Part 5

249 28 2
                                    

Kerumunan pun kembali bubar, menghindari tatapan Yustin yang siap menerkam siapa saja yang berani membalasnya.

Dean setengah melempar gulungan kertas ke arah Gia. Tatapan Gia tergambar jelas di benaknya, berhasil membuatnya tersenyum tipis. Mata bulat itu berhasil membuatnya berani membentuk sebuah harapan. Dean mengusap wajahnya dengan kasar, menepis semua yang sempat terlintas dalam pikirannya. Segera mempercepat langkahnya menuju ruang guru.

Disa yang sedari tadi panik disebelah Gia mengehela napas panjang. Dia tahu, sahabatnya akan berdiam diri setiap kali Dean mencoba membuat ulah. Kejadian ini bukan yang pertama kalinya, Gia tak segan membalas ejekan Dean setiap kali tak bisa mengontrol emosinya. Disa masih berusaha menenangkan Gia dengan terus menggandeng lengannya, memberi jarak agar Dean sampai lebih dulu.

Disa menjajari langkah Gia menyusuri lorong sekolah. Punggung Dean masih terlihat dari jauh mengikuti langkah guru matematika mereka. Disa berusaha memutar otak agar sahabatnya ini tak lagi bermusuhan teman yang sebenarnya memang biang onar di kelas. Dia mengenali Gia seperti mengenali dirinya sendiri. Kecuali satu, dia tak tahu kalo diam-diam Gia suka menatap punggung Dean setiap kali berjalan di belakangnya.

Langkah Gia berhenti tepat di depan pintu ruangan yang bercat coklat tua. Bagian atas terdapat plang dari kayu dengan huruf kapital putih. Punggung yang sejak tadi dilihatnya dari jauh sudah masuk ke ruangan ini lima menit yang lalu. Dia tahu betul dimana sekarang pemilik punggung itu berada. Hampir setiap hari masuk ke ruangan ini membuatnya mudah menghapal isinya

Gia menempelkan telinga ke daun pintu, berusaha mencari tahu apa yang sedang dibicarakan Dean dan Yustin. Tak ada suara apapun yang bisa ditangkap telinganya. Setelah meminta Disa untuk menunggu di bangku depan ruangan, Gia menjulurkan kepala ke dalam ruangan. Sepasang matanya menangkap dua orang guru piket yang sedang sibuk memeriksa tugas siswa di ujung ruangan.

Bola mata Gia bergerak ke sisi kanan, menemukan Dean yang sedang berhadapan dengan Yustin. Melihat tak ada senyum di wajah keduanya, Gia tahu mereka sedang membicarakan hal yang serius. Wajah Yustin tampak lebih tegang dibandingkan saat berada di dalam kelas tadi.

Dean duduk dan menyandarkan punggungnya di kursi seberang Yustin. Dia hampir hafal apa saja yang akan dikatakan Yustin. Membahas hal yang sama, bernegosiasi untuk hal yang sama, bahkan dengan ending yang sama pula. Syaraf otaknya terasa pendek untuk mengingat rumus dan angka. Dia sangat tahu siapa yang akan menjadi penyelamat nilai matematikanya.

Yustin menghela napas dalam berkali-kali sebelum menatap Dean. Kertas hasil ulangan dua hari lalu masih dalam genggamannya. Hening sesaat. Jemari Yustin bergerak lincah membuka lembar demi lembar. Coretan-coretan merah menggores hampir di setiap angka. Gerakan mata Yustin selaras dengan gerakan tangannya. Gelengan kepala Yustin lebih mirip boneka ondel-ondel yang sedang beraksi di pusat hiburan.

Udara tiba-tiba berubah panas, keringat dingin perlahan mengalir dibalik hem putih yang dikenakan Dean. Dia tahu betul apa arti garis merah itu. Kedua telapak tangannya berkeringat. Kepalanya masih menunduk, sesekali dia mencuri pandang pada lembaran kertas di tangan Yustin. Tapi hanya lembar yang paling depan yang tak bisa dilihatnya. Padahal lembar itulah yang membuatnya tertarik melihat kertas ulangannya.

Yustin kembali menarik napas panjang, "Dean, kamu pasti tahu kenapa Ibu memanggilmu ke sini."

Mulut Dean masih terkunci. Pandangannya menancap pada kotak-kotak keramik yang tersusun rapi di bawahnya, seolah-olah takut keramik itu akan pecah dan berbalik menancap di kakinya. Lidahnya tercekat meski tahu apa yang menimpanya sampai dipanggil ke ruangan ini untuk kesekian kalinya.

"Kali ini kamu sungguh keterlaluan, kamu lihat ini!" Yustin mengangkat kertas ulangannya tepat di halaman depan.

The Zero Point (Completed)Where stories live. Discover now