Part 25

115 13 0
                                    

"Duh, jangan dong Bu, saya bisa kena marah Mama." Dean berusaha menahan langkah Yustin. Dia yakin negosiasinya kali ini akan berhasil. Sementara sudut matanya menangkap tawa Gia yang hampir meledak. Kompak sekali dengan sahabatnya, Disa juga iku menahan tawanya.

"Takut saja tanpa melakukan apapun tidak akan banyak membantu nilaimu, Dean." Yustin mengangkat kedua alisnya.

"Saya juga tidak sanggup menjadi guru matematika dia, Bu." Celetuk Gia.

"Oh, tidak apa-apa. Saya akan sampaikan lagi ke Pak Andre sebelum beliau mengusulkan ke Kepala Sekolah. Kebetulan saya sudah telepon dan beliau sudah setuju dengan ide saya," jelasnya. Ketiga murid Yustin membelalakkan mata. Tak menyangka perkembangannya bisa secepat itu, bahkan siswanya belum menyetujui.

"Kami kan belum sepakat Bu," protes Dean.

"Maksud saya tadi untuk sounding saja dulu ke Pak Andre sambil menunggu keputusan dari kalian."

"Tapi kami harus mempertimbangkan dulu Bu," Gia mulai membela diri.

"Kalian bisa mencobanya dulu selama satu minggu, kalau memang tidak ada perubahan kalian bisa membatalkan. Terserah kalian masih peduli atau nggak dengan nilai kalian sendiri," hanya Disa yang tersenyum dengan keputusan Yustin.

Gia hanya membalas dengan senyum getir. Pikirannya menari-nari membayangkan seminggu ke depan yang harus berkutat dengan Dean setiap hari. "Saya harus belajar untuk mempersiapkan olimpiade Matematika, Bu." Gia masih berusaha menyanggah.

"Kamu bisa memberikan les sambil belajar, Gia." Yustin menatap Gia dari balik kacamatanya yang melorot. "Mata pelajarannya sama kan? Nanti akan saya bantu mengatur materi pelajarannya."

Gia gagal lagi saat mencoba mencari celah untuk melepaskan diri dari Dean. Syaraf di kepalanya bekerja sangat keras berusaha menemukan cara agar tidak berurusan dengan Dean lagi. Hatinya sudah cukup sakit dengan ucapan Dean yang sudah di luar batas. Dia tak yakin bisa belajar dengan maksimal jika lebih sering ribut dengan Dean. Belum lagi ada masalah lain yang harus segera diselesaikan juga.

"Tapi Bu...Ibu tahu kan dia susah diatur?" Jemari Gia menunjuk cowok di sebelah kanannya.

"Apa kamu bilang?" Dean nyolot.

"Loh memang kenyataannya begitu kok." Gia tak mau argumennya dimentahkan begitu saja.

"Sssttt...sudah sudah, kalian ini kerjaannya bertengkar terus." Yustin mengambil napas dalam dan mengeluarkan dari mulut sampai membuat mulutnya mengembung kecil. "Kalian ini kenapa, sih?"

"Dia tuh yang mulai, Bu." Gia mengedikkan dagunya ke arah Dean.

"Bukan Bu, dia yang suka mencari masalah." Dean kembali menunjuk ke arah Gia.

"Pusing saya lihat kalian ribut setiap hari." Yustin menggelengkan kepala. "Jadi gimana? Kalian tidak jadi belajar bareng?" Yustin menatap Gia dan Dean secara bergantian. Dia melanjutkan setelah siswanya tidak menunjukkan respon yang diharapkan, "Oke, nggak apa-apa kalo nggak mau. Dean saya tunggu surat pernyataannya. Gia, silakan menghadap Pak Andre sendiri." Yustin memutar tubuhnya untuk melangkah ke dalam kelas.

"Jangan, Bu." Dean dan Gia kembali menjawab dengan bersamaan. Tak lama kemudian keduanya menjadi saling tatap. Kebencian masih terpancar di mata keduanya.

Disa hanya menenggelamkan wajahnya ke lantai, sesekali bibirnya meringis. Kepala Yustin kembali menggeleng, "Kalian ini maunya apa sih?" Yustin membetulkan kaca matanya yang semakin turun ke hidung. "Udah gini saja..." Hening selama beberapa saat membuat tiga pemilik seragam abu-abu saling berspekulasi.

Otot wajah Gia terasa menegang, keringat dingin mengalir di pelipisnya. Pendengarannya menunggu kemungkinan-kemungkinan yang akan membuat hidupnya menjadi semakin pahit. Gadis itu bisa merasakan sahabat yang sedang berada di sampingnya juga ikut menunggu kalimat Yustin berikutnya dengan hati berdebar. Keputusan Yustin tidak hanya menentukan nasib Gia. Tapi juga akan menentukan seberapa lama Disa akan menjadi tong sampah Gia selama harus bekerjasama dengan Dean.

 "Kalian bisa mencobanya dulu selama satu minggu, nanti saya akan bicarakan lagi dengan Pak Andre dan Kepala Sekolah. Gia, kamu bisa bilang ke Ibu kalau Dean membuat masalah sama kamu." Yustin menatap jam yang melingkar di lengan kirinya. "Saya harus masuk kelas sekarang."

The Zero Point (Completed)Where stories live. Discover now