"Sampai kapan, bisa membuatmu mengerti?"
Fadli masih enggan melepaskan tatapannya dari perempuan di depannya saat ini. Reina jauh menjadi lebih cantik dengan kaca mata bulat yang bertengger manis di hidungnya, jangan lupakan bibirnya yang mengecut sebal akibat tak kunjung mendapat jawaban dari soal yang terus digelutinya selama 10 menit yang lalu itu.
"Dli, aku nggak nemu jawabannya terus. Bisa ban-" ucapan Reina terputus saat itu juga.
Menyadari Fadli yang menatapnya sambil tersenyum membuat dirinya malu bukan main. Pipinya tidak memerah, hanya saja telinganya yang memerah.
Dengan segera dirinya melepas ikatan rambutnya, menutupi telinga sialan itu dengan rambut panjangnya.
Kegiatan barusan tak luput dari pandangan Fadli, lelaki satu itu justru makin terpaku. Sorotan mentari petang dari balik punggung Reina lagi-lagi membuatnya semakin jatuh.
Degupan itu masih sama, seperti empat tahun kebelakang. Pertemuan mereka yang pertama, dari sisi Fadli tentunya.
Sore itu mentari memang sedang mengamuk, Fadli bahkan sampai berlari menuju minimarket terdekat.
Melangkah menuju lemari es sembari melihat masih adakah minuman yang dirinya dambakan.
Ketika akan menggapainya, tangannya justru memegang sesuatu yang lain, ini halus berbanding terbalik dengan kemasan minuman dingin itu.
Ya, itu pertemuan pertama mereka, Fadli tentu masih mengingat bagaimana penampilan Reina hari itu.
Rambut terurai, sedikit keringat di dahi, dan wajah yang memerah karena terpapar panas. Fadli segera melepaskan genggamannya, membiarkan perempuan yang bahkan saat itu tak ia ketahui namanya, mengambil minuman yang dirinya inginkan.
Lalu merutuki kebodohannya untuk sekedar basa-basi, atau mungkin berkenalan, jika berani dirinya akan meminta nomor siswi di depannya itu.
Dan ternyata, Tuhan sebaik itu. Keduanya kini sudah bersama, menikmati langit yang sama, dengan suara detak jam dinding yang sama, dan tentunya dengan meja yang sama.
Hanya saja sesuatu kembali mengambil alih pikirannya, rasa menyesal kembali melingkupi hatinya, dan sebuah perasaan tak tertebak mulai bermunculan ke permukaan.
Fadli tentu mengenal siapa Reina, dalam konteks wajah dan sekedar mengetahui yang manakah perempuan itu.
3 tahun terakhir memendam segalanya dalam-dalam, merahasiakannya rapat-rapat, sudah cukup mampu membuatnya tersiksa sampai ke ubun-ubun.
Hanya saja, Fadli tentu kembali berpikir. Reina baru saja dipatahkan sayapnya, dijatuhkan harapannya, dan dihancurkan mimpinya.
Dirinya bahkan tidak memiliki hak untuk sekedar menjadi pengganti Fathur dalam waktu dekat.
Menggeser atau bahkan menggantikan posisi lelaki satu itu di hati seorang Reina bukanlah suatu hal yang mudah.
Mengingat sudah berapa banyak air mata yang rela terbuang, waktu yang terkikis, dan juga isakan yang keluar, Fadli sanggup untuk sekedar menyimpulkan.
Reina bukan lagi dalam tahap menyukai Fathur, bukan lagi dalam tahap menyanginya, tetapi sudah dalam tahap mencintainya.
"Reina..."
Oh tidak, Reina saat ini bahkan tak sanggup untuk sekedar menatap kedua bola mata itu.
"Kalau masih cinta, jangan dilepas. Kejar lagi, buat dia liat kamu lagi. Buat Fathur kembali jatuh cinta lagi."
Reina mengerenyit heran, apa maksud dari perkataan lelaki di depannya ini?
"Tolong sadar Rei. Kamu masih jatuh, belum keluar. Dan aku yakin nggak mungkin keluar. Jadi tolong, sebelum aku menyimpulkan ini sebagai kesempatan. Tolong -"
Napas Fadli tercekat, menahan rasa sesak di dadanya. "Kejar dia. Selagi itu kebahagiaan kamu, aku anggap itu kebahagiaan aku juga."
Fadli segera membenahi barang-barangnya, lalu berdiri dan melangkah pergi, meninggalkan Reina yang masih mematung tak mengerti.
Laki-laki itu baru saja meninggalkan 1 ikat kecil bunga edelweiss, dirinya memandagi bunga itu sembari memikirkan perkataan lawan bicaranya beberapa menit yang lalu.
Dilain sisi, Fadli masih memandangi kaca spion motornya, memandang betapa kacau dirinya. Melupakan sejenak apa yang baru saja terjadi, lalu berdecih dan bergumam betapa bodohnya ia.
Tinggal selangkah lagi, bersabar sedikit lagi, lalu dapat dipastikan Reina akan berujung di dalam pelukan hangatnya.
Tapi, menangkap sorot mata terluka perempuan itu, sudah cukup menamparnya kembali menuju peradaban. Tidak, di sini dirinya bukanlah seorang pemain utama.
Dirinya bahkan sudah cukup beruntung untuk sekedar menjadikan sosok siswi itu sebagai tambatan hatinya, dan memilih bertahan selama bertahun-tahun.
"Lo pengecut Dli."
.
.
.
[TBC]
Reina : bunga anyelir putih (kesetiaan)
Fathur : bunga hydrangea (perkenalan lebih dalam)
Fadli : bunga edelweiss (pengorbanan)Oh iya buat yang tanya tanya, bunga biru yang dikasih Fathur dichp sebelumnya itu bunga apa, itu tu bunga hydrangea biru, artinya penyesalan yang mendalam, azek.gg
Buat bunga balasan yang dikasih Reina itu, bunga anyelir bergaris-garis, artinya itu sefruit penolakan.
Jadi, pahamkan maksud dari bunga-bunga yang mereka kasih? Udah ketangkep?
KAMU SEDANG MEMBACA
Serpihan Hati [Song Story] ✔
AcakMengingat saat hati yang tersakiti tak bisa utuh kembali, maka di saat itu pula sebuah rasa percaya akan hilang dipertanyakan, juga rasa ingin menyerah datang menghampiri dengan begitu teganya. Sudah berulang kali diberi kesempatan, namun disia-sia...