10

155 22 3
                                    

Jam menunjukkan pukul delapan malam, dan Xavier saat ini tampak sedang berbaring di sofa yang ada di ruang tamu sambil berkirim pesan dengan Iris. Dengan jari-jarinya yang bergerak mengetikkan setiap huruf, senyumannya juga tidak bisa berhenti mengembang setiap kali dia mendapat balasan dari Iris.

"Xav, kau tidak ada makanan kecil dan juga minuman kaleng untuk menemani kita nonton malam ini?" Tanya Sean yang datang dari arah dapur. Dia kebetulan datang ke penthouse Xavier karena mereka berdua berniat untuk menonton pertandingan bola yang akan disiarkan secara langsung di tv kira-kira satu jam lagi.

"Bukannya masih ada minuman kaleng di lemari pendingin?" Jawab Xavier dengan pandangannya yang masih lurus ke layar ponselnya.

"Iya, tapi hanya satu." Balas Sean yang kemudian menghampiri Xavier dan dia berdiri di belakang Xavier untuk melihat apa yang sedang dilakukan oleh pria itu dengan ponselnya. "Apa yang sedang kau lakukan, eh?" Tanya nya, lalu mulai sedikit membungkuk. Dan seketika dia membulatkan matanya ketika melihat ada nama Iris di sana. Dengan segera dia meneggakkan tubuhnya.

"Xavier, kau dan Iris?! Kalian berdua sudah menjalin hubungan?!" Ucap Sean dengan suara yang cukup tinggi.

Xavier pun merubah posisinya menjadi duduk. "Iya. Karena dia juga menyukaiku." Ucap Xavier kemudian.

"Kau serius dengan keputusanmu itu? Kau tidak takut kalau masa lalumu akan berdampak buruk pada hubunganmu ini? Dia itukan adiknya." Ucap Sean berusaha untuk membuat sahabatnya itu berubah pikiran dengan hal yang sudah dia lakukan.

Dan itupun sukses kembali membuat Xavier memikirkan perasaan takut akan dirinya yang mungkin bisa membuat Iris sakit hati suatu hari nanti. "Lalu apa yang harus aku lakukan? Aku begitu mencintainya. Begitupun dengannya."

Sean tampak mulai berpikir. "Hmm...bagaimana kalau kau katakan saja kepadanya tentang dirimu dan Irene? Masih belum terlalu terlambat untuk mengatakan yang sejujurnya."

"Aku tidak yakin dengan hal itu." Balas Xavier seraya menggelengkan kepalanya.

Mendengar respon Xavier membuat Sean menghela nafasnya. "Aku tidak tau saran apa lagi yang harus aku berikan kepadamu. Jadi, baiklah jika itu keputusanmu, silahkan kau jalani saja. Resiko kau tanggung sendiri. Aku tidak mau ikut campur lagi." Ucap Sean sambil mengangkat kedua tangannya keudara. Merasa sudah menyerah untuk meyakinkan Xavier kalau hal yang dia lakukan itu sebenarnya adalah suatu kesalahan.

"Jadi kau mulai mendukungku, eh?" Tanya Xavier seraya merangkul bahu Sean.

"Antara iya dan tidak."

"Baiklah, tidak masalah." Ucapnya sambil menepuk beberapa kali bahu Sean. "Pertandingannya akan segera dimulai, cepat nyalakan tv nya. Aku akan mengambil makanan dan minuman yang ada di tempat penyimpanan makanan dulu." Kemudian Xavier melangkah pergi ke dapur sementara Sean mulai menyalakan tv dan mengganti salurannya ke saluran yang akan menyiarkan pertandingan itu secara langsung.

**

"Jadi kami akan melakukan beberapa tahapan sebelum produk yang akan kita luncurkan tersebar ketangan konsumen." Ucap seorang pria yang sedang melakukan presentasi di depan beberapa atasannya termasuk Xavier yang menduduki jabatan sebagai direktur keuangan di Abraham Group.

Tapi di tengah-tengah presentasi itu, entah kenapa fokus Xavier pada rapat yang sedang dilaksanakan menghilang. Pikirannya saat ini justru melayang kehal yang lain. Bayang-bayang akan perkataan Sean kemarin malam membuat dirinya kembali merasa khawatir dengan keputusannya untuk menjalin hubungan dengan Iris. Dan saran Sean untuk mengatakan soal hubungan dulu yang pernah terjadi antara dia dan Irene kepada Iris mulai berputar-putar dengan kuat di dalam pikirannya. Seakan hal itu sungguh mendesak dirinya untuk melakukannya.

