19. Big wrong

4.8K 372 5
                                    

Tomi Mahardhika

Gue fokus membaca seluruh profil beberapa orang yang akan menjadi kandidat calon legislatif juga eksekutif. Karena gue ga boleh gegabah dan sembarangan dalam nentuin hal ini. Meski akan dibahas pada rabes minggu depan, setidaknya gue harus mulai mencari bahan bahasan tentang track record para calon kandidat dalam perpolitikan. Ini penting, karena betapapun loyalnya seorang politisi kepada partainya, track record adalah hal mudah yang dinilai langsung oleh rakyat. Itu sangat mempengaruhi popularitas dan elektabilitas calon.

Kini gue beranjak menuju buku kaderisasi partai pembangunan setebal 10 cm yang disimpan baik baik oleh ayah di almari. Kemungkinan besar, strategi yang dirumusin Ayah dan papa Gandhi saat masih di Partai Pembangunan dulu bisa gue adopsi di PHI.

"Tomi!! Kenapa lo jahat sama gue?!". Gue kaget ketika tiba tiba Kania masuk sambil berteriak ngeluapin marahnya.

"Ada apa kok ribut ribut, Kania?"

"Seharusnya saya yang tanya kepada anda, Tuan Tomi yang terhormat!!. Apa salah gue ke lo sampai lo sebegini teganya ngancurin kehidupan gue, hah??!".

"Lo ngomong apa Kania? Gue ga paham. Bisa ngomong lebih jelas lagi?". Gue nyipitin mata, heran ngelihat wanita bar bar yang berkelakuan aneh, menyerobot masuk ke ruang kerja gue tanpa permisi dengan sopan.

Tapi sepertinya marahnya Kania sudah diujung ubun ubun. Gue bisa mendengar deru nafasnya yang tergesa gesa.
"Lo tahu?". Ucapnya dengan suara yang lebih pelan dari tadi. "Selama ini, bahkan dari kita kecil, gue selalu nganggep lo adalah orang baik yang bisa gue contoh. Semuanya. Dari sekolah, pemikiran, sampai gaya hidup. Tapi kenyataannya gue salah. Selama ini gue salah karena milih lo jadi panutan gue. Karena lo sekarang bukan Tomi yang gue kenal dulu".

"Gue ga habis pikir ada setan apa dalam diri lo sampe lo segitu berambisinya sama karir politik. Lo tega manfaatin paman Aslam demi bisa bantuin lo diriin partai. Lo tega manfaatin gue demi bisa bikin partai lewat Bank Pratama. Bahkan, lo tega mengotori pernikahan kita dengan bilang kalo lo ingin berbakti sama ayah Shahid. Lo licik!! Lo nikah buat dapetin tandatangan gue biar Bank Pratama bisa lo kuasai kan?. Lo sadar ga kalo lo bukan cuma mempermainkan pernikahan Tom?! tapi Tuhan, Tom!!. Tuhan!!". Dadanya naik turun dengan kasar seperti mati matian berusaha nenangin emosinya.

"Bagi gue, lo ga sekedar jahat Tom. Tapi lebih dari itu!!".

"Lo ga akan mengerti, Kania". Jawab gue setenang mungkin yang dia balas dengan langsung pergi dan diiringi oleh isakan tangisnya.

Jika kalimat bijak mengatakan, hati hati dengan marahnya orang yang sabar, itu berarti kita sudah membuat kesalahan yang sangat besar.

Kini, gue terduduk dikursi. Terdiam memandang langit langit ruang kerja yang lengang. Hanya ada tumpukan buku dan folder yang saling berjejer di depanku. Nafas gue masih sedikit tercekat ketika tahu tahu Kania datang meluapkan marahnya. Gue ga nyangka jika marahnya Kania akan seperti ini. Sial. Seumur hidup gue, ga ada satu orangpun yang berani ngingetin gue soal Tuhan. Karena bagi gue, urusan Tuhan adalah urusan pribadi gue. Tapi apa yang dilakuin Kania tadi benar juga. Enggak seharusnya aku sejauh ini ikut campur masalah politik.

Tapi... nasi sudah menjadi bubur. Semua sedang berjalan dan ga bisa dihentikan. Termasuk rencana pernikahan gue dengan Kania yang akan segera berakhir. Who cares?. Politik akan tetap menjadi persoalan gue sampai gue dapetin apa yang gue tuju.

******

Kania Farzana

Seperti setengah dari sesak yang memenuhi paru paru berhasil hilang setelah aku puas marah marah di depan Tomi. Aku meraih botol minum yang kuletakkan di atas nakas. Lalu menenggak airnya sampai tidak tersisa.

AffiliareTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang