Four years later.
Tok...tok...tok...
"Masuk."
"Sir, semua calon pelamar sudah datang."
"Baiklah, persilahkan kandidat pertama untuk masuk." Jelas sang direktur utama. Sang sekertaris pun mengangguk dan melangkah keluar dari ruangan.
Hari ini di salah satu anak perusahaan dari Abraham Group sedang membuka lowongan pekerjaan untuk posisi asisten dari direktur utama. Interview akan dilakukan dari jam sembilan pagi sampai dengan sebelas siang, dan para calon pelamar akan diinterview langsung oleh sang direktur utama, Xavier Matthew Abraham.
Ketika satu per satu calon pelamar memasuki ruang dan Xavier menginterview mereka, pria berusia dua puluh sembilan tahun itu tampak belum menemukan seseorang yang sesuai. Satu jam telah berlalu, dan ketika giliran kepada calon pelamar ke lima belas, tubuhnya seketika menegak ketika dia melihat foto yang terdapat pada CV di tangannya. Seketika senyuman kecil terukir di wajahnya disertai dengan sebuah rasa gugup yang tiba-tiba datang.
Calon pelamar ke lima belas itu pun melangkah masuk ke dalam ruangan, dan Xavier terdiam ketika melihat wanita itu. Sudah selama ini, tapi dirinya tetap terlihat sama.
Wanita yang cukup tinggi itu mengangguk hormat sebelum dia mendudukkan dirinya di kursi di hadapan Xavier. Xavier terus saja tersenyum kecil sambil memperhatikan setiap gerak geriknya.
"Ehemm..." Xavier berdeham sesaat, lalu kembali menatap CV di tangannya. "Iris Bellvania Nicholson. Anda lulusan dari The University of Manchester. Lulus dengan nilai sempurna." Ucap Xavier yang membaca sekilas CV milik Iris dengan nada bicaranya yang tetap profesional sebagai seorang direktur utama.
"Jadi, apa alasan Anda melamar di perusahaan ini? Padahal Anda memiliki nilai yang cukup bagus untuk melamar di perusahaan yang lebih ternama dari perusahaan ini." Lanjut Xavier, kembali menatap lurus pada Iris. Baru Iris ingin menjawab pertanyaan itu, Xavier kembali bersuara, "baiklah, Anda saya terima."
Iris tampak tertegun. "Maaf, tapi saya..."
"Steffany, tolong ke ruangan saya." Ucap Xavier yang memanggil sekretarisnya melalui telepon. Tak lama kemudian sekretarisnya datang masuk ke dalam ruangan. "Tolong berikan kepada Iris segala agenda yang akan dia lakukan mulai besok dan seterusnya." Steffany pun mengangguk paham. Kemudian dia melangkah kembali menuju pintu, tapi dia tidak langsung keluar. Dia tampak menunggu di ambang pintu.
"Kau sudah bisa bekerja mulai besok, dan kau bisa ikuti Steffany untuk mendapatkan segala agenda kerjamu." Ucap Xavier kepada Iris yang masih terdiam.
Iris yang jujur masih merasa bingung, karena dia sama sekali belum menjawab pertanyaan apapun dalam interview kerjanya ini. Akhirnya dia mengangguk kemudian melangkah pergi menyusul Steffany.
Setelah mereka pergi, Xavier menyandarkan punggungnya pada sandaran kursi lalu tersenyum dengan cukup lebar.
**
Keesokan harinya, sesuai jadwal yang tertera dimana Iris sebagai seorang asisten diharuskan untuk datang tepat pukul delapan pagi, pukul 07.55 Iris sudah sampai di kantor. Sebelum dia pergi ke lantai dimana ia bekerja, Iris pergi ke cafe yang ada di sekitar lobby kantornya untuk membeli segelas kopi hitam untuk atasannya. Dia membelinya karena memang itu keharusannya selama menjadi asisten Xavier.
Melangkah keluar dari lift, Iris segera melangkah menuju ruangan Xavier, yang ketika dia masuk ke sana masih kosong, dan meletakkan kopi yang tadi dia beli di atas meja. Ingin beranjak pergi, tapi perhatiannya sedikit teralihkan dengan sebuah frame foto dirinya dan Xavier dulu. Iris tersenyum tipis.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Fault (Hendall)
RomanceBagi Xavier mencintai sosok Iris adalah suatu kesalahan terbesar dalam hidupnya. Tapi di sisi lain hal itu juga merupakan suatu hal yang paling membahagiakan baginya karena berkat wanita itulah dirinya bisa merasa seperti dihidupkan kembali. Karena...