Part 46

68 5 3
                                    

Dean hanya terpaku menatap punggung Gia yang semakin menjauh. Dia merutuki mulutnya sendiri. Ludah yang sudah dikeluarkan tidak mungkin bisa ditelan lagi. Tangannya meninju ke udara sebelum menggaruk kepalanya sendiri yang tidak gatal. Untuk pertama kalinya dia menyesal dengan apa yang telah dikatakan pada Gia.

Tubuh jangkung itu menghempaskan diri ke kursi. Ditatapnya satu per satu tulisan rapi yang ada di kertas kuning. Memang sudah kumal tapi Dean masih bisa membaca dengan jelas. Teringat kembali tatapan mata Gia yang penuh amarah setiap kali kata-kata pedas meluncur begitu saja dari mulutnya.

Tidak hanya menuliskan rumus di sana, Gia juga menuliskan kata-kata penuh semangat yang diikuti emotikon lucu. Mulai hari ini kata-kata lucu itu tak akan dia dapatkan lagi. Mungkinkah rasa senang dan kehilangan bisa datang di waktu dan dari orang yang sama? Dean mulai menikmati perang batin yang mulai berkecamuk dalam dirinya.

Matanya terpejam membuat sekelilingnya gelap. Dean berusaha melihat ke dalam dirinya sendiri hingga dia merasa jauh dari semuanya. Penyesalan memang selalu datang terlambat, Dean selalu merasa sendiri sementara semua yang ada disekitarnya selalu berusaha merangkulnya. Bahkan penyesalannya yang terlalu dalam justru semakin menjauhkannya dari masa depan yang sudah diperjuangkan.

Baik atau buruk, semua yang terjadi dalam hidup itu sudah ada yang merencanakan, tergantung bagaimana kita menyikapinya. Masa lalu memang tidak pernah diperbaiki, tapi setiap orang punya kesempatan untuk memperbaiki masa depannya.

Ucapan Gia dua hari yang lalu kembali berputar dikepala Dean. Tak ada hari yang mereka lewati tanpa bertengkar, tapi Gia juga tak pernah menyerah memberikan semangat padanya. Saat tubuh Gia sudah hilang dari balik pintu, penyesalan yang dalam mulai menyusup ke dalam dadanya.

Dean menemukan wajah Gia saat membuka kembali gumpalan kertas kecil yang dipegangnya. Deretan gigi putihnya tersusun rapi, membentuk lipatan-lipatan kecil di pipi. Mata Gia yang bulat dan legam memancarkan sinar penuh semangat. Gia seperti tak pernah kehabisan energi meski setiap hari Dean berusaha membuatnya memiliki hari yang buruk.

Ayo Dean, kamu bisa! Kamu tinggal berusaha sedikit lagi.

Tulis Gia pada salah satu kertas. Diam-diam setiap hari Dean menantikan tulisan penyemangat yang akan ditulis Gia untuknya. Dean berhenti melakukan hal-hal aneh yang bisa membuat guru lesnya mengundurkan diri seperti yang pernah dilakukannya dulu. Bukan berarti keduanya sudah akur, hanya saja intensitas pertengkaran mereka setiap hari sudah berkurang.

Jemari Dean lincah membuka satu per satu kertas kuning yang digenggamnya. Matanya terpejam setelah membaca angka, memusatkan pikiran sambil terus melafalkannya. Dua kali dia gagal melafalkan rumus geometri. Saat mengucapkan ketiga kalinya, Dean berhasil mengucapkannya dengan benar. Telapak tangan Dean mengepal di udara, kemudian ditariknya ke bawah.

Dean ingin memberikan kabar gembira ini pada Gia. Jemarinya lincah mengemasi barang-barang. Tiba-tiba tatapan matanya berhenti pada amplop putih. Dean ingat sekali bangku itu yang tadi digunakan Gia untuk duduk.

Terlalu mudah untuk mengeja nama yang tertera di bagian depan amplop. Tertulis nama bapak Gunawan disana. Terdapat logo sekolah lengkap dengan alamat dan no telepon pada amplop bagian atas. Hati Dean tergerak untuk membuka amplop yang sedikit kusut.

Dean kembali menatap kearah pintu yang sudah memisahkan tubuh Gia dari pandangannya. Tidak percaya dengan isi surat yang dibacanya hingga mengulang sampai tiga kali. Pikiran Dean kembali berkecamuk. Penyesalan yang menyusup ke dalam dada menyeretnya menjadi semakin dalam.

Tidak bisa tinggal diam, Dean merasa harus melakukan sesuatu. Apapun itu akan dia pikirkan nanti saat bertemu dengan Gia. Dean terus bergerak berusaha menemukan Gia. Amplop putih dan gumpalan push it masih berada dalam genggamannya. Namun Dean mengurungkan niat saat menyadari dirinya sudah terlambat.

The Zero Point (Completed)Where stories live. Discover now