Dua puluh delapan

21.7K 2.1K 159
                                    

Ternyata berkhayal di tengah kesulitan hidup itu sulit sekali. Rasanya berat jenderal😂😂




Erik segera melangkahkan kakinya mendekati keluarganya. Ia harus membantah ucapan Lita. Jangan sampai kata-kata adiknya membuat Widya salah paham. Ia tak ingin itu terjadi.

Erik juga melihat ternyata Mira ada di situ. Ia tidak tahu sejak kapan gadis itu datang ke rumahnya.

"Siapa yang punya pacar dek?" Tanya Erik pura-pura tidak tahu. Ia bahkan sengaja tidak membalas senyuman Mira yang terlihat senang akan kehadirannya.

"Mas Erik lah!" Ucap Lita asal, tanpa tahu raut wajah saudaranya itu yang terlihat mengeras.

"Asal bicara kamu, dek," Erik berusaha bersikap senormal mungkin. Ia bahkan masih bisa mencubit pipi Lita dengan gemas, berusaha menutupi kegeramanya. "Mas gak pernah punya pacar. Tapi sekarang ada yang Mas sukai. Tapi bukan Mira. Jadi jangan asal ngomong begini lagi," ujar Erik tegas. Ia sengaja memperjelas semuanya agar Widya tidak salah paham.

Hanya saja pria itu tidak menyadari bahwa Mira terlihat terluka dengan pernyataannya barusan.

Suasana yang tadinya hangat berubah menjadi sepi. Padahal semua yang hadir di situ tahu bahwa Mira menyukai Erik. Bahkan Widya yang baru pertama kali bertemu dengan Mira saja dapat merasakannya.

Untung saja Bu Sumarni buru-buru langsung mengambil alih situasi. Ia kembali mengajak bicara kedua tamunya agar suasana kembali cair. Dan Erik akan ikut menyimak bila pembicaraan itu menyangkut dengan Widya

Ketika Bu Sumarni mengajak Mira dan Widya untuk ikut makan malam, maka dengan sopan Widya menolak ajakan tersebut.

Ia beralasan teman-temannya akan datang mengunjunginya sebentar lagi. Karena itu ia pamit undur diri. Padahal yang sebenarnya adalah ia tak nyaman terhadap Mira. Sedari tadi Widya dapat merasakan tatapan tajam perempuan itu kepadanya.

Widya mendesah lelah dalam hati. Lepas dari Helen, langsung bertemu dengan Mira. Sial sekali nasibnya!

Widya sebenarnya tak tega melihat tatapan kecewa Bu Sumarni dan Lita saat ia hendak pergi. Tapi Widya mencoba mengeraskan hatinya.

Mungkin, sepulang dari sini ia akan membeli makanan yang banyak dan enak, lalu menikmatinya seorang diri di kamar kost. Anggap saja sebagai pesta kebebasannya. Itu kedengaran lebih asyik dibandingkan menerima ajakan makan malam dari Bu Sumarni.

"Tunggu Mbak, biar saya antar!" Erik berseru mencegah Widya saat hendak keluar dari pintu.

"Tidak perlu, Mas. Soalnya dekat kok," Widya mencoba menolaknya dengan halus.

Namun sialnya, Erik adalah orang yang gigih. Ia tetap bersikeras mengantarkan Widya dengan alasan agar mengetahui tempat kost nya yang baru.

Malu dilihatin keluarganya Erik, akhirnya Widya menerima tawaran pria itu. Walaupun telihat jelas bagaimana tidak sukanya Mira menatapnya.

"Kita naik motor, atau jalan kaki saja, Mbak?" Erik menanyakan pendapat Widya.

"Naik motor saja Mas. Mas gak keberatan, kan?" Sebenarnya Widya enggan untuk berbocengan dengan Erik, tapi bila ia memilih berjalan kaki, maka waktu yang dibutuhkan untuk sampai ke kost nya, akan semakin lama. Padahal ia tak ingin berlama-lama dengan Erik.

"Tentu saja tidak," jawab Erik sumringah.

Mira yang melihat interaksi keduanya semakin nelangsa. Untuk mencegah tak ada daya. Ia hanya bisa menahan hati saat melihat Erik dan Widya meninggalkan mereka

Dan semuanya itu tak luput dari perhatian Bu Sumarni dan Lita.

Saat mengendarai motornya, Erik tak bisa menutupi kebahagiaannya. Ia sengaja melambatkan laju motornya agar semakin lama menikmati momen kebersamaannya dengan Widya.

Jembatan RasaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang