Tiga puluh satu

34.1K 2.1K 236
                                    

Begitu Erik menyebutkan namanya, Widya langsung panik seketika.

"Cepat sembunyi!" Widya segera menarik Arya ke balik horden. Ia sama sekali tidak ingin Erik salah paham bila melihat keberadaan pria itu di kamarnya.

"Kenapa harus sembunyi? Aku tidak mau!" Arya menolak menuruti Widya. Ia ingin tahu siapa pria yang berada di luar tersebut.

"Tolonglah Tuan," mohon Widya panik.

Melihat kepanikan di mata Widya membuat pria itu semakin kesal. Ia benci ketika wanita yang disukainya mengkhawatirkan pria lain di depannya. "Aku tidak mau, Widya!" ujar Arya bersikeras. "Lagipula aku tidak melakukan kesalahan sehingga harus bersembunyi," lanjut Arya dengan raut tersinggung.

"Mbak Widya!"

Widya semakin pusing. Suara Erik semakin keras di luar sana, sedangkan Arya sama sekali tidak mau diajak bekerja sama. Kenapa sial sekali nasibnya pagi ini?

"Saranku, mending kamu buka pintunya sekarang. Katakan kepada pria itu kalau kamu sedang tidak ingin diganggu. Habis perkara." Sambil menahan emosi, Arya berusaha memberi saran kepada Widya.

Sebuah saran yang tidak akan pernah mau dilakukan Widya. Itu sama saja cari mati! dengusnya kesal.

"Tuan, tolonglah turuti permintaan saya kali ini. Saya janji tidak akan lama," Widya kembali mencoba membujuk Arya dengan muka memelas. Sedangkan di luar sana, suara Erik masih terus memanggil nama Widya. Sepertinya pemuda tersebut pun pantang menyerah juga.

Melihat kecemasan di wajah mantan istrinya, membuat Arya akhirnya iba juga. Walaupun tak dapat dielakkan ada perasaan cemburu ketika melihat Widya lebih mengkhawatirkan perasaan pria lain.

"Baiklah, saya akan sembunyi. Tapi, ada syaratnya. Bagaimana?" otak licik Arya bekerja tidak mau rugi.

Widya berhenti membujuk Arya. Ia tidak percaya mantan suaminya itu mengambil kesempatan dalam kesempitan yang dialaminya saat ini. Kalau bukan karena Erik, tak kan mau ia merendahkan diri di hadapan Arya.

"Katakan, apa syaratnya?" tanya Widya tak sabar. "Tapi, jangan syarat yang tidak masuk akal," tambah Widya cepat. Pengalaman membuatnya tak ingin kembali terperangkap dalam jebakan Arya

Arya mengulum senyumnya, "Syaratnya cukup mudah kok, cukup temani saya makan malam sabtu malam nanti. Mudah bukan?" jelas Arya dengan sorot penuh kemenangan. Ia sadar mantan istrinya itu pasti sulit menolak dalam keadaan terdesak begini.

Tak ada jalan lain, Widya terpaksa mengangukkan kepalanya. Ia berpikir toh malam minggu masih beberapa hari lagi. Masih ada waktu untuk berpikir  menggagalkan rencana Arya.

Melihat Widya menyetujui permintaannya

"Mas Erik," Widya mencoba tersenyum lebar untuk menutupi kegugupannya.

Namun bagi Erik, senyuman Widya barusan membuatnya terkesima. Pesona Widya di matanya mengalahkan hangatnya sinar matahari pagi. "Pagi, mbak..." sapa Erik tak kalah ceria.

"Ada apa ya, mas?" penasaran, Widya langsung menanyakan maksud kedatangan Erik.

Sesaat Erik salah tingkah, ketika melihat Widya menatapnya dengan intens. "Enggak ada mbak. Cuma tadi kebetulan lewat dari tempat mbak Widya." alibinya. Padahal hanya Tuhan yang tahu, sedari malam Erik sudah merencanakan semua ini. "Jadinya langsung kepikiran mau ngajak sarapan. Mbak belum sarapan, kan?" tanya Erik harap-harap cemas. Ia takut mendapat penolakan dari Widya.

Dengan cepat Widya langsung mengangukkan kepalanya. "Kebetulan sekali mas. Padahal saya baru saja mau keluar mencari sarapan," Widya terpaksa mengatakan itu agar Arya dapat keluar dari kamarnya tanpa ketahuan oleh Erik. Tidak dulu, tidak sekarang, mantan suaminya itu selalu membuatnya susah.

Jembatan RasaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang