°3

399 54 2
                                    

"Aku t'lah coba untuk memahamimu
Tapi kau tak peduli."

Hari selanjutnya terasa semakin berat. Ia terbangun pukul 4 pagi dan tak bisa tidur kembali.

Yang ia lakukan hanya melamun, dan mencoba untuk berpikir positif, tentang segala sesuatu yang telah terjadi semenjak 1 tahun yang lalu.

Ke mana senyuman yang indah itu? Dimana perhatian manis itu? Dan pergi ke mana hati yang ia miliki?

Berulang kali Reina memantapkan hati dan pikirannya , "Fathur cuma bosen. Nanti juga dia balik lagi kayak dulu." Sudah dari setahun yang lalu ia akan berpikir tentang hal yang sama hampir setiap harinya.

Namun, berulang kali pula dirinya kembali menggenggam hatinya yang sudah begitu rapuh, berharap ia akan bertahan dan tak hancur dengan mudahnya.

Fathur benar-benar berubah, tak pernah tersenyum, tak pernah menyapa, apalagi jika memberi perhatian, semuanya hanya angan-angan belaka.

Jika ditanya mengapa dirinya tak mengakhiri semuanya dan melepas lelaki satu itu, maka ia hanya akan menggeleng pelan sembari berkata lirih,"Aku pun tak tahu."

Reina sudah memasuki fase di mana, ia menyukai Fathur tanpa sebuah alasan yang jelas adanya.

Meski obrolan pedas mengenai pacarnya itu telah sampai ke telinga miliknya, itu tak cukup untuk membuatnya menyerah dengan keadaan.

Justru Reina semakin yakin bahwa akan datang kesempatan, di mana Fathur datang kepadanya dan berbagi mengenai hari-hari yang begitu berat dan melelahkan.

Sekali lagi kristal bening itu meluncur tanpa diizinkan, ia menangis sembari menggigit bibirnya, demi meredam isakan yang dengan kurang ajarnya justru semakin tak tertahankan.

Dirinya kembali ditampar dengan keras saat mengingat kenyataan bahwa, hal itu tak mungkin terjadi.

Entah sudah berapa kali dirinya menitikan air mata, yang dengan teganya meluncur tanpa diminta.

Entah berapa banyak waktunya yang terbuang sia-sia, untuk mengharapkan lelaki yang tak menganggapnya ada.

Sudah berapa banyak anak panah yang menancap di relung hatinya, ketika melihat orang lain bersama lelakinya.

Reina sudah lelah akan keadaan, pikirannya semakin tak bisa dikendalikan. Namun dengan begitu tak masuk akalnya, sekali lagi, hanya hatinya yang mencoba untuk bertahan.

Reina yang dulunya periang, berubah menjadi pemurung. Reina yang dulunya sering tersenyum, kini berubah menjadi acuh tak acuh. Hampir semua tentangnya berubah 180 derajat. Semua, kecuali hatinya yang masih berharap akan sosok Fathur.

Bukan kah Reina terlihat seperti pengemis di depan Fathur?

Saat mengingat betapa manisnya awal hubungan keduanya, membuat Reina semakin tak percaya, "Mengapa kita justru berakhir seperti orang asing?"

Bagai mencengkram mawar yang berduri, itu yang Reina rasakan. Indah jika hanya dilihat, namun sakit jika dirasakan.

Apa yang disebut Fathur dan Reina sebagai kita, hanyalah sebuah rasa yang tak berlogika. Hubungan mereka bagai cinta, tapi tak cinta.

Reina tak butuh janji, ia hanya butuh sebuah aksi. Reina tak butuh ucapan, ia hanya butuh tindakan.

Dan Reina hanya ingin hatinya perlahan melepas Fathur, bukan mengikatnya dengan semakin erat dan tak berperasaan.

Ingin sekali lagi ia mengucapkan rindu pada Fathur. Namun, Reina bagai mengucap rindu yang mengikat pada seseorang yang tak terikat.

Mengucap janji belaka yang tak akan pernah ditepati padanya. Bersikap dingin, tak berkutik meski isakan pedih miliknya sudah terdengar menyayat hati.

Biarlah, lagi pula Reina akan tetap memikirkan tentang hal yang sama, "Fathur cuman bosen, nanti juga balik lagi kayak dulu."

Akan selalu seperti itu, sampai datang saat di mana, Reina lelah sendiri dan mulai menutup lembaran buku kenangannya dengan Fathur.

Menutup pintu hatinya yang begitu gelap gulita, tanpa ada yang berniat meneranginya.

[TBC]

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

.
.
.
[TBC]

1 November 2019

Serpihan Hati [Song Story] ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang