53. Revenge

4.8K 530 81
                                    


Kania Farzana

"... ya gitu mbak. Astaga. Arya itu benar benar copyannya Narayan." Ucap Papa yang terkekeh saat nyeritain Arya yang kemarin kesini sama Kak Vero. Sementara aku mendorong kursi roda yang dipakai Papa sampai mendekat ke ranjang. Lantas membantunya buat berbaring diatas ranjangnya.

Aku memijat tengkuk dan leherku dengan tanganku sendiri, lantas gerakin kepala ke samping kanan dan kiri. Bukan aku capek karena mengurus Papa. Perjalanan dari apartemenku ke GM, terus kerumah ini, jaraknya bisa dibilang lumayan. Ga bisa bayangin lagi kalau aku setiap hari bakalan menyibukkan diri di jalan. Lebih tepatnya aku bakalan tua di jalan. Selain jaraknya yang lumayan, macetnya juga kayak ga ada habisnya. Yang biasanya perjalanan dari rumah ke GM cuma sekitar 15-20 menit, sekarang jadi 40 menit. Dan bisa lebih dari satu jam kalau macetnya parah.

"Pa, minum obat dulu ya. Terus tidur." Papa mengiyakan instruksiku saat aku sibuk dengan obat obatan milik Papa.

Beberapa saat kemudian setelah Papa selesai dengan rutinitas minum obatnya, aku meletakkan tubuhku dikursi yang empuk sambil nyenderin punggungku yang makin kerasa kaku. Aku merogoh kantong tas buat ngambil handphone. Ada waktu sedikit buat nyicil pekerjaan, ngejawab pertanyaan pasien yang udah menuhin Direct Message di aplikasi Grand Medika.

Selesai dengan semuanya, aku meletakkan bantal kursi ke belakang punggungku buat meredam pegal. Aku memejamkan mata. Tadinya aku mau balik ke apartemen, ngambil barang barangku yang semalem kutinggal disana. Biar besoknya kubawa pulang kesini. Tinggal disini akan jauh lebih baik daripada aku sendirian dan bikin kadar mental illness ku makin parah. Tapi ujungnya kuurungkan, karena rasanya aku udah ga sanggup nyetir mobil sejauh itu. Mungkin besok.

"Mbak Nana tidur sini?" Pertanyaan Papa bikin aku membuka mata.

"Iya. Boleh kan Pa?"

"Sini. Tiduran samping Papa." Aku langsung mendekat ke Papa setelah mendengar instruksinya.

Aku meletakkan tubuhku disamping Papa. Tenggelam didadanya seperti kebiasaanku waktu kecil.
"Anak papa, kenapa ini? Kok mendadak manja? Hm?"

"Enggak iih, kata siapa. Nana kan anak papa yang paling dewasa." Jawabku sambil memasang senyum genit seperti saat aku masih kecil.

"Kamu kalau ngomong gini bikin Papa jadi inget pas kamu kecil dulu. Pake sepatu pantofel sama snelli punya mama. Terus bawa stetoskop kemana mana. Bilang gini 'Nana udah gede, Papa'. Dengan terpaksa Papa ngeiyain kamu, mbak. Padahal sepatu sama snellinya kebesaran. Bikin mama bingung kalau mau berangkat ke rumah sakit." Papa terkekeh mengingat sifatku yang sok dewasa bahkan saat aku masih kecil. Suka berakting jadi dokter dengan pasiennya adalah kucing.

Papa menoleh kearahku, mengusap puncak kepalaku. Melanjutkan pertanyaannya.
"Suami kamu mana? Kok ga ikut kesini?" Apa yang bisa kujawab? Ga mungkin aku bilang alasan yang sebenernya.

"Mas Tomi jam segini biasanya masih dikantor. Akhir akhir dia tambah sibuk." Kebohongan pertama meluncur dari mulutku.

"Pantesan. Papa lihat diberita, elektabilitasnya makin tinggi." Papa tersenyum, senyum yang terakhir kali kulihat saat aku disumpah dokter selesai melewati rangkaian ujian PPDS. Senyum bangga yang jarang kulihat, dan sekarang bisa kutemui lagi. "Tapi mbak, kamu sama Tomi baik baik aja kan?" Aku ga tau, kenapa Papa tiba tiba memberondongku dengan pertanyaan yang susah buat ku jawab.

"Baik kok Pa, kita sehat." Aku mengulas senyum terbaikku. Sambil mengamini bahwa aku dan Tomi akan baik baik saja. "Nana cuma lagi kangen sama Papa. Kangen juga sama masakannya Bi Sari."

"Sini sini, manja banget ini anak papa..." Papa meraih kepalaku dan mencium puncak kepalaku. Yang akhirnya membuat aku melting semelting meltingnya. He is my first love, and the first love is a pure feeling, without demanding.

AffiliareTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang