Part 35

81 4 0
                                    

Matahari sedang bersembunyi di balik awan saat Dean mengendarai motornya. Hujan baru saja reda menyisakan kubangan di jalan basah. Rintik meninggalkan jejak di jaket hitam dan celana abunya. Kecepatan bertambah saat motornya menuju tengah kota. Dia menyingkat jarak dengan mengambil jalur sebelah kiri setelah melihat antrian panjang di lampu merah.

Angin basah menerpa wajah putih Dean, membuat tubuhnya semakin menggigil. Sepanjang jalan dia bertemu sesama pengendara motor yang saling berlomba dengan hujan. Sebuah mobil melaju dengan kencang meninggalkan basah di ujung celananya saat melintas di kubangan. Dean mendengus kesal. Bercak di ujung celananya membuat ujung kakinya semakin kotor.

Pejalan kaki yang berlindung di emperan toko mulai bergerak melawan rintik hujan. Sedangkan beberapa diantara mereka sudah menerobosnya dengan payung. Deretan rumah di sepanjang jalan tampak dingin dan kaku. Sepanjang jalan tampak kelabu, hanya bagian yang terkena lampu rumah saja yang terkena sinar keemasan.

Dean hampir saja menabrak seorang anak lelaki kecil yang tiba-tiba menyeberang jalan. Pedal rem diinjak mendadak, membuat tubuhnya merangsek ke depan. Kaki kirinya berdiri tegak mencegah motor matic-nya jatuh ke kiri. Perasaan lega menyelimuti hatinya setelah memastikan tak ada satu pun yang terluka. Anak lelaki itu sudah berada dalam pelukan sang ibu yang menatap Dean dengan wajah diliputi kecemasan.

"Maaf Bu, saya tidak sengaja." Dean penuh penyesalan, kecerobohannya hampir mencelakai orang lain.

"Oh tidak Mas, anak saya yang tadi kurang hati-hati. Sebenarnya dia sudah disini tapi kembali lari ke seberang karena mainannya terjatuh."

"Anaknya tidak ada yang luka Bu?" tanya Dean sopan.

"Alhamdulillah tidak ada Mas, maaf ya Mas." Berkali-kali sang ibu mencium kening anaknya dan mengeratkan pelukan. "Saya tidak tahu kalo sampai terjadi sesuatu sama anak saya, cuma dia satu-satunya keluarga yang saya miliki." Telapak kanannya terus mengusap bagian punggung anaknya.

"Baik, saya pergi dulu Bu." Tenggorokan Dean terasa kering meski gerimis terus menghantam tubuhnya tanpa ampun.

Wanita paruh baya itu hanya tersenyum membalas anggukan Dean. Dia harus kembali menerobos hujan sebelum tubuhnya benar-benar basah. Wajah itu mengingatkan Dean pada mamanya. Mimik wajah yang sama setiap kali mengetahui Dean melakukan kecerobohan.

Pasti mamanya juga akan sedih kalau sampai terjadi sesuatu padanya. Dean teringat kembali usaha mamanya yang belum juga berhenti mencari guru les privat terbaik untuknya. Tak pernah ada emosi yang terpancar di mata wanita yang paling disayanginya. Dean hanya bisa melihat kecemasan dan kesedihan yang terpancar di mata orang yang sudah merawatnya sejak kecil.

Maafkan Dean, Ma. Dean selalu menyusahkan Mama.

Deretan toko yang sepi sudah mulai terlihat di ujung jalan. Hanya sinar lampu terang yang memberikan kesan toko-toko tampak lebih hidup. Pengendara lebih memilih jalan pintas untuk menghindari macet. Titik-titik besar yang jatuh dari langit membuat tubuhnya semakin menggigil. Namun tak ada sedikit pun niat Dean untuk menghentikan laju motornya.

Bayangan wajah Mama selalu terpampang jelas dibenaknya. Tak ada lelahnya Mama bernegosiasi dengan kepala sekolah agar Dean tak di depak dari sekolah. Sudah hampir setahun, perusahaan papanya selalu menjadi sponsor utama setiap kali sekolah Dean mengadakan acara. Orangtua Dean tidak pernah berhenti berusaha untuk membuat anaknya tidak drop out meski nilainya pas-pasan. Penyesalan bercokol di dalam dada Dean.

Dean mengusap wajah yang basah dengan telapak kirinya. Matanya menangkap pemandangan khas yang selalu bisa ditemui setiap sore. Penjual makanan kaki lima mulai memasang tenda, merapikan tempat jualannya. Sepanjang jalan dengan mudah akan menemui pedagang makanan. Jogja seperti magnet, membuat siapa saja yang pernah tinggal ingin kembali lagi untuk menikmati keindahan kota.

Jogja masih menjadi surganya seniman. Dean mempelajari banyak karya besar di sini. Mungkin ada seribu alasan yang bisa membuatnya pindah dari kota ini, namun dia punya alasan kuat untuk tetap tinggal. Setelah membuat orangtuanya kecewa, apakah dia akan tetap mempertahankan keinginannya?

The Zero Point (Completed)Where stories live. Discover now