Part 43

80 4 0
                                    

Gia berontak, menarik tangannya dengan kasar. "Pulang! Aku sudah tidak tahu bagaimana caranya untuk mengajarimu." Gerakan tangan Gia membuat gumpalan push it terlepas dari genggamannya. Langkahnya tergesa meninggalkan Dean yang masih terpaku di tempatnya.

Pertahanan Gia akhirnya runtuh juga. Buliran bening mulai meluncur dari kelopak matanya. Punggung tangannya segera mengusap pipinya yang basah saat membalikkan badan. Jika Dean melihatnya mennagis untuk kedua kali hanya akan menjadi bahan olokan saja.

Tubuh Gia bergetar menahan desakan dari dalam dada. Bahunya terus bergerak mengikuti isakan yang sulit sudah tidak bisa dikendalikannya. Setengah berlari Gia mencari tempat yang jauh dari jangkauan Dean. Perpustakaan menjadi tempat yang ditujunya, tidak jauh dari lorong menuju ruang OSIS.

Gia merapatkan tubuhnya di dinding luar perpustakaan, tubuhnya melorot hingga menyentuh lantai. Siang itu sudah sepi, membuat Gia yakin tidak akan ada yang melihat tangisnya. Gia terduduk dengan wajah menelungkup pada kedua lututnya yang merapat. Bahunya masih berguncang seiring dengan isakan yang belum juga reda.

Lengan Gia semakin merapatkan kedua lututnya. Kunang-kunang terus berputar di kepalanya mulai melepaskan diri secara perlahan. Semilir angin menyapu pipinya yang basah membuatnya terasa kaku. Gumpalan yang berdesakan di dada juga semakin mengendur.

Gia mengulurkan kaki mencoba membuat tubuhnya lebih rileks. Asin mulai menguasai lidah saat cairan bening mulai masuk melalui celah bibirnya. Gia menghela napas dalam, setelah memasukkan oksigen sebanyak mungkin ke dalam paru-parunya. Keputusannya kali ini sudah bulat, dia tak akan melakukan tawar menawar lagi dengan Bu Yustin.

Kepala Gia menyandar di dinding sementara matanya terus terpejam. Dagunya terangkat, berusaha melawan air mata yang masih berusaha meluncur dari kelopak matanya. Tubuh Gia yang gemetar masih belum cukup untuk membantu menguasai diri. Tak ada yang bisa membuatnya lebih sakit daripada masa depannya yang terancam hancur.

"Gia!" terdengar suara langkah yang semakin mendekat.

Kepala Gia menoleh ke arah sumber suara yang sangat dikenalnya. Dia menemukan wajah cemas Jae di sana. Setengah berlari, Jae berusaha menghilangkan jarak antara keduanya. Tak ada sedikit pun senyum yang menghias wajah tampannya membuat hati Gia melonjak.

Punggung tangan Gia segera mengusap sisa basah di kedua pipinya. Lututnya terasa tak bertulang. Desiran halus mulai menyusup ke dalam rongga dadanya yang penuh sesak. Sepertinya membagi bebannya dengan Jae akan menjadi solusi terbaik.

Senyum kaku yang diciptakan Gia membentuk lekukan kecil di pipi bagian bawahnya. Gia membersihkan wajah yang berantakan dengan menggunakan punggung tangannya. Tak lama kemudian tangan kanannya Gia menyambut sapu tangan yang diulurkan Jae. Aroma maskulin yang menyeruak dari lipatan kain kecil menyerbu rongga hidungnya.

"Kamu, kenapa Gi?" tatapan Jae masih penuh kecemasan. Tangannya mengulurkan botol minum setelah membuka segelnya.

"Jae, aku nggak bisa sekolah lagi." Isakan Gia kembali mengembang.

Tatapan teduh Jae membuatnya menjadi lebih tenang. Pundak Jae yang tegap membuatnya membayangkan bersandar disana akan membuatnya menjadi lebih tenang. Jae berusaha menjajarkan tinggi mereka dengan berjongkok di samping Gia. Jam sekolah sudah berakhir, membuat suasana sekolah berubah menjadi senyap. Hanya ada beberapa siswa yang tinggal untuk mengikuti kegiatan ekstrakurikuler.

"Kenapa nggak bisa sekolah lagi? Ada masalah?" Jae mengerutkan dahinya.

Perubahan sikap Jae yang dirasakan Gia beberapa hari yang lalu sirna begitu saja. Dia sudah menemukan Jae yang dikenalnya kembali. Kali ini harapannya sangat besar Jae akan menyatakan perasaannya lagi. Gia yakin, Jae tak akan pernah meninggalkannya apalagi membuatnya terluka.

Tapi Gia tidak tahu, saat ini Jae kembali mengalami pergolakan batin yang sangat besar. Keinginannya untuk terus bersama Gia semakin kuat sementara hubungannya dengan Rumi menjadi semakin dekat. Jae tidak mau berhenti berjuang mendapatkan Gia. Namun dia juga tidak cukup punya hati untuk menyakiti Rumi.

The Zero Point (Completed)Where stories live. Discover now