Part 1

6.4K 170 3
                                    

Ibu Mertuaku Cantik

"Kesalahan apa sih, yang sudah kuperbuat sampe dapet karma punya menantu kampungan kaya kamu?!"

Suara ibu mertuaku terdengar menggelegar, memenuhi seisi ruang tamu. Dia meninggikan suaranya sambil mengacungkan jari telunjuk tepat di depan wajahku. Seketika, tubuhku bergetar saking takutnya.

Aku hanya bisa berdiri mematung, mendapati sambutan dari ibu mertua yang tak pernah terbayangkan sebelumnya. Kupikir, kebanyakan pengantin baru akan mendapat sambutan suka cita dari keluarga mertua, saat pertama kali memasuki rumah mereka. Karena hal itu merupakan sebuah awal yang indah untuk membuat sang menantu betah tinggal bersama keluarga barunya. Namun, kenapa ini berbeda dari ekspektasi yang selama ini kubayangkan?

Ketika masih tinggal di pondok, aku dan teman-teman sering membayangkan kehidupan di rumah mertua. Tentu, kami tak hanya membayangkan manisnya saja, ada juga pedihnya. Tapi, tak seperti ini bayanganku.

Aku pikir tinggal di rumah mertua, sama halnya tinggal di pondok saat menjadi santri baru. Semua terasa asing.

"Sudahlah, Bu. Apa Ibu nggak lelah?" Ayah mertuaku mengusap punggung Ibu dengan lembut, mencoba menenangkan.

"Semua ini gara-gara Ayah yang terlalu baik sama tukang kebun itu. Jadi ngelunjak, kan?" Ibu menepis tangan Ayah dengan kasar.

Hati yang sedari tadi sudah bergemuruh hebat, kini bertambah sakit dan menyesakkan dada. Buliran-buliran bening yang menggenang di pelupuk mata pun akhirnya menetes. Tukang kebun yang dimaksud Ibu ialah almarhum bapakku yang bahkan tanah di atas pemakamannya belum kering.

"Tapi, apa Ibu lupa tukang kebun itu yang sudah mendonorkan ginjalnya untuk Ibu lima tahun lalu? Tanpa ginjalnya, mungkin aku nggak bisa melihat Ibu sekarang." Adik iparku yang baru saja memasuki ruangan, merangkul pundakku dengan erat.

"Maya, jangan ikut bicara kalo tidak diminta!" bentak Ibu.

"Aku harap Ayah nggak lupa dengan perjanjian kita. Nggak boleh ada yang tahu pernikahan ini, sampai aku benar-benar siap." Mas Danish memberi tekanan pada kalimatnya. Sedang, hatiku terasa bagai tersambar petir di siang bolong, mendengar kalimat yang dia ucapkan.

Di saat aku membutuhkan dukungan dari seorang suami untuk menguatkan hati, justru garam yang dia taburkan tepat di atas luka. Dia bahkan enggan sesaat saja melihatku.

Belum selesai keherananku, Ibu dan Mas Danish melangkah pergi tanpa melihat ke arahku. Ayah dan Maya mengajakku duduk di sofa.

"Atifa, Ayah harap kamu betah di sini. Ibu sama Danish mungkin belum siap menerima kamu." Laki-laki berusia lima puluh tahun yang duduk tepat di depanku, mencoba menenangkan hati dengan tersenyum.

"Iya, Mbak. Ibu sama Mas Danish sebenarnya baik, kok." Maya mengusap bahuku. Sementara, aku hanya mengangguk.

Aku bersyukur, meski suami dan ibu mertuaku tak menyambut dengan baik, setidaknya ada adik ipar dan ayah mertua yang memberikan sambutan menyenangkan. Allah memang sengaja menciptakan setiap hamba-Nya dengan karakter yang berbeda-beda. Namun, dalam diri setiap hamba, pasti selalu ada sisi baiknya. Aku harap, cepat atau lambat sisi baik itu akan segera muncul dari Ibu dan Mas Danish.

"Danish masih semester enam. Jadi, wajar dia belum siap kalo teman-temannya tahu dia sudah menikah." Ayah menjelaskan dengan hati-hati. "Besok, kamu juga kuliah ya, bareng Maya?"

Mendapat perhatian yang begitu besar dari Ayah, aku teringat Bapak yang telah kembali ke haribaan Allah, dua hari lalu. Untuk membuat Bapak tenang meninggalkanku sebatang kara, Ayah memaksa Mas Danish menikahiku. Beliau mengancam tidak akan menganggap Mas Danish sebagai anak jika tak setuju. Aku mendengar ancaman itu, saat mereka berbicara di luar ruang rawat Bapak.

Ibu Mertuaku CantikTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang