Part 55

73 2 0
                                    

Disa : Gi, udah ngerjain PR matematika?

Dalam sekejap bunga-bunga yang tadi memenuhi kepala Gia layu begitu saja. Hatinya kembali pupus. Sepertinya Jae memang berniat menghilang dari kehidupannya. Dugaan Gia, ada sesuatu yang terjadi antara Jae dan Dean semakin kuat. Jempol Gia menemukan nama Jae dalam deretan percakapan di whatsapp. Sebuah pesan singkat terkirim pada Jae setelah meyakinkan diri bahwa dia harus segera menemukan jawabannya.

Gia : Jae, gimana lukanya?

Tiga menit berjalan, pesan Gia tidak mendapatkan balasan. Hanya ada dua centang hitam di sebelah kanan pesannya.

Disa :Woyyy...Cuma dibaca doang nih!

Terkejut dengan pesan baru yang masuk, Gia segera membalasnya.

Gia : Udah dong.

Disa : Kenapa sih lama banget balasnya? Eh, besok aku nyontek ya, lagi males ngerjain PR nih. (emoticon senyum yang memperlihatkan deretan gigi)

Gia : Memangnya sejak kapan kamu mau ngerjain PR Matematika?

Disa : Otakku nggak nyampek Gi.

Gia : Dasar pemalas!

Gia : Eh, Dis...tahu nggak sih apa yang terjadi sama Dean dan Jae?

Disa : Hmm...nggak sih, emangnya mereka kenapa?

Gia : Kayaknya mereka ada something deh, tadi mereka berantem.

Disa : Masak sih? Berantem kenapa?

Gia : Panjang ceritanya, besok deh aku cerita.

Disa : Oke, aku tunggu ya, jangan sampek lupa.

Lega rasanya, akhirnya Gia tak sanggup memikirkan masalah ini sendiri. Besok Disa akan membantunya menyelesaikan hal yang mengganggu pikirannya. Selama ini dari sahabatnyalah, Gia bisa mengetahui apa saja yang terjadi di sekolah. Sudah semestinya Disa akan bisa menyelesaikan masalah ini dengan mudah.

Meski sudah membagi ceritanya, hati Gia tak kunjung tenang. Pesan yang dikirim ke Jae juga mendapatkan balasan. Gia pun tak menemukan pesannya dibuka Jae sementara chatt-nya selalu aktif. Gia pun menunggu sampai matanya terlelap.

Sinar mentari menerobos kamar Gia melalui lubang ventilasi di atas jendela. Hangat memenuhi ruangan hingga membuatnya sulit untuk melanjutkan mimpi. Gia menggeliat, mengusir malas yang masih menguasai dirinya. Tangan kirinya meraih jam beker di atas nakas. Gia melonjak dari tempat tidur setelah melihat jarum kecil mengarah ke angka 05.30. Diambilnya amplop putih dari dalam tas, berharap ayahnya belum berangkat kerja.

Sejak mulai bangkrut, Gunawan harus bekerja lebih keras untuk mempertahankan usahanya. Berangkat kerja lebih pagi untuk memastikan usahanya tetap berjalan dengan baik. Setidaknya tidak memperparah kondisi keuangan keluarganya. Kondisi ekomoni negara yang tidak menentu membuat toko ayahnya yang tidak terlalu besar menjadi semakin sepi.

"Ma, Ayah sudah berangkat?" Gia keluar dari kamarnya setengah berteriak.

"Belum. Ayah masih di teras," Mama Gia di dapur mengelap tangannya yang basah.

Gia setengah berlari menuju teras depan. Didapatinya Gunawan yang sedang membereskan isi tasnya. Garis halus di wajahnya semakin bertambah, menunjukkan beban hidupnya yang berat. Rambut putih yang manyembul di antara rambut hitamnya semakin bertambah, memberikan kesan lebih tua dari usia sebenarnya. Gunawan tersenyum melihat Gia yang berhasil menemukannya. Sekilas Gunawan menatap amplop putih yang di pegang anak perempuannya.

"Yah, Gia mau bicara sebentar bisa?" Gia menjatuhkan tubuhnya di kursi sebelah Gunawan.

"Ada apa, Nak?" Gunawan menghentikan tangannya setelah menutup tas kerja.

Kesedihan terpancar di wajah Gia. Tangan kirinya menyisipkan rambut yang masih acak-acakan ke belakang telinga. Tatapannya penuh iba, dia bisa merasakan beban yang harus ditanggung orangtuanya.

Gia itu mengambil napas dalam mengumpulkan keberanian sebelum menyerahkan amplop ditangannya, "Ayah mendapatkan surat panggilan dari sekolah. Uang praktek Gia sudah dua bulan belum dibayar. Uang SPP Gia sejak awal tahun juga belum dibayar, Yah." Gia berhenti sejenak menelan ludah sebelum melanjutkan, "Gia sudah tidak mendapatkan beasiswa lagi, Yah. Gia tidak bisa mengikuti ujian kalau sampai semua biaya itu tidak segera dilunasi."

Gunawan menerima amplop dari uluran tangan Gia sebelum menjatuhkan tubuhnya ke sandaran kursi. Kedua alisnya bertaut saat membaca kertas putih ditangannya. Tak lama kemudian mendung kembali menghiasi wajahnya.

The Zero Point (Completed)Where stories live. Discover now