Apa iya aku harus melakukan hal itu?

"Jadi Xavier, bagaimana menurutmu?" Tanya Frank, sang ayah, yang merupakan pimpinan utama di prusahaan itu. Frank meminta pendapat Xavier karena dia sadar Xavier tidak fokus dengan rapat yang sedang berlangsung. Dan pertanyaan yang dilontarkannya itu tampaknya masih belum membuat Xavier tersadar. "Xavier?" Panggilnya lagi, yang pada akhirnya Xavier segera menoleh ke arah Frank.

"Ya?" Tanya nya, dan sadar kalau saat ini semua orang sedang menatapnya.

"Pendapatmu tentang strategi yang diajukan oleh Mr. Tanner?" Tanya Frank lagi, dan Xavier mulai berpikir harus menjawab apa karena dia tidak menyimak hampir setengah presentasi Mr. Tanner.

"Hmm...aku rasa itu cukup bagus. Ya, sudah cukup bagus untuk dilakukan." Ucapnya, dan semua mata masih terus memandanginya serta kehening juga masih terjadi. Hal itu benar-benar membuat Xavier bingung harus mengatakan atau melakukan hal apa.

"Baiklah, terimakasih Xavier atas pendapatnya, dan terimakasih Mr. Tanner atas presentasinya. Kita sudahi dulu rapat hari ini." Akhirnya Frank kembali berbicara untuk mengakhiri rapat. Dengan begitu para peserta rapat mulai bangkit dari tempat duduk mereka dan melangkah keluar. Xavier juga mulai melangkah keluar dari ruangan.

"Hey, tadi kau kenapa, eh?" Tanya Sean—yang juga merupakan salah satu petinggi di Abraham Group dengan jabatan sebagai direktur pemasaran—yang saat ini berjalan di sebelahnya.

"Hmm...tidak ada apapun." Balas Xavier tanpa menoleh. Sean yang sepertinya tau apa yang sedang membuat Xavier bingung memilih untuk tidak bertanya apa-apa lagi.

**

Ketika jam menunjukkan pukul empat sore, Xavier yang memilih pulang lebih cepat dari biasanya memutuskan untuk pergi ke restoran tempat Iris bekerja. Dia pergi kesana karena berniat untuk memberitahukan Iris akan hubungan Irene dan dirinya dulu. Entah kenapa karena hal itu terus berputar di kepalanya, Xavier jadi berniat untuk mengungkapkannya sekarang.

Begitu sampai di sana, dia langsung mencari-cari keberadaan Iris. Ketika dilihatnya Iris baru saja selesai mengantarkan makan ke salah satu meja, dengan segera dia menghampirinya.

"Kau sedang sibuk?" Tanya nya seraya menahan lengan Iris.

Iris tampak cukup terkejut ketika melihat keberadaan Xavier. "Ada apa?"

"Bisa kita bicara? Hanya sebentar." Ucap Xavier, dan Iris tampak sedikit mengigit bibir bawahnya. Merasa sedikit ragu.

Menoleh sesaat ke arah meja kasir di mana beberapa rekannya berada saat ini, setelah itu dia kembali menoleh menatap Xavier. "Baiklah." Balasnya pada akhirnya. Dengan begitu Xavier membawa Iris untuk keluar dari restoran.

Berdiri di luar restoran, Xavier menghadapkan tubuh Iris ke arahnya. "Ada yang ingin aku beritahukan kepadamu. Ini soal masa laluku." Ucap Xavier, yang mana hal itu membuat Iris mengernyitkan kening. "Sebenarnya dulu itu aku pernah—"

"Iris, aku membutuhkan bantuanmu." Ucap seorang wanita, rekan kerja Iris yang memunculkan dirinya dari dalam restoran.

"Hmm...Xavier kita lanjutkan nanti ok. Atau kau ingin menunggu?"

"Kita lanjut bicarakan hal ini lain waktu saja. Tidak apa-apa." Balas Xavier sambil tersenyum kecil.

"Maafkan aku, ya." Mendapat anggukkan dari Xavier, baru setelah itu Iris segera bergegas kembali ke dalam.

Xavier menghela nafasnya berat. "Mungkin memang belum saatnya dia tau." Ucap Xavier kepada dirinya sendiri, sambil menatap ke dalam restoran dan terlihat Iris yang kembali sibuk bekerja. Karena rencananya tidak jadi terlaksana, dia kembali melangkah ke mobil dan berkendara menuju ke penthouse nya.

***

TBC

Hi hi! Thank you so much for reading. Vote+comment nya ditunggu hehe

The Fault (Hendall)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang