Dua puluh empat

21.8K 2.2K 189
                                    

Widya tak dapat menutupi kekagumannya saat memasuki ruangan Arya. Bertahun-tahun lamanya, inilah pertama kali wanita itu memasuki tempat dimana Arya mencari nafkah. Ia tidak percaya dapat menginjakkan kakinya ke ruangan itu. Mimpi apa dia semalam?

Ruangan yang dimasukinya begitu rapi dan berkelas. Sangat Arya sekali.

Setelah mempersilakan Widya duduk di sebuah sofa berwarna putih gading, sekretaris Arya segera berlalu meninggalkannya sendirian.

Menuruti keinginan hati, Widya ingin sekali melangkahkan kakinya menuju jendela untuk melihat pemandangan di luar sana. Kapan lagi dia berada di ketinggian lantai dua puluh kalau tidak saat ini?

Namun Widya segera menepis pikiran itu. Ia tidak ingin Arya menilainya lancang karena berkeliaran di ruangan itu. Walaupun ada sesal di hatinya karena melewatkan kesempatan langka ini.

Suara pintu terbuka, membuyarkan lamunan Widya. Wanita itu segera berdiri, saat melihat Arya memasuki ruangan. Tatapan keduanya bertemu.

"Duduklah," Arya buka suara, menyuruh Widya untuk kembali duduk. Namun raut wajahnya berubah keras, saat Widya menggelengkan kepala menolak ucapannya.

"Saya sudah menyerahkan dokumennya kepada sekretaris anda tadi di luar. Karena itu, saya permisi pulang, Tuan." Pamitnya sopan.

Tak ada yang salah dalam kata-kata Widya, tapi entah kenapa berhasil memancing amarah Arya.

"Siapa yang menyuruhmu pulang?" Dengus Arya tak suka.

Kening Widya berkerut mendengar ucapan Arya. "Tapi..." Widya berpikir sesaat untuk memilih alasan yang tepat, "tugas saya sudah selesai, Tuan," bantahnya tegas.

Sayangnya, Arya bukanlah orang yang mau menerima penolakan. Ia berjalan memangkas jarak di antara mereka. "Jangan membantahku, Widya," geram Arya, "Duduk dulu!" Ia menarik tangan Widya untuk menurutinya.

Widya yang tidak siap dengan tindakan Arya tersebut, spontan memberontak. Ia menghempaskan tangan mantan suaminya itu dengan keras.

"Maaf Tuan, saya-" Belum sempat Widya menyelesaikan ucapannya, Arya sudah lebih dulu menariknya untuk duduk. Hanya saja tarikan Arya terlalu keras, sehingga membuat Widya terjatuh tepat di pangkuan mantan suaminya itu.

Keheningan melanda keduanya. Wajah mereka begitu dekat, hingga keduanya dapat melihat kedalaman mata masing-masing.

Widya yang segera sadar dengan posisinya, buru-buru ingin beranjak. Namun Arya mengunci pergerakan wanita itu.

"Jangan bergerak," mendadak suara Arya berubah menjadi pelan. Entah kemana hilang sudah amarahnya tadi.

Widya yang merasa tidak nyaman dengan posisinya tersebut mencoba untuk kembali lepas. Namun tetap saja gagal.

"Tolong lepas, Tuan," ucap Widya marah. Ia mulai tidak suka dengan kelakuan mantan suaminya itu.

Alih-alih melepaskan, Arya malah semakin mengeratkan pelukannya. "Biarkan seperti ini," ia membalas tatapan Widya. "Dengarkan ini," ia membawa tangan Widya ke dadanya.

Awalnya Widya berusaha menolak, namun tenaga Arya bukan tandingannya.

"Dia terus berdebar keras bila di dekatmu," Walau tidak suka, tapi Widya terpaksa harus mengakui kebenaran kata-kata Arya ketika merasakan detakan jantung mantan suaminya itu berdebar kencang sekali.

"Rasanya tidak nyaman," lanjut Arya, "Aku tidak menyukainya. Sangat mengganggu," gumamnya persis seperti bisikan, "Bagaimana ini?"

Widya mengangkat kepalanya untuk menatap Arya. "Hentikan itu!" Pelan, tapi seperti perintah di telinga Arya. "Rasa itu tidak pantas untuk dibiarkan, Tuan," desis Widya tajam.

Jembatan RasaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang