Part 49

67 5 10
                                    

Dean mempercepat langkah. Napasnya memburu, saling berlomba dengan kerja jantungnya. Meski rajin berolah raga, bukan berarti mengejar Gia dengan penyesalan yang bercokol di dalam dada bisa membuatnya berpikir dengan sehat. Dean beberapa kali hampir terjatuh karena tersendat langkahnya sendiri.

Dadanya hampir saja meledak, tak kuat lompatan-lompatan jantungnya. Syarafnya bekerja lebih keras untuk menemukan kata yang akan diucapkannya pada Gia saat bertemu nanti. Dean juga memperkirakan kemungkinan reaksi Gia. Mungkin Gia akan menganggapnya kurang waras karena sebelumnya Dean tak pernah bersikap baik padanya.

Mata coklat Dean menyapu setiap sudut sekolah, namun tak menemukan Gia juga. Napasnya mulai terengah saat tiba di parkiran, namun tak ada siapa pun di sana. Pintu dua ruangan yang digunakan untuk ekstra kurikuler tertutup rapat. Tak ada suara yang keluar dari dalam ruangan, Dean melirik jam perak hitam yang melingkar di tangan kirinya. Kecewa kembali menyusup ke dalam dada ketika menyadari sudak tak ada siswa selain dirinya.

Oh iya Tundra, kenapa cengoh banget sih? Nggak kepikiran minta no whatsapp ke Tundra. Dean merutuki dirinya sendiri.

Tangan Dean meraba saku celana sisi kanan, tipis. Tangan kirinya cekatan sekali menekan-nekan saku sebelah kiri, tapi tak menemukan apapun. Segera diacak-acaknya isi tas yang tak seberapa, nihil juga. Diulanginya lagi mengaduk isi tas, Dean tetap tak menemukannya.

Apes bener! Kemana sih ponselku? Gengsi banget sebenarnya, tapi gimana lagi.

Hati Dean terus berkecamuk, pikirannya tak berhenti mengingat di mana terakhir kali memegang ponsel. Langkah kakinya semakin pelan menyusuri jalan yang dilalui seraya menatap setiap sisi jalan. Tak menyangka dia bisa sekacau ini, tak pernah terpikir sebelumnya dia rela lari kesana kemari untuk menemukan Gia. Setelah lima belas menit mencari, Dean memutuskan untuk kembali ke ruang seni. Terakhir kali dia membalas pesan Rumi, sebelum Gia datang.

Dean memotong jalan dengan melewati kantin. Matanya yang sempat melihat sekilas, sempat berbalik kembali untuk memastikan dua orang yang sedang duduk berhadapan. Meski hanya dari belakang, dia sangat hafal siapa yang sedang dilihatnya. Lelaki yang duduk menghadap pintu mencondongkan badan, membuatnya lebih dekat dengan lawan bicaranya. Meski sedang menunduk, Dean tahu siapa gadis yang sedang mengambil seluruh perhatian lelaki itu.

Badan Dean terasa limbung. Tulang-tulang seolah terlepas dari badannya. Kakinya terpaku pada lantai hingga membuatnya tak bergeming. Hatinya mengatakan ingin segera mendekat, untuk membuat Gia tahu bahwa penyesalannya kini sudah berubah menjadi momok yang terus mengikutinya. Dean menelan ludah berkali-kali untuk membasahi tenggorokannya yang tiba-tiba kering.

Kenapa hatiku sesakit ini? Bukannya mereka memang sering berdua seperti itu? Tapi kenapa baru sekarang Dean merasa tidak rela?

Dean hampir setiap hari melihat Jae datang ke kelasnya saat jam istirahat. Jae seolah tak mau menyerah untuk mendapatkan Gia. Tapi yang dilihatnya beberapa hari yang lalu membentuk penilaian yang berbeda terhadap Jae. Sang ketua OSIS hampir tak pernah absen membawakan hadiah untuk Gia. Tapi disaat yang bersamaan dia justru jadian sama gadis lain.

Tangan kanan Dean meremas angin. Hatinya ngilu saat melihat Gia yang hampir tak pernah tersenyum padanya kini sedang tertawa bersama Jae. Lelaki yang sudah resmi berpacaran dengan sepupunya. Dean terhenyak saat melihat Gia dan Jae bergerak meninggalkan kantin.

Dean kembali menelan ludahnya dengan susah payah. Sepertinya dia butuh air bukan sekedar ludah, karena tenggorokannya terasa benar-benar kering. Berdehem sebentar, dia tidak mau Gia mengetahui gejolak yang ada di dalam dadanya. Telapak tangannya kembali meremas-remas udara untuk menenangkan tubuhnya yang mulai gemetar.

"Gia," panggil Dean ketika sudah berdiri beberapa meter dari gadis di depannya. Dean menangkap terkejut di wajah Gia, dengan jelas matanya memancarkan kekesalan. 

The Zero Point (Completed)Where stories live. Discover now