***
Jiyong membenci Lisa? Tidak, Jiyong tidak membenci gadis itu, Jiyong hanya tidak menyukai Lisa dan ia tidak tahu bagaimana cara yang tepat untuk menggambarkan rasa tidak sukanya itu. Masih di mobil yang sama, masih di jalanan yang sama juga, kini keduanya terdiam. Lisa bersandar pada pintu mobil, sedang Jiyong hanya duduk diam di tempatnya, memandangi kuku-kukunya yang rusak karena terlalu sering ia gigiti– ketika ia sendirian.
"Tidak nyaman," ucap Jiyong kemudian, memecah keheningan dan membatalkan niatan Lisa untuk masuk ke dalam mimpinya. "Aku tidak bisa memahamimu. Aku tidak mengerti kenapa kau tega melukai orang lain hanya karena kau menyukaiku,"
"Kau tidak menyukainya?"
"Aku tidak berniat untuk mengkritik, tapi aku benar-benar tidak bisa memahamimu. Cinta sepihak tidak hanya berat bagi yang merasakannya, itu juga berat untukku. Perasaanmu membuatku terganggu, sikapmu membuatku merasa sangat tidak nyaman. Kenapa kau terus mengikutiku? Aku tidak bisa memahaminya. Apa kau tidak punya kegiatan lain? Aku penasaran tapi-" Jiyong terdiam, menjeda ucapannya dengan sebuah tarikan nafas yang terdengar begitu jelas. "Tapi rasa terganggu yang kurasakan jauh lebih besar dari rasa penasaran itu,"
"Tapi oppa menerima perjodohan ini,"
"Aku menerimanya karena memang hanya itu pilihannya. Bukankah kau juga begitu? Kau tahu bagaimana situasinya, kecuali kita mau jadi gelandangan, kita harus setuju untuk menikah,"
"Aku ingin menikah dengan pria yang ku cintai-"
"Kau ingin kita berdua sama-sama diusir dari rumah? Kau siap jadi gadis miskin seperti Jisoo? Atau Luna? Kemudian bertemu orang-orang kejam sepertimu yang mengganggu seorang gadis miskin? Apa kau pernah bertanya kenapa aku selalu marah setiap kali kau mengganggu Luna dan Jisoo?"
"Aku mengganggu Luna, aku mengakuinya. Tapi aku tidak mengganggu Jisoo! Jennie, Rose dan tiga teman sekelasmu itu yang melakukannya!" jerit Lisa, hampir menangis karena pada akhirnya ia tidak tahan jika terus disalah pahami seperti ini.
Jiyong hendak menjawab ucapan Lisa, ia masih memakai otaknya untuk membalas ucapan Lisa, namun supir pribadi keluarga Kwon lebih dulu menginterupsi mereka. Sang supir berucap kalau mereka baru saja tiba di depan pintu utama rumah keluarga Kwon yang luar biasa luas itu.
"Aku tidak mau masuk, antar aku pulang-"
"Kenapa kau selalu bersikap semaumu sendiri? Aku selalu memikirkanmu sebelum melakukan apapun, aku khawatir kau akan dapat masalah karenaku, tapi kau tidak pernah melakukannya untukku-" sinis Jiyong, dengan nada bicara jahatnya yang begitu khas– menusuk sampai ke tulang.
"Apa katamu? Kau memikirkanku sebelum melakukan apapun? Omong kosong! Kau selalu menyakitiku dengan ucapanmu!"
"Apa bedanya denganmu yang selalu membuatku dapat masalah?! Apa kau tidak tahu kalau aku selalu kena marah karena semua kecerobohanmu itu?!" balas Jiyong, tidak kalah keras. "Pergi kalau kau memang ingin pergi! Sialan- antarkan dia pulang!" marah Jiyong yang lantas melangkah pergi– keluar dari mobil itu kemudian masuk ke dalam rumahnya yang mewah.
Sang supir pribadi kembali menginjak gas mobilnya tepat setelah si tuan muda menghilang di balik pintu depan, pria paruh baya itu bicara pada Lisa dengan sangat lembut– memberitahu Lisa kalau mereka akan berangkat menuju rumah keluarga Manoban– namun Lisa mengabaikannya. Ia masih terlalu kesal untuk sekedar membalas tutur lembut sang supir.
Hampir sekitar 5 menit mobil itu melaju menjauhi kediaman keluarga Kwon dan Lisa baru membuka mulutnya. "Bedebah sialan itu benar-benar menyebalkan! Ahjussi! Ayo kembali ke rumah Jiyong oppa! Aku harus memukulnya! Aku benar-benar kesal sekarang!" perintah Lisa dengan suara bergetar. "Datang bulan ini sudah menyakitiku dan dia masih tega menghancurkanku! Benar-benar jahat! Pria jahat!" keluh Lisa sementara si supir berusaha keras untuk tetap tenang. Berada di antara dua anak-anak yang sedang bertengkar pasti sangat melelahkan untuknya.
Setibanya di rumah Jiyong, langkah kesal Lisa justru harus ia tahan. Gadis itu terdiam di lantai satu rumah Jiyong, berdiri kaku di tempatnya karena untuk pertama kalinya, ia melihat Jiyong tengah dibentak oleh ayahnya di ujung tangga lantai dua. Dari posisinya, Lisa bisa menduga kalau Jiyong akan pergi masuk ke dalam kamarnya, sedang sang ayah mengekorinya. "Ya! Kwon Jiyong! Kau bukan lagi anak kecil! Kau yang lebih tua dari Lisa! Sudah tugasmu untuk menenangkannya kalau dia marah! Sudah bukan saatnya kau bersikap kekanakan seperti ini!"
"Appa! Berhenti! Siapa anakmu sebenarnya?! Aku atau Lisa?! Kenapa kau selalu memarahiku setiap kali dia berulah?! Bukan aku yang menyuruhnya pulang! Dia yang ingin pergi!" balas Jiyong, masih sembari melangkah menuju kamar tidurnya. Sang ayah juga masih mengikuti putranya, dan Lisa sendiri justru masih berdiri gugup di tempatnya.
"Lisa tunanganmu! Kalau dia melakukan kesalahan, itu tanggung jawabmu karena kalian sudah bertunangan! Apa yang sulit di pahami dari masalah ini?! Kenapa kau selalu melakukan kesalahan yang sama? Berapa kali harus ku katakan kalau Lisa adalah tanggung jawabmu! Bagaimana kau bisa mengambil alih Universitas kalau tidak bertanggung jawab seperti ini?! Augh! Sia-sia aku membesarkanmu!" marah tuan Kwon di susul suara pintu kayu yang dibanting sampai tertutup.
Lisa tidak pernah bermimpi akan ada di situasi seperti itu. Ah jadi ini maksud Jiyong tadi– pikir Lisa yang akhirnya memutuskan untuk kabur, melarikan diri sebelum seseorang melihatnya disana. Seperti anak-anak pada umumnya, Lisa memilih kabur sebelum ia juga di marahi. Namun setibanya di rumah, rasa bersalah tetap membawa Lisa untuk mengirim pesan pada Jiyong– maafkan aku– tulis Lisa dalam pesannya.
"Kenapa dia tidak membalasnya?" gumam Lisa, masih meratapi handphonenya yang tidak kunjung bergetar. Tidak ada satupun pesan masuk setelah ia mengirim pesan pada Jiyong 2 menit lalu. "Aah! Kenapa dia tidak membalas pesanku?! Kejam sekali! Cepat balas pesanku!" rengek Lisa kepada handphonenya yang sama sekali tidak menunjukkan tanda-tanda akan bergetar.
Gadis itu akhirnya tertidur karena menunggu pesan balasan dari Jiyong yang sama sekali tidak datang. Suara alarm yang membangunkan Lisa, akhirnya ikut menyadarkan Lisa kalau Jiyong mengabaikannya bahkan sampai pagi ini. Berkat sebuah pesan singkat yang Jiyong abaikan sampai pagi, hari ini Lisa begitu bersemangat pergi ke sekolah. Karena sebuah rasa bersalah yang menganggunya, pagi ini Lisa meminta asisten rumah tangganya untuk membawakannya bekal. Lisa ingin menyuap Jiyong dengan sekotak bekal– walaupun gadis itu tahu, Jiyong belum tentu sudi menerima bekal darinya.
Di pintu masuk gedung sekolah, Lisa melihat Jiyong dan Seunghyun yang baru saja datang ke sekolah. Kedua pria itu melangkah keluar dari sebuah mobil hitam milik keluarga Choi yang lantas membuat orang-orang berfikir kalau jiyong baru saja menginap di rumah Seunghyun. "Oh! Selamat pagi Lisa!" sapa Seunghyun, sembari melangkah menghampiri Lisa yang sengaja menunggu mereka di pintu masuk gedung.
"Hm... Selamat pagi Seunghyun oppa," balas Lisa yang tersenyum singkat kemudian mengharapkan sapaan dari Jiyong. Dengan sebuah ransel kecil di punggungnya, serta sebuah tas jinjing kecil berisi kotak makan di genggamannya, Lisa berharap Jiyong akan menegurnya. "Oppa, bisa kita-"
"Pergi dari jalanku," sinis Jiyong, mengusir Lisa yang menghalangi jalannya dan dengan kepala tertunduk, Lisa menuruti apa yang Jiyong katakan. Gadis itu menggeser kakinya dan memberi jalan pada Jiyong untuk masuk ke dalam gedung sekolah mereka. Sedang Lisa masih berusaha menahan dirinya agar tidak menjerit kesal disana, beberapa anak tengah berbisik– tentu saja membicarakan Lisa.
"Lihat kan? Lisa tidak pernah keluar dari siklusnya, dia berpura-pura tidak menyukai Jiyong sunbaenim kemudian mengejarnya lagi," bisik Hanbin– satu dari semua orang yang bicara– kepada segerombolan temannya.
"Berisik! Tutup mulutmu!" susul Seunghyun, membentak semua orang yang bergunjing di sekitar mereka. "Lisa-ya, ayo masuk, sebentar lagi kelas akan dimulai," lanjut Seunghyun, yang lantas meraih bahu Lisa dan mengajak gadis itu menjauh dari gerombolan anak-anak yang tengah bergunjing.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Klise
FanfictionKisah si pangeran sekolah yang akhirnya jatuh hati pada si upik abu penerima beasiswa, sudah terlalu klise, bukan begitu? note : terinspirasi dari K-Drama Extraordinary You