Dua puluh tiga

22.7K 2.1K 109
                                    

"Gimana kencannya semalam, mas?"

Erik yang sedang melahap nasi gorengnya, segera menghentikan kunyahannya. Ia menatap adik bungsunya dengan bingung. Darimana Lita tahu tadi malam ia pergi berkencan? Padahal dia tidak mengatakan kepada keluarganya tentang pertemuannya dengan Widya. Belum saatnya.

"Kencan apa?" Erik pura-pura tidak mengerti.

"Lho, bukannya semalam Mas Erik pergi malam mingguan? Ya, kencan sama cewek lah," jawab Lita sambil tersenyum jahil.

"Hust...asal aja kamu," elak Erik, "Gak enak nanti kalau di dengar Ibu dan Bapak." Jelasnya, mencegah adiknya itu ngomong yang tidak-tidak kepada orangtuanya. Ia takut nanti menjadi bahan pikiran.

"Lah, Ibu sama bapak udah pada tahu. Apalagi yang mau ditutupin?" Lita tersenyum puas melihat mas nya itu melotot mendengar informasi darinya. "Kami tinggal tunggu, kapan mas ngenalin itu calon kakak ipar ke rumah," lanjut Lita

Ngapain dikenalin. Udah pada kenal, kok. Ingin sekali Erik mengatakan hal itu, kepada adik bungsunya tersebut. Tapi Erik tahu, ini belum saatnya. Ia ingin nantinya menjadi kejutan. Lagipula Widya belum tentu menerima perasaannya. Saat ini ia sedang berjuang.

Sibuk dengan pikirannya, Erik dikejutkan dengan ketukan pintu dari luar. Kontan, ia dan Lita saling pandang-pandangan. Siapa yang bertamu sepagi ini ke rumahnya.

"Bukain, dek."

"Males. Mas aja deh, Lita kan lagi makan..." rayu adiknya itu dengan wajah manyun.

Mendesah lelah, akhirnya Erik terpaksa mengalah. Dengan malas, ia melangkahkan kaki untuk membukakan pintu.

Begitu pintu terbuka, Erik dikejutkan dengan seorang wanita cantik yang berdiri di depan pintunya.

"Mira?"

"Hai," wanita yang bernama Mira itu, segera menampilkan senyum manisnya kepada Erik.

"Ada apa? Ngapain kamu ke rumah saya?" Erik masih heran dengan kedatangan putri dari atasannya tersebut. Apalagi masih pagi-pagi begini.

Belum sempat Mira menjawab, Bu Sumarni dan Pak Robi baru saja pulang dari pasar. Erik segera meninggalkan wanita itu untuk membantu Ibunya menurunkan barang belanjaan yang cukup banyak. Penghasilan Erik pelan-pelan mulai mengubah keadaan ekonomi mereka.

"Siapa itu nak?" tanya Bu Sumarni menunjuk ke arah Mira. Ia ingin tahu, kenapa sepagi ini rumahnya kedatangan tamu seorang wanita cantik.

Erik mengangkat bahunya tidak peduli. Ia malas untuk membahas kedatangan Mira. Toh, Erik juga tidak terlalu mengenal wanita itu.

"Temannya Erik ya? Kenapa tidak masuk ke rumah?" Bu Sumarni dan Pak Robi menyapa Mira dengan hangat. Sedangkan Erik sudah ngacir ke dapur membawa barang belanjaan.

"Iya, Bu." Jawab Mira malu-malu. Ia senang dapat bertemu dengan orangtua Erik, yang ternyata cukup ramah. Berbeda sekali dengan Erik. Pria itu terlalu cuek, bahkan malah terkesan dingin. Tapi Mira terlanjur menyukainya.

"Siapa tamunya, Bu?" Lita yang penasaran dengan tamu yang mengetuk pintunya tadi, segera ke depan untuk melihat orangnya. Tadi, di dapur ia sempat bertanya kepada mas nya. Tapi bukannya menjawab, Erik malah menyuruhnya untuk melihat sendiri.

"Ini ada temannya mas kamu,"

Lita langsung terpana melihat kecantikan Mira. Ia tidak percaya mas nya itu mempunyai kenalan secantik ini. Sudah tinggi, putih, rambutnya di cat bewarna coklat gelap dengan model rambut ikal bergelombang. Persis seperti dewi yang ada di film kolosal.

"Jangan-jangan ini pacarnya Mas Erik, Bu?" ucap Lita lantang, tanpa menyadari suaranya yang terlalu keras. "Mbak, mbak pacarnya Mas Erik kan?" tuduhnya dengan semangat. Ia yakin tebakannya tidak salah.

Jembatan RasaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang