Dua belas

20.8K 2.2K 119
                                    


Widya menepati janjinya untuk menghindari Arya dan Helen sebisa mungkin. Namun tetap saja di pihak Arya belum bisa menurunkan tingkat kewaspadaannya hingga sebulan telah terlewati.

"Wid, tolong kemari." Helen memanggil Widya yang kebetulan lewat dari hadapannya. Memang sebulan ini Widya berusaha untuk bertugas di bagian belakang saja. Supaya menghindari bertemu dengan tuan dan nyonya nya. Sayangnya kali ini ia tidak bisa mengelak lagi.

"Ada apa nyonya?" Tanyanya sopan.

Helen tersenyum dengan manis. "Kamu ikut saya ke lantai atas untuk membantu saya membersihkan semua foto yang ada di sana." Perintahnya lembut. Ada kalanya Widya berpikir betapa baiknya majikannya ini. Pantas saja mantan suaminya itu begitu tergila-gila dengan wanita cantik ini. Terkadang Widya penasaran bagaimana reaksi Helen begitu mengetahui siapa dirinya. Hanya saja Widya lebih menyukai bila itu tidak akan terjadi.

"Baik nyonya." Tanpa banyak bicara keduanya segera naik ke lantai atas.

Untuk pertama kalinya selama tinggal di rumah itu Widya menginjakkan kaki di ruang pribadi majikannya tersebut. Biasanya hanya pelayan senior yang bisa naik ke lantai atas.

Indah. Adalah satu kata yang dapat mengungkapkan pemandangan yang dilihat Widya saat ini. Kesan mewah terasa sekali menggambarkan betapa kayanya pemilik rumah ini. Bahkan Widya dapat mengatakan bahwa ruangan di lantai dua ini jauh lebih indah dibandingkan ruangan lainnya. Namun pandangan Widya terpaku saat memandang sebuah foto berukuran besar yang memajang Arya, Helen, beserta putri cantiknya Vina. Seketika itu juga rasa rindunya langsung menyeruak hingga membuat dadanya sesak.

"Ada apa, Wid?" Helen yang menyadari ada perubahan sikap Widya begitu melihat foto keluarganya langsung bertanya.

Sadar sikapnya diperhatikan oleh majikannya tersebut, Widya berusaha untuk bersikap biasa saja. Sayangnya Helen terlanjur mengetahui apa yang menjadi penyebab perubahan raut wajah pelayannya tersebut.

"Ini foto keluarga saya." Beritahunya kepada Widya. "Dan ini malaikat kecil saya." Helen menunjuk Vina yang duduk di pangkuannya di dalam foto tersebut.

"Cantik." Ucap Widya lirih. Pandangannya tak lepas memandang foto putrinya tersebut. Melihat foto Vina membuatnya semakin merindukan putri kecilnya itu.

Helen menganggukkan kepalanya menyetujui. "Iya. Putri saya itu sangat cantik. Kami sangat menyayanginya. Apalagi suami saya." Ucap Helen sendu. Mengingat bagaimana terpukulnya Arya saat itu. " Sayangnya dia sudah pergi meninggalkan kami selamanya." lirihnya pelan.

Dan tak lama kemudian isak tangis Helen terdengar. Rasa bersalah itu masih ada di diri Helen. Bahkan hingga sampai saat ini Helen belum bisa memaafkan dirinya karena telah lalai menjaga Vina.

Widya yang hanya bisa menjadi pendengar tersenyum miris dalam hati. Hati siapa yang tidak hancur mendengar wanita lain menceritakan kematian putri kandungnya sendiri. Dan Widya hanya bisa diam bak orang asing mendengarkan kisah yang meluncur dari mulut manis wanita yang menjadi duri dalam rumah tangganya di masa lalu.

Sedih sekali hidupnya.

***

Arya yang sengaja memutuskan pulang lebih cepat dari kantor sore ini, merasa heran tidak menemukan keberadaan istrinya menyambut kepulangannya.

"Di mana istri saya?" Tanyanya kepada bu Firda yang tadi membukakan pintu untuknya.

"Lagi di atas tuan." Beritahunya sopan.

Mendengar ucapan pelayan tersebut, segera Arya naik ke lantai dua. Dirinya berpikir istrinya pasti sedang berada di kamar mereka.

Sayangnya apa yang ditemuinya tak sesuai dengan bayangannya. Emosinya segera menggelegak saat melihat Helen yang bersama dengan Widya dan dalam kondisi menangis. Dengan langkah cepat Arya langsung menghampiri keduanya.

Jembatan RasaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang