan waktu untuk mengadaptasikan lidah kembali buat makan makanan berat, semacam kare ayam. "Tambah sayur gapapa ya?". Tanyanya dengan ekspresi yang ragu ragu.

AffiliareTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang