Dua puluh tujuh

20.6K 2.2K 166
                                    

Widya masih tak percaya ini.

Akhirnya Arya melepaskannya. Ini seperti mimpi yang jadi kenyataan. Ia curiga Arya melepaskannya karena menganggap serius ucapannya kemarin. Yang mengatakan telah memasukkan sianida ke minuman pria itu. Siapa tahu saja mantan suaminya itu menjadi takut?

Widya menyesal kenapa ia tidak melakukannya dari awal.

Tak ingin Arya kembali berubah pikiran, Widya bergerak secepat mungkin. Untung saja barang-barangnya yang kemarin belum sempat dikeluarkannya dari dalam tas. Sehingga ia tidak perlu kerepotan untuk menyusunnya kembali.

Keluar dari kamar, Widya melihat Arya dan Helen telah berdiri menunggunya di depan. Berjalan pelan, wanita itu menemui keduanya.

"Tuan, Nyonya," Widya menegur keduanya dengan sopan.

"Nanti kalau kamu tidak betah di kampung, kamu bisa kembali ke sini. Rumah ini selalu siap untukmu." Helen terlihat masih berat melepaskan Widya.

Widya tersenyum tipis, "Terima kasih atas kebaikannya, Nyonya," balas Widya tulus. Padahal dalam hati, ia berjanji tidak akan pernah lagi mau berurusan dengan sepasang suami istri itu.

"Kalau ada apa-apa, jangan segan-segan menghubungi kami, Wid," tambah Helen lagi. Sedangkan Arya memilih diam, namun tatapannya tak lepas memandang Widya.

Widya bukannya tidak menyadari tatapan Arya, tapi wanita itu mencoba mengabaikannya dan memfokuskan dirinya menatap Helen. Ia tidak mengerti apa maksud Arya seperti itu. Apalagi ini terang-terangan di depan Helen.

Karena itu Widya memutuskan cepat-cepat mengakhiri pembicaraan mereka. Ia segera permisi kepada sepasang suami istri itu. Ia tak sabar untuk segera meninggalkan tempat itu.

Bahkan hingga pertemuan terakhir mereka, tak ada terucap satu kata pun dari Arya. Lidah pria itu terlalu kelu untuk mengucapkan permintaan maaf kepada Widya. Padahal seharusnya ini adalah kesempatan terakhirnya. Namun Arya tetap mengeraskan hatinya. Ia memilih untuk memenangkan egonya.

Melihat kepergian Widya yang semakin menjauh, Arya hanya bisa mendesah pelan. Ia percaya keputusannya hari ini adalah yang terbaik bagi semuanya. Walaupun tak dapat dipungkiri ada sesak dalam dadanya saat menyadari ia telah kehilangan Widya.

***

Tak butuh waktu lama, Widya segera mendapatkan tempat tinggal baru untuk dirinya. Sebuah rumah kost yang lokasinya tak jauh dari rumah Erik. Kamarnya memang tidak begitu besar, tapi perabotannya sudah lengkap. Sehingga Widya tak perlu kesulitan lagi untuk mengisinya.

Hanya saja Widya sedikit heran saat mendapati kamar-kamar sebelahnya pada kosong semua. Dari sekian banyaknya kamar, hanya beberapa kamar yang berisi, selebihnya sama sekali tidak berpenghuni.

Tak ambil pusing, Widya memutuskan untuk membersihkan tempat tinggalnya agar layak untuk ditempati. Rencananya malam ini Widya akan berkunjung ke rumah keluarga Erik. Ia tidak ingin satu keluarga itu mengetahui keberadaannya dari orang lain. Biarlah dia lebih dulu yang menampakkan diri.

Puas dengan hasil pekerjaannya, Widya bergegas membersihkan diri. Guyuran air berhasil membuat tubuhnya kembali segar.

Selesai mandi, Widya memilih mengistirahatkan tubuhnya sejenak sebelum mencari makanan. Namun sejenak yang dimaksud Widya berakhir kebablasan. Ia terbangun ketika hari menjelang sore. Sepertinya hari ini ia terlalu bahagia. Sampai-sampai ia bisa tertidur selama itu.

Begitu malam tiba, Widya mengganti pakaian rumahannya menjadi lebih bagus. Soalnya ia akan berkunjung ke rumah Erik. Tidak lupa ia merapikan penampilannya, dengan mengenakan sedikit make-up tipis agar terlihat lebih menarik. Ia tidak ingin terlihat kusam dan pucat setelah sekian lama tidak bertemu keluarga Erik.

Berhubung jarak rumahnya tidak begitu jauh, Widya memutuskan untuk berjalan kaki. Sekaligus ia nanti singgah sebentar ke toko roti untuk membeli oleh-oleh buat mereka.

Sepanjang jalan Widya tersenyum menikmati kebebasannya. Belum pernah ia merasa sebahagia ini. Berdekatan dengan Arya selama tiga bulan lebih membuat Widya banyak makan hati.

Bu Sumarni yang kebetulan keluar untuk membuang sampah langsung berteriak heboh saat melihat Widya yang berdiri di depan rumahnya.

"Widya?!" Meninggalkan sampahnya, wanita paruh baya itu segera mendekati mantan tetangganya itu. Ia tak menyangka akan bertemu lagi.

"Ibu, apa kabar?" Widya tersenyum manis menyapa Bu Sumarni.

"Ibu baik. Ya ampun Wid, udah lama banget kita gak bertemu. Ayo masuk, masuk," Bu Sumarni dengan semangat mengajak Widya untuk masuk ke dalam rumahnya. Ia sama sekali tidak peduli dengan sampahnya yang masih ia letakkan begitu saja di depan pintu.

Ternyata tidak hanya ibu Sumarni saja yang heboh, Lita dan pak Roby pun ikut senang melihat kedatangannya. Hanya Erik saja yang tidak terlihat sama sekali. Soalnya pria itu masih berada di kamar mandi.

Ketiganya sibuk menanyai Widya. Mereka penasaran dengan kehidupan yang dijalani wanita itu. Bahkan ketiganya semakin senang saat mengetahui bahwa Widya sudah tinggal tidak jauh dari mereka.

"Jadi, rencananya Widya mau kerja dimana lagi?" Tanya Bu Sumarni lembut. Soalnya Widya sudah menceritakan bahwa dirinya telah berhenti dari pekerjaannya.

"Belum tahu, bu."

"Udah gak usah khawatir," ucap Bu Sumarni menenangkan, "nanti siapa tahu Erik bisa bantu cari pekerjaan lain."

Widya tersenyum manis, "Tidak usah bu, saya takut nanti malah merepotkan Mas Erik." Tolak Widya halus. Ia tak mau menjadi beban buat pria itu.

Bu Sumarni menggelengkan kepalanya, "Tidak mungkin merepotkan. Udah, kamu tidak usah berpikir terlalu banyak. Erik pasti malah senang dapat membantu kamu." lanjut Bu Sumarni, yang disetujui oleh putri dan suaminya.

Keempatnya asyik berbincang tanpa menyadari kehadiran Erik yang berjalan menemui mereka dengan mengenakan celana training tanpa atasan. Sesekali tangannya masih sibuk mengelap rambutnya yang masih basah.

"Tumben pada ngumpul. Ada apa ini?" Erik yang masih belum sadar akan kehadiran Widya bertanya dengan santai. Namun tak lama kemudian raut wajahnya segera berubah saat tatapan matanya bertemu dengan Widya.

Ia masih tak percaya dengan penglihatannya ketika Widya tersenyum manis kepadanya.

"Mas Erik ini mana bajunya? Gak malu apa ada tamu kok pakaiannya seperti itu?!" Suara cempreng Lita berhasil menyadarkan Erik dari keterpakuannya.

Ternyata ini semua bukan mimpi. Widya benar-benar datang ke rumahnya.

Melihat Erik yang diomelin adiknya, membuat Widya tak dapat menahan senyum. "Mas," Widya menyapa Erik dengan pelan.

Walaupun singkat, tapi suara Widya terdengar begitu merdu di pendengaran Erik.

Erik hanya bisa membalas sapaan Widya dengan tersenyum kikuk. Ia tidak menyangka akan kedatangan wanita yang disukainya malam ini. Tahu begini ia pasti akan mempersiapkan dirinya dari tadi. Ini yang ada hanya mengenakan celana training yang karetnya sudah longgar. Apa gak malu-maluin itu namanya?

Belum sempat Erik bersuara, ibunya juga ikut-ikutan mengomelinya. "Ngapain masih berdiri di situ kamu, Erik?! Cepat sana pakai baju kamu!" Perintah ibunya galak. Membuat pasaran Erik makin rendah di mata Widya. Tadi adiknya, sekarang gantian ibunya.

Menahan malu, Erik segera bergegas ke kamarnya untuk mengambil bajunya. Sekalian mengganti celananya yang sudah tak enak dipandang mata itu.
Dengan cepat Erik membuka lemarinya untuk mengambil kaos polo hitam, beserta celana jeans biru, yang baru saja dibelinya kemarin untuk dikenakannya. Erik juga menyempatkan diri menyisir rambutnya rapi sebelum keluar dari kamar. Ia tak ingin terlihat buruk di mata Widya.

Setelah memastikan penampilannya sudah keren, Erik bergegas keluar untuk menemui Widya. Ia berharap mantan tetangganya itu terkesima dengan penampilannya malam ini. Syukur-syukur mau dijadikan pacar. Ah...membayangkannya saja Erik sudah senyum-senyum sendiri.

Sayangnya, semuanya tak pernah sesuai rencana. Begitu Erik hendak mendekati keluarganya, kangkahnya langsung terhenti saat mendengar adiknya berkata riang kepada Widya,

"Kenalkan Mbak, ini kak Mira. Pacarnya Mas Erik..."
































Jembatan RasaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang