19

126 16 2
                                    

Di sebuah padang rumput yang begitu luas dengan langit biru di atasnya, Iris tampak berdiri sendirian. Rambut panjangnya yang tergerai sesekali tertiup angin yang berhembus. Pandangannya hanya menatap lurus pada hamparan padang rumput.

Kemudian dia merasakan ada tangan yang menggenggam tangannya. Menoleh, dia mendapati Xavier berdiri di sampingnya sambil tersenyum kecil.

"Kalian berdua memang kelihatan serasi." Terdengar suara wanita dari arah belakang tubuh mereka. Saling menoleh, mereka berdua mendapati sosok Irene di sana. Iris merasa cukup terkejut ketika melihat sosok kakaknya ada di sana.

Sambil menggandeng seorang anak kecil, Irene menghampiri mereka. Kemudian wanita itu tersenyum, menatap bergantian Iris dan Xavier. "Jika kau benar-benar mencintainya tolong cintai dia dengan setulus hatimu. Jangan sampai kau sakiti dia. Aku tau kau bukan lagi pria yang seperti itu. Dan tolong jaga dia untukku." Ucap Irene kepada Xavier, yang kemudian di respon senyuman serta anggukkan oleh Xavier. Beralih, dia pun tersenyum dengan begitu manis kepada adiknya, Iris. "Kau mencintai orang yang tepat, Iris. Aku yakin dia akan mencintai dan menjagamu dengan baik. Xavier adalah pria yang baik." Ucapnya lagi, kemudian dia mulai melangkah pergi bersama dengan anak kecil yang sejak tadi digandengnya, meninggalkan mereka berdua.

Iris yang sejak tadi mendengarkan tampak mengernyitkan kening. Merasa bingung dengan segala perkataan Irene. Dia berusaha untuk berbicara tapi entah kenapa bibirnya sulit untuk mengungkapkan satu patah katapun. Dia terus menatap ke arah kepergian Irene sambil berusaha untuk memanggil namanya. Tapi hal itu sia-sia belaka karena rasanya bibirnya itu seperti terkunci dengan begitu rapat. Dia sama sekali tidak bisa bersuara.

Dia menoleh ke arah Xavier untuk meminta bantuannya. Tapi secara mengejutkan pria itu justru menghilang. Iris pun menoleh ke sana kemari dengan gelisah mencari sosok Xavier, tapi pria itu tidak ada di mana-mana. Air mata mulai turun mengaliri pipinya, dan dengan kedua kakinya yang rasanya seperti sudah tidak kuat lagi menopang berat tubuhnya, Iris menjatuhkan tubuhnya ke tanah.

Dan akhirnya Iris terbangung dari mimpinya. Setelah membuka matanya dengan cepat dan dengan perasaan sesak yang dia rasakan, Iris mulai mendudukkan dirinya di tempat tidur. Melirik jam digital yang berada di atas nakas, yang saat ini menunjukkan pukul tiga pagi membuat Iris menghela nafas panjang sambil menyisir rambutnya ke belakang. Menoleh, dia mendapati Xavier yang masih tertidur dengan begitu lelap.

Bangkit dari tempat tidur, lalu dia melangkah keluar dari kamar, menurini anak tangga untuk menuju ke dapur untuk mengambil segelas air. Setelah menenggak habis satu gelas penuh air, Iris tampak termenung di dekat mini bar. Dia memikirkan mimpi yang baru saja dialaminya. Ini sudah kesekian kalinya Iris memimpikan Irene setelah sudah hampir sebulan ini dia tinggal bersama dengan Xavier. Dan mimpinya kali inilah yang membuatnya sangat bingung sekaligus penasaran dengan ada tidaknya hubungan di antara Xavier dan Irene dulu.

**

Jam sudah menunjukkan pukul tujuh pagi, dan di ruang makan yang langsung bersebelahan dengan dapur yang cukup luas, yang didominasi warna putih dan coklat, Xavier dan Iris tampak menikmati waktu sarapan mereka berdua saja di meja makan. Atmosfer pagi ini terasa sedikit berbeda dari pagi-pagi sebelumnya yang biasanya akan diisi suara candaan dari dua insan itu. Keheningan terus terbentang di antara mereka berdua sejak mereka memulai sarapan.

Xavier yang merasakan suasana berbeda pada pagi hari ini mulai menoleh untuk sepenuhnya menatap kepada Iris. Mendapati wanita itu hanya terdiam sambil menatap lurus ke depan dan sama sekali belum menyentuh pancake nya, Xavier langsung tau kalau ada yang sedang di pikirkan oleh Iris. Menghembuskan sedikit nafasnya, lalu sebelah tangannya mulai menyentuh tangan Iris yang berada di atas meja, yang kontan hal itu membuat Iris tersadar dari lamunannya dan segera menoleh ke arahnya.

"Hey, ada apa? Ingin bercerita sesuatu kepadaku?" Tanya Xavier yang disertai dengan sebuah senyuman kecil.

Iris menghela nafasnya sesaat sambil mengalihkan pandangannya dari Xavier menuju ke atas piring yang berisi pancake, yang sama sekali belum disentuhnya. Kemudian dia kembali menatap Xavier dengan tatapan yang tidak bisa diartikan oleh pria itu.

