Setelah yakin dengan keputusannya itu, entah kenapa selama di perjalanan Iris tidak henti-hentinya menangis. Sampai-sampai supir taksi yang membawa dirinya untuk kembali ke apartment nya menasehatinya untuk merelakan apa yang sudah terjadi dan mencari lagi seseorang yang baru karena dia mengira kalau Iris baru saja putus cinta. Dan ketika dia telah sampai di depan gedung apartment nya sebelum Iris turun, sang supir lagi-lagi memberitahukan Iris untuk tidak lagi memikirkan pria yang telah menyakitinya. Iris pun meresponnya dengan menggumamkan kata terimakasih sambil berusaha untuk tersenyum.
Sesampainya di apartment, setelah mengunci pintu, tubuhnya langsung merosot ke bawah. Sambil memeluk erat kedua lututnya, tangisan yang disertai dengan isakan kembali keluar. Entah, dia juga merasa bingung dengan dirinya sendiri. Tadi dia begitu yakin untuk melakukan hal itu, tapi setelah melakukannya entah kenapa dia jadi merasa menyesal. Ingin rasanya dia kembali lagi ke rumah dan menarik semua perkataanya, tapi dia tidak mau jika harus kembali terkekang dengan segala perintah ayahnya. Jadi bagi dirinya ini adalah satu-satunya cara yang tepat untuk dirinya terbebas dari segala kekangan itu.
Drrtt...drrtt...drrtt...
Merasakan getaran dari ponselnya yang berada di dalam saku mantelnya, sambil masih terisak dia mengambil benda itu dari dalam sana. Melihat nama Xavier tertera pada layar ponselnya, Iris merasa ragu untuk menjawab telfonnya. Karena ponselnya terus menerus bergetak akhirnya dengan sedikit ragu dia menggeser tombol hijau. Dan dengan perlahan dia mengarahkannya ke telinga.
"Halo?" Ucapnya dengan suaranya yang bergetar hebat.
"Iris, kau baik-baik saja?" Suara Xavier pun terdengar begitu khawatir dari sebrang sana.
Iris yang sejak pertamakali mengangkat telfon Xavier berusaha untuk menahan tangisannya akhirnya kembali terisak. "Xavier...bisa kau datang kesini?" Tanya nya ditengah-tengah tangisannya.
"Baiklah, aku akan segera kesana. Tunggu ya?" Dan Iris hanya meresponnya dengan mengangguk, walau dia tau Xavier tidak akan bisa melihatnya.
**
Ketika Xavier sampai di apartment nya langsung saja dia menghamburkan dirinya memeluk pria itu. Xavier yang merasa bingung hanya bisa terdiam dan melingkarkan kedua tangannya di sekitar punggung Iris sambil mengelusnya lembut. Berusaha untuk membuat wanita itu menjadi lebih tenang.
Setelah beberapa saat, dan Iris mulai sedikit lebih tenang, Xavier membawanya untuk duduk di sofa. Sedikit memiringkan tubuhnya agar bisa menghadap wanita itu, Xavier mulai memberanikan diri untuk membuka suara. "Jadi, ada masalah apa, hm? Kau ingin menceritakannya kepadaku?" Tanya nya seraya menghapus sisa air mata yang ada di pipinya.
"Aku telah membuat keputusan kalau aku bukan lagi anggota keluarga Nicholson." Ucapnya, membuat Xavier mengernyitkan keningnya.
"Kenapa kau berkata seperti itu?"
"Karena...aku lelah hidup dalam kekangan Ayahku. Aku ingin hidup bebas tanpa segala perintah darinya. Aku merasa kalau hidupku yang seperti itu sama sekali tidak normal. Bahkan dia juga mengekang diriku untuk jangan pernah dekat denganmu." Jelas Iris.
Xavier terdiam sesaat memikirkan kalimat terakhirnya. Karena memang Ayahmu tau kalau aku ini adalah pria yang buruk. "Hmm...mungkin saja Ayahmu melakukan itu karena itu memang yang terbaik untukmu." Ucapnya untuk merespon Iris.
"Jadi kau mau tidak lagi bertemu denganku?"
Xavier tampak mengidikkan bahu. "Tentu saja aku tidak mau. Tapi kalau hal itu memang baik untuk kita, ya mau bagaimana lagi. Kita jalani saja."

KAMU SEDANG MEMBACA
The Fault (Hendall)
RomantizmBagi Xavier mencintai sosok Iris adalah suatu kesalahan terbesar dalam hidupnya. Tapi di sisi lain hal itu juga merupakan suatu hal yang paling membahagiakan baginya karena berkat wanita itulah dirinya bisa merasa seperti dihidupkan kembali. Karena...