Part 20

120 9 0
                                    

Tak seperti biasanya, Gia heran saat mendapati wajah Dean yang gusar. Kedua alis cowok itu bertaut. Kaki panjang yang melangkah santai semakin dekat membuatnya menerka apa yang akan dilakukan Dean. Gia sudah memenuhi kepalanya dengan kosakata yang siap membalas Dean jika melakukan hal diluar dugaan.

Kedua telapak tangan Dean tampak disimpan dalam saku celana, pundaknya yang bergerak ke kanan dan kiri saat berjalan membuatnya semakin terlihat angkuh. Gia bisa melihat otot wajah Dean menegang setelah mereka berhadapan dalam jarak dekat. Tak ada intimidasi di sana. Tatapan datar itu menimbulkan banyak tanya di kepalanya. Bukannya mundur, Gia menggeser tubuhnya hingga jarak keduanya semakin dekat.

Menahan tawa menjadi hal yang sulit bagi Gia saat harus berhadapan dengan Dean. Tapi harga dirinya juga lebih tinggi kalau harus melepaskan tawa saat mata coklat Dean mulai mengerjap. Bulu matanya yang panjang terlihat lucu seperti kartun putri kerajaan yang sering dilihatnya waktu kecil. Dia menyimpannya baik-baik di sudut hati agar Disa tak tertawa. Untuk urusan hati, ternyata menjilat ludah sendiri itu bukan hal yang mudah.

"Galak amat sih," Dean mencebik. "Tenang, aku nggak akan menyiram kakimu pake jus."

Kejadian lima menit yang lalu kembali berkelebat di benaknya. Ada wajah Kashi tergambar jelas disana. Gia melipat kedua tangannya di dada, siap berkonfrontasi. "Cepat katakan! Apa maumu?"

Gia merasakan seseorang menarik bagian belakang bawah kemejanya. Sudah cukup keributan untuk hari ini, Disa berusaha mengajaknya menjauh. Tubuh Disa yang masih gemetar bisa dirasakan Gia dengan posisi tubuh yang hampir menempel. Bukannya mengikuti, Gia malah menepiskan tangan Disa. Matahari menunjukkan kekuatannya membuat kening Disa menjadi semakin basah.

"Udah, Gi. Nggak usah diladeni," Disa menggoyang-goyangkan lengan Gia.

Punggung tangan kiri Gia menyeka sisa cairan di hidungnya menggunakan gumpalan tisu. Dean menatapnya jijik saat terdengar suara keras bersamaan dengan tangannya yang menekan ingus agar napasnya kembali normal. Tatapan Disa yang semakin cemas tak menyurutkan nyalinya.

"Biar Dis, kayaknya dia memang sudah nggak punya malu tiap hari bisanya cuma cari masalah sama cewek?" Tangan Gia memegang lengan Disa dengan lembut sedangkan tatapannya tak bergeser sedikit pun dari wajah Dean.

"Kamu sebenarnya ada masalah apa sama Kashi?" tanya Dean dengan wajah datar, mengabaikan ucapan Gia.

"Nggak tahu, lagian nggak usah ikut campur urusan orang lain kalo kamu nggak bisa menyelesaikan masalahmu sendiri." Tukas Gia agar Dean segera pergi dari hadapannya.

Mendengar nama rivalnya disebut membuat emosi Gia kembali naik naik ke puncak kepala. Hinaan Kashi meninggalkan luka yang sangat dalam. Gia sendiri tidak ingat sejak kapan Kashi mulai membencinya. Dia hanya bisa mengingat, Kashi semakin ketus semenjak hasil ujian semester diumumkan bulan lalu.

Semester kemarin Kashi memang tertinggal satu poin dibawah nilainya. Bertepatan dengan pemilihan kandidat peserta olimpiade matematika untuk mewakili sekolah. Sebenarnya menjadi perserta utama bukanlah keinginan Gia. Tapi dia juga tak bisa menolak kalau Bu Yustin sudah membuat keputusan.

"Nggak ada untungnya aku ikut campur urusanmu!" Protes Dean.

"Trus ngapain kamu kesini?," sembur Gia kesal.

Dean menoleh ke sekitarnya, amarah sudah memenuhi kepalanya lagi. "Jawab saja pertanyaanku tadi!"

"Kamu itu sudah benar-benar seperti ketombe basah ya! Susah dibilangin," Gia mendesah kasar.

"Tinggal jawab saja apa susahnya?" Suara Dean mulai meninggi.

"Kamu itu mau nanya atau mau ngrampok orang sih?" Telunjuk Gia mulai menunjuk ke wajah Dean.

"Aku sudah bilang, NGGAK TAHU!" Gia mengambil napas sebentar. "Tanya saja sama Kashi-mu itu!" Mulutnya mencebik sementara tatapan matanya merendahkan. Gia mengalihkan pandangan, meski tahu Dean mulai kebakaran jenggot. Perutnya kembali bergejolak ingin mengeluarkan isinya, tapi ditahan hingga terasa mengganjal di tenggorokan.

The Zero Point (Completed)Where stories live. Discover now