"Apa...apa kau dan Kakakku, Irene, pernah menjalin hubungan dulu?" Dan seketika Xavier tertegun. Dia tau pasti hari ini akan datang. Jujur dia masih belum siap untuk memberitahukan Iris apapun tentang masa lalunya dengan Irene.

Keheningan lagi-lagi terbentang di antara mereka. Iris terus saja menatap lurus Xavier, sementara pria itu masih saja terdiam membeku karena pertanyaan Iris yang tiba-tiba itu.

"Kenapa kau bertanya seperti itu?" Tanya Xavier sambil berusaha untuk bersikap setenang mungkin.

Iris tampak tersenyum kecil. "Akhir-akhir ini entah kenapa aku sering sekali memimpikan Irene, dan semalam aku kembali memimpikannya. Kau pun juga ada. Di dalam mimpiku Irene mengatakan suatu kalimat yang membuatku bingung, yang membuatku beranggapan kalau dulu kalian pernah menjalin hubungan sebelumnya. Apa dugaanku kedengaran lucu?" Jelas Iris, lalu sedikit terkekeh.

Tidak, dugaanmu itu memang benar. Ucap Xavier di dalam hati, tidak berani untuk mengungkapkannya secara langsung.

"Sebagai adiknya aku memang tidak tau banyak soal dirinya, apalagi soal hubungan percintaannya karena memang dia adalah orang yang sangat tertutup. Semenjak aku diminta oleh Ayahku untuk sekolah di Inggris, aku jadi sangat jarang berhubungan dengannya. Kemudian tiba-tiba ketika memasuki tahun kedua aku sekolah di Inggris, aku dapat kabar kalau dia telah meninggal dunia karena sakit."

Maafkan aku Iris, tapi sebenarnya dia meninggal dunia karena diriku. Karena diriku! Tapi apa kau siap jika mendengar hal itu dari diriku secara langsung? Kalimat itu terngiang di kepala Xavier setelah mendengar penjelasan Iris tersebut.

Melihat Xavier yang sejak tadi terus saja terdiam sambil terus memandangnya, membuat Iris kembali tersenyum kecil karena dia tau Xavier tidak akan menjawabnya sebab pertayaan yang dia ajukan terkesan begitu bodoh untuk pria itu. "Ah, sudahlah, lupakan saja pertanyaan bodohku tadi." Katanya, kemudian mulai bangkit dari duduknya.

Tapi sebelum tubuhnya berpindah, dengan cepat Xavier menahan tangan Iris. Menghembuskan nafasnya panjang, lalu Xavier mulai mendongak untuk menatap Iris. "Ya, aku dan Irene memang pernah menjalin hubungan dulu." Akhirnya Xavier menjawab pertanyaan Iris, yang jujur membuat Iris terkejut dengan fakta itu. "Dan sebab dia meninggal dunia sebenarnya..." Xavier terdiam sesaat, membuat Iris mengernyitkan kening menanti kalimat selanjutnya yang akan dikatakan oleh pria itu.

"Sebenarnya dia meninggal dunia karena diriku. Akulah penyebab kenapa dia memilih untuk mengakhiri hidupnya." Kalimat itupun terlontar secara langsung dari mulut Xavier. Dia akan terima segala konsekuensi yang akan dia hadapi setelah wanita itu tau tentang fakta itu.

Kerutan di kening Iris mulai menghilang, dia tertegun karena kalimat yang diungkapkan oleh Xavier. "Apa...apa maksudmu dia mengakhiri hidupnya? Apa dia tiada karena bunuh diri bukan karena sakit? Kenapa...kenapa bisa kau menjadi penyebab dia mengakhiri hidupnya?" Tanya Iris dengan suaranya yang bergetar, dan dia merasa sedang diserang dengan anak panah bertubi-tubi yang menyebabkannya merasa begitu sakit serta takut.

Melihat tubuh Iris yang mulai bergetar hebat, dengan segera Xavier bangkit untuk meraih tubuh wanita itu. Tapi secara naluriah Iris bergerak mundur selangkah. Xavier pun menatapnya sendu. Dia merasa begitu bersalah kepadanya.

"Aku mohon, Xavier, katakan kalau Irene bukan meninggal dunia karena bunuh diri, dan katakan juga kalau kau memang bukan alasan dibalik dia memilih untuk melakukan hal itu. Aku mohon Xavier katakan itu kepadaku!" Kata Iris sambil terisak.

Akhirnya Xavier memberanikan diri untuk merengkuh tubuh Iris. Awalnya Iris berusaha untuk menjauh dengan mendorong dada Xavier, tapi rasanya dia sudah tidak punya tenaga lagi untuk melawan, yang akhirnya dia hanya bisa menangis dengan keras dipelukkan Xavier.

"Maafkan aku Iris, maafkan aku." Sebulir air mata juga mulai mengaliri pipi Xavier, kemudian dia mengecup kening Iris cukup lama.

Tangisan Iris pun semakin kencang. Rasa sakit yang muncul di hatinya begitu menyiksanya. Dia masih berusaha untuk menyangkal fakta itu. Dia tidak bisa menerima hal ini secara sekaligus.

***

TBC

Thank you so much for reading. Vote+comment nya ku tunggu. See you :)

The Fault (Hendall)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang